REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra
Bagaimana Kajian Islam (Islamic Studies) pada tingkat global dewasa ini? Berbagai kejadian sejak peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat, kemudian pengeboman di London, Madrid, Bali, dan seterusnya meningkatkan mispersepsi dan distorsi di kalangan masyarakat Barat terhadap Islam dan masyarakat Muslim.
Kedua entitas ini sering dipandang masyarakat Barat sebagai entitas yang mengandung potensi kekerasan yang bisa meledak sewaktu-waktu, bukan hanya di AS dan Eropa, tetapi juga bahkan di negara-negara Muslim sendiri.
Perkembangan tidak menyenangkan ini mendorong banyak kalangan universitas dan pusat kajian Islam pada tingkat internasional untuk melihat kembali keadaan kajian Islam dalam rangka memberikan perspektif lebih akurat tentang Islam dan masyarakat Muslim.
Dalam konteks itu, terlihat relevansi pokok simposium tentang The State of Islamic Studies' yang diselenggarakan Consortium of Humanities Centers and Institutes (CHCI) yang berpusat di Duke University, AS, bekerja sama dengan Oxford Centre for Islamic Studies (OCIS), Oxford, Inggris, pada 26-28 September 2012 lalu.
Pembahasan tentang keadaan Kajian Islam terutama dilihat dari perspektif perkembangan ilmu-ilmu humaniora (humanities), seperti sejarah, teologi, kajian agama (religious studies), literatur dan sastra, dan antropologi. Ilmu-ilmu humaniora sendiri juga mengalami banyak perkembangan paradigma dan praktik, khususnya karena meningkatnya interaksi dan adopsi paradigma yang berkembang pula dalam ilmu-ilmu sosial, seperti ekonomi, sosiologi, dan ilmu politik.
Hasilnya, berbagai perkembangan dalam ilmu-ilmu humaniora ini membuka peluang besar untuk lebih memaju - kan kajian Islam, baik pada tingkatan normatif --teologis dan praktik ritual-- maupun pada tingkatan tradisi dan pengalaman historis, wacana, dan realitas masyarakat-masyarakat Muslim.
Adopsi berbagai perkembangan humaniora mengharuskan adanya kajian ulang terhadap paradigma dan praktik Kajian Islam yang sebenarnya sejak awal 1980-an, di berbagai tempat di Barat dan juga di Indonesia, Malaysia, Jepang, dan Korea, misalnya, mengalami banyak perkembangan signifikan.
Di Dunia Barat, pergeseran paradigma dimulai dengan penerbitan buku karya Edward Said, Orientalism (1978), tokoh Palestina yang sekaligus guru besar di Columbia University New York yang membongkar `kebusukan' motif, paradigma, dan praktik orientalisme dalam Kajian Islam. Singkatnya, Kajian Islam yang dilakukan para orientalis dimotivasi berbagai kepentingan kolonialisme, misionaris - meKristen, dan hegemoni budaya.
Walhasil, sejak awal 1980-an itu pula, istilah `orientalisme' kian jarang digunakan di kalangan para ahli dan pengkaji Islam. Hal ini tidak lain karena ia mengandung konotasi pejoratif. Banyak kalangan Barat yang mengkaji Islam kemudian lebih senang disebut sebagai Islamisis' daripada `orientalis'.
Bagi saya, paradigma dan praktik kajian Islam di berbagai negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kecenderungan utama. Pertama, kajian Islam di Barat pascaorientalisme yang menggunakan banyak paradigma humaniora dan ilmu sosial yang umumnya kritis-analitis.
Meski tidak lagi bersifat orientalistis, kajian Islam di Barat --seperti juga terungkap dalam Simposium Oxford-- cenderung mengabaikan sensitivitas normativisme keagamaan dan spiritualitas. Karena itulah dalam Simposium Oxford, nyaring suara tentang perlunyanya para Islamisis Barat untuk juga mempertimbangkan sensitivitas normatisme keagamaan Islam dan kaum Muslimin.
Kedua, kajian Islam di Dunia Arab yang di dominasi paradigma teologis normatif doktrinal dengan cenderung mengabaikan paradigma humaniora dan ilmu sosial. Karena itu, kajian Islam di Dunia Arab umumnya lebih bertumpu pada pengungkapan normativisme Islam dalam bidang kalam, tafsir, hadis, fikih dan seterusnya. Pada saat yang sama, pendekatan analitis-kritis cenderung tidak digunakan. Meski demikian, untuk kajian Islam normatif, universitas di dunia Arab tetap merupakan lokus pokok.
Ketiga, kajian Islam di Indonesia yang mengombinasikan antara kerangka teologis normatif dengan paradigma humaniora dan ilmu sosial. Kajian Islam yang bersifat normatif tetap menduduki tempat penting, misalnya, dalam lembaga pendidikan semacam UIN/IAIN/STAIN, PTN, dan PTS serta lembaga-lembaga riset. Namun, pada saat yang sama, berbagai paradigma hu maniora dan ilmu sosial --yang diperlakukan secara kritis-- sejak awal 1970-an kian banyak pula diterapkan. Sebab itu, kajian Islam di Indonesia tidak terperangkap belaka ke dalam normativisme agama --yang tentu saja juga penting-- pada tingkatan teologis-doktrinal, sekaligus juga melihat dinamika Islam historis, yang hidup dalam lingkungan masyarakat Muslim tertentu.
Dengan demikian, Kajian Islam di Indonesia memiliki distingsinya sendiri, yang sekaligus menjadi kekuatannya. Tetapi sayang, distingsi kajian Islam di Indonesia itu tidak banyak diketahui kalangan Barat dan Timur Tengah. Hal ini terkait dengan masih adanya sisa anggapan tentang identikasi Islam dengan Arab. Karena itu pula, kajian Islam di Indonesia masih cenderung diabaikan. Padahal, kajian Islam di Indonesia melibatkan sistem pendidikan tinggi Islam yang terbesar di muka bumi ini, seperti diwakili UIN/IAIN/STAIN dan PTAIS.
Berkaca pada kondisi tersebut, masih banyak hal yang harus dilakukan para pemikir dan praktisi kajian Islam di Indonesia. Tantangan mereka bukan hanya lebih memajukan Kajian Islam di negeri ini, tetapi sekaligus juga lebih memperkenalkannya ke dunia internasional. Sebab itu pula, internasionalisasi Kajian Islam Indonesia merupakan urgensi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.