REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
Pada 14 Juni nanti Iran akan menjadi pusat perhatian dunia, wabil khusus para pemimpin Barat (Amerika Serikat dan Eropa Barat) dan Timur Tengah. Pada hari itu negara berpenduduk sekitar 78 juta ini akan menyelenggarakan pemilihan presiden. Pemilu kepala eksekutif kali ini merupakan yang kesebelas sejak Revolusi Islam Iran berhasil menggulingkan rezim penguasa "Shahanshah" (sebuah gelar yang berarti raja segala raja) Shah Reza Pahlavi pada 1979. Revolusi rakyat yang kemudian mengantarkan terbentuknya Republik Islam Iran.
Pemilihan presiden Iran sekarang ini mendapatkan perhatian dunia karena akan menentukan kebijakan yang terkait dengan isu-isu penting, global maupun regional. Pertama, soal program nuklir, yang hingga kini belum berhasil mempertemukan dua pandangan yang berbeda antara Iran dan negara-negara Barat. Berkali-kali Iran berdalih program nuklirnya untuk pembangkit listrik alias untuk kesejahteraan rakyatnya. Berkali-kali pula negara-negara Barat terus curiga nuklir Iran untuk senjata dan perang. Apalagi, kemudian Israel ikut nimbrung mengancam untuk menyerang pusat-pusat reaktor nuklir Iran, yang menjadikan suasana Timur Tengah semakin panas.
Hingga kini, sejumlah perundingan antara kedua pihak--Barat versus Iran--sudah digelar, namun tetap belum menemukan titik temu. Yang menjadi aneh di sini adalah bahwa bukan rahasia lagi negara Zionis Israel telah lama mempunyai program nuklir. Bahkan bukan rahasia pula program nuklirnya itu untuk senjata. Lalu mengapa Barat begitu takut terhadap program nuklir Iran dan tidak khawatir dengan senjata nuklir negara Zionis Yahudi?
Yang mengherankan lagi, negara-negara Arab, terutama negara-negara Teluk, pun ikut memainkan musik yang sama yang dikonduktori oleh pihak Barat. Alasannya, kawasan Timur Tengah harus bersih dari persenjataan nuklir. Namun, sekali lagi, dunia Arab pun ikut tidak mempersoalkan program persenjataan nuklir Israel. Padahal, negara Zionis Yahudi ini berada di pusat kawasan Timur Tengah yang terus bergolak itu.
Kedua, menyangkut konflik Palestina/Arab versus Israel. Negara-negara Arab moderat mendukung perundingan damai yang disponsori Amerika Serikat. Sedangkan Iran berpandangan lain, yaitu Israel tidak mempunyai hak hidup di bumi Timur Tengah. Atau dengan istilah lain, mereka, negara Zionis Yahudi itu, irmi ilal bahr alias buang saja ke laut. Alasannya, keberadaan negara Zionis Israel merupakan konspirasi negara-negara Barat untuk menjajah negara-negara Islam dengan memasang negara boneka Israel persis di jantung Timur Tengah. Karena itulah, Iran tidak pernah menyokong proses perundingan dengan Israel. Lantaran itu pula Iran lebih dekat dengan kelompok pejuang Hamas daripada faksi Fatah yang cenderung kompromistis.
Ketiga, menyangkut persoalan Suriah. Bagi Liga Arab, solusi satu-satunya untuk menyelesaikan konflik di Suriah adalah Bashar Assad harus mundur dari tahta kepresidenan. Sedangkan Iran--bersama dengan Rusia dan Cina--merupakan pendukung utama rezim penguasa Presiden Assad. Sikap Liga Arab--dengan sponsor utama negara-negara Teluk plus Turki--ini kemudian diadopsi oleh negara-negara Barat. Sejumlah negara Arab mencurigai bahwa Iran ingin menciptakan poros Syiah yang meliputi Irak, Suriah, dan Hizbullah di Lebanon Selatan.
Dengan perbedaan sikap atas berbagai persoalan krusial itulah--baik internasional maupun regional--pemilihan Presiden Iran menjadi penting dan menjadi perhatian dunia. Yakni, apakah Presiden Iran mendatang akan tetap bersikap keras melawan dominasi kepentingan Barat atau lebih kompromistis?
Selama ini, boleh dikata, Iran merupakan sedikit atau mungkin satu-satunya negara di kawasan Timur Tengah yang berani secara terang-terangan mengkritik dan meneriakkan kata "tidak" bagi hegemoni kepentingan Barat di kawasan Timur Tengah. Akibatnya, selama puluhan tahun PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa)--yang disponsori negara-negara Barat--telah mengenakan sanksi embargo ekonomi terhadap perekonomian Iran.
Keberlanjutan aksi boikot ekonomi ini sedikit banyak akan dipengaruhi oleh sikap Presiden Iran mendatang. Ada delapan kandidat yang akan mengikut pemilihan presiden pada 14 Juni nanti. Mereka adalah Saeed Jalili (juru runding nuklir Iran), Mohammad Baqer Qalibaf (Wali Kota Teheran), Ali Akbar Velayani (penasihat ahli Pemimpinn Dewan Agung untuk Urusan Internasional/mantan menteri luar negeri), Hasan Rowhani (mantan juru runding nuklir/mantan wakil ketua parlemen), Gholamali Haddad-Adel (mantan ketua parlemen/besan Ayatullah Ali Khamenei), Mohammad Reza Aref (politisi reformis dan anggota dewan kebijakan penasihat Pemimpin Agung), Mohsen Rezai (Sekjen Dewan Kebijakan), dan Mohammad Gharazi (mantan menteri).
Kedelapan kandidat itu merupakan hasil seleksi Dewan Penjaga Konstitusi. Sebelumnya, mereka yang mendaftar sebagai calon presiden Iran lebih dari 240 orang. Di antara mereka yang digugurkan adalah Akbar Heshemi Rafsanjani (mantan presiden) dan Esfandiar Rahim Mashaie (sekutu Presiden Ahmadinejad). Sejumlah media memperkirakan pelarangan dua tokoh kuat ini untuk menghilangkan ancaman bagi kepentingan kelompok garis keras yang diwakili oleh Ayatullah Ali Khamenei.
Dengan gambaran kandidat presiden seperti itu, maka dapat disimpulkan siapa pun yang menang dari delapan calon presiden itu akan tetap loyal kepada Dewan Agung yang dipimpin Ayatullah Khamenei. Karena itu, kebijakan Iran terhadap isu-isu krusial, baik internasional maupun regional, bisa diperkirakan tidak akan banyak berubah. Apalagi, sanksi ekonomi selama ini justru telah menjadikan Iran semakin mandiri dan kuat.