Sabtu 10 May 2014 06:00 WIB

Allah, apa yang telah kami ajarkan?

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Seorang gadis yang masih sehat mengutarakan kebenciannya terhadap ibu hamil di kereta api yang tiba-tiba minta duduk. Menurutnya, kenapa para ibu hamil tidak berangkat pagi-pagi dari stasiun yang sekalian jauh untuk memperoleh tempat duduk?

Tak berhenti di sana, adinda kita masih mengomel dan mengecap ibu-ibu hamil yang demikian menyusahkan orang lain. Kalau memang tidak mau susah, mending tidak usah bekerja. Jangan sementang hamil maunya difahami  terus, kalimatnya lagi di social media.

Meski kemudian diikuti permintaan maaf, apa yang disampaikan  kadung melekat di hati masyarakat. Sebagai seorang ibu yang juga memiliki anak gadis, mau tidak mau saya memandang putri sulung saya, berpikir jika dia yang berada dalam posisi adinda tersebut, apa yang akan dilakukannya? Apa pendapatnya?

Mendadak saya dihantui kekhawatiran. Allah, apa yang telah kami ajarkan kepada anak-anak kami? Sudahkah mereka ditanamkan simpati dan kepedulian? Empati hingga bisa menghayati situasi sulit  orang lain, lalu terdorong untuk menolong? Atau sebaliknya selama ini kita merasa cukup jika ananda pulang sekolah dengan membawa kertas ulangan bernilai sepuluh. Bangga dengan prestasi dan piala di berbagai bidang, tanpa terusik untuk menelusuri wajah polos mereka lebih dalam, dengan harapan dan doa semoga kita  juga telah membangun kecerdasan emosi dan spiritual ananda?

Sebelumnya berita lain menggemparkan. Sepasang ABG yang berpacaran membunuh mantan pacar sang cowok dengan cara menyetrum dan menyumpal mulut korban dengan kertas koran.

Usia keduanya masih belasan tahun. Dari mana mental sadis dan kekerasan hingga menghilangkan nyawa orang lain, mereka peroleh? Setelahnya bahkan masih sempat mengucapkan bela sungkawa palsu di social media. Ke mana larinya perasaan iba, kasih dan sayang? Ke mana hilangnya nilai-nilai kemanusiaan?

Lagi hati saya berdetak. Allah, apa yang telah kami ajarkan pada anak-anak kami?

Lupakah kami membasuh hati mereka dengan kelembutan sejak kecil? Khususnya bagi anak-anak lelaki untuk melindungi perempuan di sekitar mereka. Adakah tanpa disengaja kami justru melakukan kekerasan yang tertangkap mata belia mereka hingga menganggapnya sebagai tindakan lumrah? Lalaikah kami menekankan betapa kekerasan bukan jalan penghuni surga?

Tak berhenti di sana, berita duka lain mengguncang jiwa kemanusiaan kita. Satu mahasiswa meninggal dan enam lain luka-luka karena tindak bully yang dilakukan senior mereka dari Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran.

Terbayang ayah dan ibu korban telah membesarkan anak lelaki mereka dengan susah payah. Mengeluarkan dana agar ananda bisa bersekolah dengan baik dan kelak menjadi manusia berguna bagi bangsa dan Negara.

 

Betapa menyakitkan  bahwa setelah melalui jerih payah bertahun-tahun, kemudian ananda direnggut dari sisi orang tua dan keluarga yang mencintai, justru oleh kakak kelas yang seharusnya mengayomi.

Tindakan bully senior kepada junior yang mengakibatkan korban jiwa telah banyak terjadi di berbagai sekolah tinggi. Bahkan kampus yang seharusnya menciptakan figur berbakti pada masyarakat dan Negara.

Kembali hati saya berduka. Lagi-lagi pertanyaan sama terngiang. Allah, apa yang telah kami ajarkan pada ananda hingga nyawa seakan tak ada harganya di mata mereka? Kenapa arogansi yang menguasai dan bukan jiwa mengayomi yang tumbuh dari para kakak kelas?

Sudah terlalu sering. Sudah terlalu banyak korban. Tidak adakah pihak yang bisa berbuat sesuatu hingga kedukaan serupa tak berulang?

Anak-anak yang dikirim orang tua mereka  melanjutkan sekolah tak seharusnya menanggung resiko diintip kematian karena kekerasan. Di mana bapak dan ibu yang seharusnya mengawasi dan mengawal pendidikan kita? Lebih penting lagi, sejumlah tindakan apa yang telah  dilakukan agar  kasus penganiayaan serupa tak terjadi?

Padahal di luar ini ada persoalan drugs yang seharusnya sejak awal kita tegaskan haram, sama seperti minuman keras. Juga ancaman lain yang mengintai. Seorang remaja putri bercerita tentang teman-teman satu SMP yang sudah melakukan hubungan seks. Lebih parah lagi hal itu dilakukan di rumah anak perempuan. Dalam kebingungannya remaja  ini bertanya,apa yang sebenarnya dilihat anak-anak perempuan itu dari pacar mereka yang jauh dari kriteria lelaki ideal mana pun?

“Dia pemakai drugs, bunda.”

“Pacar teman saya itu bahkan dikeluarkan dari sekolah!”

“Kalau yang saya tahu cowoknya itu brengsek. Kabarnya sudah banyak

menjeblosi  anak gadis orang.”

Mau tidak mau saya menarik napas.

Allah, apa yang sudah kami ajarkan pada anak-anak kami?

Sudahkan kami membimbing untuk bangga mempertahankan kesucian? Untuk menjauhi zina yang merupakan salah satu dosa terbesar? Untuk menghindari laki-laki bejat di sekitar mereka? Jika sudah, lantas bagaimana anak-anak gadis kita bisa terbutakan  dan membiarkan diri dinistakan seseorang yang bahkan baru beberapa saat mereka kenal? Mungkinkah kebebasan serupa mereka lihat dari cara kami para orang tua bergaul? Kami yang tak lagi menghormati institusi pernikahan?

Allah, maafkan ketidakmampuan ini. Maafkan jika sebagai orang tua kami terlalu sibuk dengan persoalan sendiri dan tak hadir ketika anak-anak membutuhkan lebih banyak perhatian dan kasih sayang. Maafkan kami yang tidak peka, yang  lupa mendoakan mereka, juga lalai dalam beribadah pada-Mu. Maafkan kami yang terus mengulang dosa, hingga anak-anak melihat neraka begitu indah, dan karenanya tak tertarik lagi pada surga.

Jika kami yang memberikan contoh buruk itu ya Allah, mohon ampuni, dan beri kami kesempatan memperbaiki.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement