Oleh Asma Nadia
REPUBLIKA.CO.ID, Ada haru ketika mengetahui, film Emak Ingin Naik Haji terpilih sebagai satu dari delapan film yang diputar di International Writing Program Cinematheque, Iowa.
Padahal dalam program tahun ini, ada 34 penulis dari 32 negara yang masing-masing membawa satu film rekomendasi pribadi dari negeri mereka, baik adaptasi karya sendiri atau bukan, untuk ditonton bersama masyarakat setempat, di kota yang dijuluki sebagai Kota Sastra oleh UNESCO.
Lebih terharu lagi, setelah film yang diambil dari salah satu cerpen di buku Ummi, terbitan Republika ini diputar, apresiasi positif berdatangan dari mereka yang menyaksikan.
Sebagian besar mengatakan betapa mereka mendapat pencerahan tentang begitu berharga dan sulitnya pergi berhaji bagi orang Indonesia. Nada Fariz, seorang penulis muda dari Kuwait, membahas film ini sepanjang 4.000 karakter dalam blognya.
Sementara, Teemu Manninen, penyair dari Finland mengirimkan sebuah e-mail panjang, menunjukkan apresiasinya. Ini tidak termasuk tanya-jawab seru setelah pemutaran film, yang berlanjut ke coffee shop bersama Mark Weinstein, seorang teman baru yang bahkan beberapa hari setelah pemutaran film masih menunjukkan ketertarikannya terhadap Emak Ingin Naik Haji, dari cerpen yang saya tulis akhir 2007.
Meski berusaha mengungkapkan kompleksitas persoalan sosial terkait haji, tentu saja film dengan durasi 90 menit tersebut tidak cukup menampung semua isu haji. Belum lama ini, misalnya, saya membaca di sebuah situs berita online tentang hilangnya kuota 40 ribu orang jamaah Indonesia terkait renovasi besar-besaran yang beberapa tahun ini dilakukan di Masjidil Haram.
Hilangnya kuota mengakibatkan jamaah yang sudah menanti selama empat tahun, mungkin harus menambah dua tahun lagi atau lebih. Pembagian kuota jamaah haji memang terkesan tidak adil.
Australia mendapatkan kuota sampai dengan 30 ribu orang, padahal yang pergi haji tidak sampai 10 ribu orang, juga negara-negara Eropa lain yang mendapat jatah cukup besar, meski jumlah Muslimnya sedikit.
Tampaknya kuota haji dari Pemerintah Arab Saudi mutlak berdasarkan persentase populasi, bukan atas pertimbangan jumlah Muslim di negara tersebut dibanding negara lain, hingga terasa jauh dari keadilan.
Pemerintah Indonesia hanya bisa melakukan lobi. Namun, tentu saja kita tidak bisa hanya menunggu tanpa melakukan langkah antisipasi jika lobi tidak berjalan mulus. Kementerian Agama sempat meluncurkan per nyatan akan melarang mereka yang sudah pernah pergi haji untuk mendaftar lagi. Saya sangat setuju.
Saya tahu, ada banyak daya tarik tanah haram yang membuat setiap pasang kaki yang pernah berhaji kembali lagi. Akan tetapi, wajib haji hanya satu kali. Jika rindu Tanah Suci, seharusnya yang menjadi pilihan adalah umrah sehingga tidak mengambil hak orang lain untuk berhaji.
Alternatif lain adalah memudahkan mereka yang ingin berangkat haji melalui jalur di luar Indonesia. Jangan dipersulit jika ada jamaah yang ingin berangkat lewat Australia, Singapora, Malaysia, dan negara-negara lain.
Dengan begitu, mereka yang mampu pergi haji melalui jalur luar negeri tak harus menunggu kuota dan yang berangkat dari dalam negeri tidak menunggu terlalu lama. Uniknya berangkat haji dari luar negeri biasanya lebih murah, lebih mudah, hotel lebih dekat, pun fasilitasnya lebih bagus.
Langkah lain agar kuota mak simal adalah dengan meminimali sasi jumlah pem bimbing. Jika saat ini jumlah pem bimbing satu banding 20, jajaki ke mungkinan menjadi satu banding 40.
Berdayakan pembimbing yang sudah ada di Arab Saudi karena kita memiliki banyak sekali muthowif asal Indonesia. Dengan begitu, jatah pembimbing bisa diberikan ke jamaah yang mengantre giliran.
Catatan lain yang perlu diperhatikan adalah mempertimbangkan prioritas umur jamaah yang menunggu giliran. Saya terus terbayang jutaan wajah tua Emak dan Abah di Tanah Air yang begitu ingin sampai ke sana dan telah menabung begitu lama. Jika menunggu lebih lama lagi, apakah masih ada waktu untuk mereka?
Memang prioritas keberangkatan jamaah haji didasarkan urutan pendaftaran cukup adil, tapi mengutamakan keberangkatan jamaah haji berdasarkan faktor usia pun bukan kebijakan yang salah, malah lebih mengesankan sikap bijak dan mulia.
Sedikit catatan sederhana ini semoga menjadi pertimbangan. Agar hati-hati yang telah lama me rindu Tanah Suci mendapatkan pelayanan lebih baik tanpa harus menunggu terlalu lama.