Rabu 21 Aug 2013 23:53 WIB
Resonansi

68 Tahun Merdeka, Hentikan Keluhan

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Saya bukanlah orang yang selalu mudah membebaskan diri dari keluhan. Sumber ketidakseronokan batin itu berpusat pada: masalah bangsa yang salah urus sekian puluh tahun, masalah kedaulatan yang semakin digerogoti pihak asing, masalah korupsi yang memiskinkan, masalah pendidikan yang tidak pernah beres, masalah lingkungan yang rusak parah, masalah penegakan hukum yang acak-acak, masalah haji yang tak pernah tuntas, dan 1.001 masalah besar lainnya.

Dengan tingkat kemiskinan yang menembus angka 49 persen dari 250 juta rakyat Indonesia, jika parameter yang dipakai adalah dua dolar AS per kepala per hari, hati siapa yang tidak akan gundah membaca kesenjangan yang tidak patut ini.

Letak geografis Indonesia bukanlah di Benua Afrika yang sebagian besar kering-kerontang yang mengharuskan penduduknya bekerja sangat keras, bergumul dengan alam yang tidak bersahabat demi kelangsungan hidup. Kita ditakdirkan Allah hidup di kawasan khatulistiwa yang subur dengan ribuan pulau yang indah menawan. Sinar matahari cukup diberikan gratis sepanjang tahun, lamanya siang dan malam berimbang, dan jangan lupa negeri, ini merebut kemerdekaannya dengan darah dan air mata, bukan di bawah sinar bulan purnama, karena si penjajah tidak rela meninggalkan Nusantara yang elok ini.

Para pejuang bangsa telah masuk dan keluar penjara dengan segala penderitaannya demi kemerdekaan yang sangat mahal harganya. Tanpa kerelaan mereka berkorban, Indonesia sebagai bangsa dan negara tidak akan pernah hadir di peta dunia. Alangkah besarnya jasa para pejuang itu. Dan alangkah tidak beradabnya kita jika pengorbanan mereka disia-siakan. Lalu di mana diletakkan sila kedua Pancasila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” jika kita tidak juga sungguh-sungguh mengurus masalah bangsa dan negara ini?

Baris-baris di atas masih bernuansa keluhan, bukan? Artinya, saya belum juga berhasil membebaskan diri dari suasana batin yang membebani itu. Kini kita berada di bulan Agustus 2013, bulan proklamasi. Bangsa ini sudah merdeka selama 68 tahun, penjajahan terkutuk itu sudah angkat kaki untuk selama-lamanya.

Nasib bangsa dan negara sepenuhnya tergenggam di tangan rakyat Indonesia. Dengan mengeluh, perubahan mendasar tidak akan pernah terjadi. Sekaranglah waktunya mengucapkan sayonara untuk segala bentuk keluhan. Bangsa dan negara ini milik kita semua.

Dengan cara masing-masing, pada posisi masing-masing, kita benahi segala yang buruk dan busuk yang melingkari negeri ini melalui sistem demokrasi yang telah dipilih. Kita harus bergerak dalam sistem ini, sekalipun sarat dengan kelemahan dan kerapuhan. Apa boleh buat. Ruang gerak saya sendiri sangat terbatas, paling-paling bicara lewat lisan dan tulisan, posisi resmi jauh dari diri saya. Tetapi yang penting, jangan diam, negeri yang elok ini jangan sampai lumpuh di tangan mereka yang lupa daratan. Eman-eman.

Tahun 2014 dimulai bulan April adalah tahun pemilihan umum dengan biaya triliunan. Siapkan diri sejak sekarang untuk menapis calon-calon anggota DPR, DPD, DPRD, calon presiden/wakil presiden agar yang lolos adalah mereka yang bermoral, penuh dedikasi, bukan sebaliknya. Memang pilihan tidak mudah karena aturan permainan dikangkangi oleh dominasi partai politik yang kini sedang jatuh harga, tetapi pasti ada yang baik yang masih punya idealisme untuk kemajuan dan perbaikan Indonesia ke depan. Kejelian dalam memilih inilah yang perlu disiapkan dari sekarang untuk menghadapi pelaksanaan sistem demokrasi yang belum sehat itu. Tidak boleh dibiarkan berlarut-larut berketiak ular seperti yang berlaku selama ini.

Jika dulu pernah dalam sejarah kontemporer Indonesia, politik atau ekonomi yang dijadikan panglima. Dalam sistem demokrasi yang sehat dan jujur, yang menjadi panglima adalah rakyat secara keseluruhan dengan kualifikasi masing-masing, karena memang demikianlah fakta sosiologis masyarakat kita.

Dalam pemilu, harga suara seorang profesor botak atau jenderal pensiunan dengan seorang nelayan buta huruf sama, tidak berbeda semiang pun. Oleh sebab itu, kita songsong tahun Pemilu 2014 dengan sikap sangat kritikal tanpa keluhan. Janganlah ditiru tabiat seekor katak, jika berdiri yang terlihat adalah apa yang ada di belakangnya. Arahkan pandangan ke depan untuk sebuah Indonesia yang adil, berdaulat, dan bermartabat.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement