REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Manshuri
Para pengunjuk rasa pendukung Presiden Mursi sudah sejak 3 Juli lalu 'menduduki' lapangan Rabiah Aladawiyah di timur Kairo. Tanggal itu adalah hari di mana militer Mesir yang didukung kelompok oposisi mengudeta kekuasaan Presiden Muhammad Mursi yang terpilih secara demokratis setahun lalu. Bila dihitung hingga Sabtu (27/07) dini hari ketika militer dan polisi Mesir mencoba membubarkan aksi unjuk rasa pendukung Mursi, mereka sudah berada di lapangan Rabiah Aladawiyah minimal selama 25 hari.
Menurut beberapa kantor berita, jumlah para pendukung Mursi yang berkumpul di Rabiah Aladawiyah mencapai satu juta orang pada siang. Menjelang sore hingga malam hari, jumlahnya bertambah mencapai dua sampai tiga juta orang, terutama ketika mereka menggelar unjuk rasa setiap usai shalat Tarawih. Mereka terdiri dari anak-anak muda, orang tua, laki-laki dan perempuan. Bahkan, ada di antara mereka yang membawa serta anak-anak. Mereka datang dari berbagai penjuru daerah di Mesir.
Mamduh Saad Mohammad, 29 tahun, datang dari Sinai (berbatasan dengan Israel). Ia bergabung ke Rabiah Aladawiyah dengan meninggalkan istri dan dua anaknya. Ia mengatakan, Allah SWT yang akan menjaga keluarganya. Menurutnya, apa yang ia lakukan untuk membela legalitas presiden yang dipilih secara demokratis. ''Masalah yang kami hadapi adalah persoalan hidup atau mati. Kami tidak mau kembali ke zaman kezaliman Husni Mubarak,'' katanya saat diwawancarai Aljazirah.net pada siang bolong yang panas dalam satu kemah di Rabiah Aladawiyah. ''Selama setahun kepresidenan Mursi, kebebasan sangat terjamin. Lalu, apakah kami tidak boleh hidup seperti bangsa-bangsa lain di negara demokrasi? ''
Tidak semua pendukung Mursi mengaku sebagai kader Ikhwanul Muslimin atau partai Islam lainnya. Shobir Abdul Ghani, mahasiswa Akademi Teknologi di Mansuroh, misalnya. Ia mengaku bergabung di Rabiah Aladawiyah lantaran para pendukung Mursi adalah orang-orang yang terhormat. Mereka berunjuk rasa dengan sopan dan damai. Ia bergabung dengan pendukung Mursi sejak 5 Juli, dua hari setelah kudeta militer. ''Saya datang ke sini untuk membela demokrasi yang dialami Mesir untuk pertama kalinya. Apa yang kami lakukan adalah untuk kehidupan yang lebih baik bagi rakyat Mesir.''
Mamduh dan Shobir sekadar contoh mereka yang mendukung Mursi. Menurut Aljazirah.net, ribuan dan bahkan jutaan pendukung Mursi memiliki niat yang hampir sama dengan kedua orang tadi. Lalu, apa yang mereka lakukan selama berhari-hari di lapangan Rabiah Aladawiyah selain berunjuk rasa?
Aljazirah.net yang sempat meliput keseharian para pendukung Mursi di tenda-tenda lapangan Rabiah Aladawiyah menuliskan, usai shalat Subuh berjamaah mereka lalu membaca Alquran, kemudian shalat Dhuha, diteruskan dengan membersihkan lokasi dan jalan-jalan sekitar. Pada siang hari yang panas, ada yang kembali membaca Alquran, ada yang mengikuti ceramah agama atau politik, dan lainnya beristirahat.
Setelah shalat Zhuhur berjamaah, mereka kembali mengikuti ceramah dari para politikus yang menganalisis perkembangan kondisi politik mutakhir. Berikutnya, usai shalat Ashar, sebagian mereka menyiapkan makanan untuk berbuka puasa bersama. Sementara, yang lainnya ada yang menyiapkan yel-yel untuk berdemo serta nyanyian perjuangan. Untuk menghilangkan kebosanan, juga diselenggarakan lomba sepak bola di tempat-tempat yang kosong di sela tenda-tenda di Rabiah Aladawiyah.
Para pendukung Mursi membantah mereka ikut berunjuk rasa karena dibayar. Salim Faris, guru SMP di Kota Ismailiyah, menyatakan, hal itu merupakan kebohongan yang disebarkan para lawan politik Mursi. Menurutnya, mereka bergabung di Rabiah Aladawiyah karena alasan nasionalisme dan agama. Mereka dengan biaya sendiri siap berhari-hari berada di Rabiah Aladawiyah hingga kebenaran bisa ditegakkan. Namun, ia mengaku banyak juga dermawan yang menyumbangkan makanan dan minuman untuk berbuka dan bersahur bagi para pendukung Mursi.
Kondisi di Rabiah Aladawiyah yang laiknya pesantren kilat di Indonesia itu, Sabtu (27/07) dini hari, menjadi tegang ketika militer dan polisi tiba-tiba menyerang para pendukung Mursi. Ikhwanul Muslimin menyebut sedikitnya 66 orang wafat di tempat dan 61 lainnya meninggal dunia di rumah sakit. Mereka terbunuh oleh senjata aparat keamanan Mesir. Ribuan lainnya menderita luka berat dan ringan. Namun, jumlah ini dibantah Menteri Dalam Negeri Mesir Mohammad Ibrahim. Menurutnya, jumlah yang meninggal tidak lebih dari 21 orang.
Yang jelas, serangan pada pagi buta itu telah membuat kocar-kacir para pendukung Mursi. Hingga tulisan ini dibuat, belum diketahui bagaimana kelanjutan keberadaan dari para pendukung Mursi di Rabiah Aladawiyah dan di tempat lainnya.
Ketegangan di kalangan para pendukung Mursi sebenarnya sudah dimulai dua hari sebelumnya. Yaitu, ketika Menteri Pertahanan yang juga Kepala Staf Angkatan Darat Mesir Jenderal Abdul Fattah Sisi meminta rakyat Mesir (baca: kelompok oposisi Mursi) turun ke jalan berdemo besar-besaran pada Jumat (26/07) sebagai bukti mandat kepada militer untuk membubarkan para pengunjuk rasa pendukung Mursi, yang ia sebut sebagai kelompok anarkis dan teroris. Sehari setelah itu, Menteri Dalam Negeri juga mengancam akan segera membubarkan para pengunjuk rasa Mursi yang ia sebut telah mengganggu ketertiban umum. Padahal, para pendukung Mursi sebelumnya juga telah bertekad pada hari Jumat akan menyelenggarakan demo besar-besaran di seluruh negeri.
Setelah serangan mematikan oleh militer Sabtu dini hari, kondisi Mesir kini semakin tidak menentu. Rakyat Mesir semakin terbelah antara yang mendukung tindakan militer dan yang mengutuk Jenderal Sisi yang disebutnya sebagai gembong kudeta militer. Hal yang paling dikhawatirkan bila Jenderal Sisi segera mengumumkan keadaan darurat dan membubarkan Ikhwanul Muslimin dan partai-partai Islam pendukung Mursi. Karena secara de facto, Jenderal Sisi-lah yang merupakan penguasa sebenarnya, sedangkan Presiden Adli Mansur dan Hazem al-Bablawi hanyalah boneka militer.
Bila ini yang terjadi, Al Rabi' Al Arabi yang terjadi di sejumlah negara Arab bukannya menjadi angin segar bagi babak baru kehidupan demokrasi, melainkan justru mengembalikan negara-negara itu ke cengkeraman militer yang diktator dan otoriter. Bahkan, Jenderal Sisi dinilai lebih buruk lantaran sejak mengambil kekuasaan pada 3 Juli lalu, militer Mesir telah membunuh sedikitnya 200 pendukung Mursi, membungkam semua media oposisi, dan memenjarakan para lawan politiknya