REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Berkaca pada pengalaman sejumlah negara di berbagai belahan dunia yang menimbulkan pesimisme terhadap masa depan demokrasi, apa yang bisa dilakukan Indonesia untuk menumbuhkan kembali optimisme pada demokrasi? Kesempatan itu kini datang ketika para pemilih memberikan suara dalam Pemilu legislatif 9 April dan kemudian Pilpres 9 Juli 2014? Apakah Pemilu legislatif itu dapat memulihkan kepercayaan rakyat pada legislatif yang dalam periode lalu banyak dianggap sangat mengecewakan? Selanjutnya, apakah Pilpres bisa menghasilkan Presiden yang lebih memberikan harapan untuk masa depan Indonesia.
Penguatan kembali optimisme pada demokrasi niscaya harus bermula dari sikap lebih yakin pada demokrasi. Meski memiliki kelemahan dan batas tertentu, demokrasi tetap merupakan pilihan sistem politik yang lebih viabel bagi Indonesia. Jelas jauh lebih sulit menerapkan sistem politik lain seperti teokrasi atau militerisme.
Lagi pula, sulit dibayangkan warga Indonesia dapat menerima sistem politik lain. Meski penerapan demokrasi Indonesia sejak 1999 sering terlihat kacau (messy democracy), apalagi Pilkada sejak 2005 yang tidak jarang melibatkan politik uang, kekerasan dan intimidasi, sulit dibayangkan masyarakat mau menerima kembali otoritarianisme apakah berdasarkan pandangan teologis ataupun kekuatan senjata.
Bahkan gagasan tentang ‘penyederhanaan’ demokrasi prosedural dengan alasan keamanan dan keuangan pada Pilkada mendapat tantangan keras. Dengan demikian, demokrasi Indonesia bagaimanapun kacau dan semrawutnya telah menjadi ‘order of the day’.
Pada satu segi, gejala ini menunjukkan demokrasi semakin tertancap dalam budaya politik warga. Sayangnya penguatan tradisi dan proses demokrasi itu tidak disertai peningkatan budaya kewargaan (_civic culture_) dan keadaban (civility) para warga. Upaya penguatan budaya kewargaan dan keadaban warga dapat dilakukan melalui pendidikan kewargaan (civic education) atau pendidikan demokrasi (civic education) seperti pernah dilakukan di Indonesia di masa awal reformasi menjelang Pemilu 1999. Tetapi setelah itu, meski Pemilu juga terlaksana pada 2004, 2009 dan 2014, pendidikan tersebut kehilangan momentumnya sehingga tidak lagi menjadi prioritas dilaksanakan.
Padahal jelas, budaya kewargaan dan keadaban tidak bisa dipandang telah selesai atau bisa tumbuh dengan sendirinya. Karena itu, budaya kewargaan dan keadaban warga kian merosot di ranah publik. Tidak perlu penelitian akademik dan ilmiah dalam hal ini; orang dapat melihat kemerosotan budaya kewargaan dan keadaban publik dalam berbagai lini dan aspek kehidupan publik.
Karena itulah budaya kewargaan dan keadaban harus ditumbuhkan dan diperkuat terus menerus. Dengan begitu keduanya menjadi fungsional tidak hanya dalam penguatan kembali demokrasi, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari; penghormatan pada keadaban publik dan sekaligus pada hukum dan ketertiban dapat kembali tegak.
Tetapi jelas budaya kewargaan dan keadaban perlu diperkuat kembali bukan hanya pada warga, tetapi juga pada para politisi dan elite politik. Sejak masa reformasi, tingkah laku dan praktek banyak di antara para politisi yang aktif pada lembaga legislatif sangat mengecewakan. Cukup banyak di antara mereka yang terlibat dalam korupsi dan tingkat kehadiran sangat rendah dalam sidang sehingga gagal mencapai target pembahasan RUU dan lain-lain. Tidak heran kalau kenyataan ini menimbulkan frustrasi dan apatisme masyarakat terhadap mereka.
Apatisme para pemilih nampaknya tidak berkurang menghadapi Pemilu Legislatif 9 April 2014. Hal ini terkait dengan kenyataan, sekitar 90 persen calon legislatif dalam Pemilu ini adalah petahana (incumbent), yang agaknya juga mencakup sebagian mereka dengan kinerja cukup baik. Sisanya adalah wajah baru yang belum bisa dipastikan dapat memulihkan martabat lembaga legislatif.
Tapi pesimisme saja jelas tidak bakal memperbaiki keadaan. Karena itu para pemilih semestinya memberikan suaranya untuk menerapkan prinsip reward and punishment. Dalam kerangka ini, pemilih memberi ganjaran atau hukuman dengan memilih calon yang memiliki rekam jejak cukup baik. Sebaliknya tidak memilih calon yang menunjukkan rekam jejak mengecewakan.
Dengan demikian, penguatan kembali demokrasi memerlukan kerja keras di berbagai lini baik warga pemilih maupun calon legislatif, politisi dan sekaligus partai politik. Jika tidak, demokrasi prosedural melalui Pemilu tidak lebih dari hura-hura ‘pesta demokrasi’ yang secara substantif tidak mampu memperbaiki realitas politik, apalagi kesejahteraan rakyat.
Usaha untuk penguatan kembali dan refungsionalisasi demokrasi pada dasarnya sangat dimungkinkan di Indonesia. Hal ini tidak lain karena Indonesia kaya dengan organisasi dan kelompok civil society, yang biasa diterjemahkan sebagai ‘masyarakat madani’ atau ‘masyarakat sipil’ atau bahkan ‘masyarakat kewargaan’. Mereka ini, yang berhasil melakukan penjarakan dengan politik (political disengagement) dapat memainkan peran penting dalam pemberdayaan demokrasi sebagaimana pernah mereka lakukan pada tahun-tahun menjelang dan awal reformasi. Kini saatnya mereka melakukan revitalisasi untuk masa depan demokrasi lebih baik.