REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif
Yang tersulit dalam melewati ujian hidup itu bukanlah mengejar sukses manusia sebagai individu, melainkan sukses manusia sebagai masyarakat. Kumpulan individu-individu yang sukses belum tentu melahirkan masyarakat yang sukses, karena masyarakat sebagai suatu entitas kolektif lebih dari total penjumlahan orang per orang. Sukses masyarakat memerlukan penyatuan dan koherensi sukses individu ke dalam cita-cita, konsepsi, pranata, gerak, dan maslahat kebersamaan.
Demi sukses masyarakat, individu yang sukses di suatu bidang terkadang dituntut bisa menahan diri untuk tidak mengambil peran yang dapat menghambat sukses masyarakat. Pengusaha yang sukses belum tentu bisa menjadi pemimpin politik yang sukses. Dalam memimpin perusahaan, sukses seseorang diukur dari keberhasilan memperjuangkan kepentingan-keuntungan perusahaannya sendiri. Dalam politik, sukses seseorang diukur dari keberhasilannya memperjuangkan kepentingan-keuntungan seluruh rakyat, yang boleh jadi menuntut pengorbanan kepentingan perusahaannya sendiri.
Dalam memimpin perusahaan, kesuksesan bisa diraih dengan kecerdikan menginvestasikan uang. Dalam politik, sukses masyarakat justru memerlukan batas moral penetrasi uang. Tidak semua hal bisa dibeli dengan uang. Partai politik sebagai wahana perjuangan aspirasi kolektif yang harus tunduk pada kendali kolektif tidak boleh direbut dan dikendalikan oleh uang. Pilihan politik sebagai hak dan kewajiban warga negara tidak sepatutnya dianggap _private propery_ yang bisa diperjualbelikan, melainkan sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan kepada kebajikan kolektif.
Demi sukses masyarakat, orang-orang yang telah sukses di berbagai bidang memerlukan satu modal penting untuk bisa terjun ke dalam kepemimpinan politik: pengalaman terlibat dalam urusan umum — melalui gagasan dan tindakan—serta kemampuan menaruh rakyat di hatinya. Seorang taikun, artis terkenal, atau lulusan terbaik universitas luar negeri tidak serta merta pantas memimpin politik, tanpa kecukupan jam terbang dalam urusan kebangsaan. Dalam kehidupan kebangsaan yang ditandai oleh pelebaran kesenjangan sosial serta pembiaran gelembung kemiskinan, orang-orang dari menara gading kemewahan—yang tidak bisa merasakan penderitaan rakyat—tidak layak memimpin negeri ini.
Pemihakan terhadap urusan umum dan rakyat kecil itu penting karena demokrasi pada kenyataanya bukanlah pilihan bebas, melainkan pilihan kepentingan terutama kepentingan kekuatan-kekuatan adidaya, baik berupa kekuatan /ashabiyah/ (fundamentalisme komunal) maupun kekuatankorporasi (fundamentalisme pasar).
Alhasil, ada risiko besar yang kita pertaruhkan dalam kesalahan memilih pemimpin politik, yakni tergencetnya kepentingan umum dan rakyat kecil demos oleh fundamentalisme komunal dan pasar. Wacana umum tentang pemilihan pemimpin politik di negeri ini mengalami sesat pikir, ketika dasar ontologis dalam mengusung kandidat hanya berjejak pada popularitas dan ketebalan uang. Kita tidak pernah melanjutkan pencarian dengan mempertanyakan secara kritis, apakah orang-orang yang populer dan berkantong tebal itu punya rekam jejak dalam menyayangi dan melindungi kepentingan demos sebagai ibu demokrasi. Sementara kita terus mengeluhkan ketercemaran aliran politik di hilir, kita tetap menebarkan racun di hulu, dengan membiarkan kesesatan dalam menentukan kandidat
pemimpin.
Dalam memilih pemimpin politik, kita harus mengingat pesan Bung Hatta, ”Indonesia, luas tanahnya, besar daerahnya, dan tersebar letaknya. Pemerintahan negara yang semacam itu hanya dapat diselenggarakan oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya dan mempunyai pandangan yang amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada kita jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa. Untuk mendapat rasa tanggung jawab yang sebesar-besarnya, kita harus mendidik diri kita dengan rasa cinta akan kebenaran dan keadilan yang abadi. Hati kita harus penuh dengan cita-cita besar, lebih besar dan lebih lama umurnya daripada kita sendiri.”
Mempertanggungjawabkan kekuasaan bagi kebesaran dan keluasan Indonesia itu sungguh berat, kecuali bagi mereka yang tidak takut kehilangan apapun selain kebenaran dan keadilan. Agar bisa memuaskan kepentingan orang banyak, seorang calon pemimpin harus bisa berpuasa (menahan diri) dari godaan nafsu “Al-takâstur” (menimbun dan menguasai) yang tak ada habisnya hingga masuk liang lahat. Tanpa kemampuan berpuasa, orang yang memburu kekuasaan karena tidak pernah merasa puas dengan apa yang diperolehnya tidak akan pernah memiliki kelapangan jiwa untuk melayani rakyatnya; sebaliknya hanya akan menjadikan perut mereka sebagai kuburan bagi rakyatnya.
Bagi para pemimpin sejati, kebahagian tertinggi itu tidaklah terletak pada pemuasan “the will to pleasure” (hasrat kesenangan) atau “the will to power” (hasrat kekuasaan), melainkan pada _“the will to meaning”_ (hasrat meraih makna esensial) sebagai hamba Tuhan yang bisa membebaskan beban derita yang memasung kehidupan orang-orang yang terhempas dan terputus. Seperti diingatkan oleh Bung Karno, “Orang tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin.” Mari belajar puas atas karunia yang kita peroleh dan memuaskan orang lain lewat pelayanan yang tulus dengan puasa sejati!