Jumat 15 Mar 2013 07:00 WIB
Resonansi

Kita Belum Siap Dipimpin Orang Baik

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha

Negeri ini belum siap dipimpin orang baik. Orang baik susah naik. Yang sudah naik susah ke puncak. Yang sudah di puncak akan ditendang.

Di antara sedikit orang baik yang sudah di puncak itu di antaranya adalah BJ Habibie dan Busyro Muqoddas. Namun kemudian keduanya digebah dan tak dipilih lagi. Habibie hanya menjabat satu tahun lima bulan sebagai presiden. Busyro hanya setahun memimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Keduanya tentu bukan hanya baik, tapi juga berprestasi dan punya kapabilitas.

Kita juga bisa menyaksikan tersingkirnya orang-orang baik di sekitar kita. Bahkan kadang kita menyaksikan orang-orang baik dijadikan bulan-bulanan para bandit.

Memang tak perlu berharap ada yang berkualitas seperti malaikat, bahkan mendekati malaikat sekalipun. Setidaknya, yang penting, tidak korupsi dan bisa tetap berdiri di atas fondasi gagasan. Memiliki harga diri. Kualitas personalnya tak mudah ditransaksikan dengan kepentingan sesaat. Misalnya, tak bisa mempertukarkan hal-hal prinsip hanya untuk menyenangkan orang maupun untuk pencitraan, apalagi untuk mempertahankan kedudukan. Mereka akan sangat detil, sekaligus punya jangkauan pemikiran yang jauh ke depan. Mereka adalah orang-orang yang sudah selesai dengan urusan dirinya sendiri.

Peringkat di bawahnya adalah mereka yang relatif baik. Ada korupsi. Kecil-kecilan. Kadang dana korupsi itu sama sekali tak masuk kantong pribadi, tapi digunakan untuk biaya sosial sebagai pejabat. Titik inilah yang kemudian digunakan lawan politiknya untuk menjatuhkannya. Karena korupnya kecil-kecilan, dananya tak cukup untuk menopang kekuasaannya. Mudah jatuh. Karena itu ada yang bilang, jika mau korup, sekalian saja yang besar. Dijamin aman. Karena sebagian kecil uangnya itu sudah cukup membungkam penegak hukum, membangun basis dukungan sosial dan politik, dan membayar siapapun yang siap dijadikan tumbal. Menyedihkan.

Namun selalu saja ada anomali. Kemenangan Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta memperlihatkan kekecualian. Sampai saat ini mantan walikota Solo itu bisa dikategorikan sebagai orang baik. Tentu kita harus menunggu apakah ia bisa lulus sebagai orang baik atau teperdaya godaan tahta. Kita sama-sama menyaksikan apakah ia masih mengurusi diri sendiri atau sudah mewakafkan dirinya untuk orang banyak. Apakah dia berpihak pada kaum oligarkis atau dia benar-benar seorang marhaen sejati.

Anomali di Jakarta ini mempertontonkan betapa publik masih sehat. Asalkan mereka cukup terpapar informasi. Asalkan mereka disodori. Namun di luar Jakarta, publik tak cukup melek. Sikap mereka menjadi terdistorsi. Butuh pihak-pihak sebagai perantara. Pada titik inilah publik bisa termanipulasi. Sehingga tak muncul aspirasi yang sejati. Pilihannya bisa siapa saja. Mereka bisa tak sadar memilih koruptor sebagai pemimpinnya. Lalu mereka tak berdaya atas kelaliman penguasanya, sebagaimana mereka tak berdaya saat berada di bilik suara.

Ketika proses politik berjalan seperti itu, dan dipadu dengan budaya paternalistik, maka kita menyaksikan elite kita dipenuhi para koruptor. Ini suatu keniscayaan. Hanya ilmu preman yang bisa mengantar seseorang untuk mendaki. Hanya meloloskan orang-orang kuat. Juga hanya ilmu katak yang bisa membuat orang bertahan di jalur pendakian. Menjilat, menyikut, dan menendang. Tak heran jika politik kita demikian gaduh, sadis, dan keji. Politik menjadi formalistik, palsu, dan manipulatif.

Namun Indonesia tak semuram itu. The silent majority tetap berpihak pada hati nurani. Hanya saja mereka perlu dibangunkan. Munculnya segelintir pemimpin lokal dan pemimpin unit kecil membuktikan masih ada obor harapan. Tugas kita menggempitakan obor harapan kita. Tiap-tiap kita harus menyalakan diri sendiri. Lalu menjadikannya sebagai suatu gerakan. Tanpa ada persatuan maka kejahatan sebusuk apapun bisa mengalahkan kebaikan sebaik apapun. Walau kebaikan dan kebenaran akan menemukan jalannya sendiri, tapi kita harus menyalakannya terlebih dulu. Takdir datang setelah ada ikhtiar.

Jangan biarkan kita dipimpin orang-orang mediocre, orang pas-pasan. Apalagi dipimpin orang jahat. Betul, seperti kata nasihat: diam atau berkata baik. Namun diam tak selalu emas jika kita mampu berkata baik. Terlalu banyak orang baik di Indonesia ini, tapi kita tak luas hati untuk menyokongnya atau sekadar memujinya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement