Jumat 12 Sep 2014 06:00 WIB

Pilkada Beruk dan Kera

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

“Bertemu rasakan mabuk, bercerai rasakan muntah”

Pepatah Melayu ini sangat tepat menggambarkan perdebatan soal evaluasi pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Sebelum ini, DPR pernah mendapat tekanan publik untuk mengevaluasi tata cara pilkada. Ada banyak alasan.

Pertama, biaya yang dikeluarkan kandidat untuk memenangkan pemilihan bupati atau walikota bisa mencapai puluhan miliar. Ada yang relatif murah, sekitar Rp 9 miliar. Biaya itu untuk kampanye, membeli partai pengusung, menyuap pemilih, dan menyuap penyelenggara pilkada dengan segala ikutannya. Kedua, pilkada langsung mengajarkan rakyat untuk belajar politik transaksional. Politik wani piro, berani bayar berapa per pemilih. Pilkada menjadi arena perusakan masyarakat yang massif. Ketiga, pemenang pilkada harus mengembalikan biaya pemenangannya. Satu-satunya cara adalah dengan korupsi. Karena itu, secara kumulatif sejak reformasi setidaknya sudah 298 kepala daerah yang menjadi tersangka, terdakwa, dan terpidana kasus korupsi. Keempat, menimbulkan konflik sosial yang meretakkan masyarakat.

Puncak dari kekecewaan terhadap pilkada langsung itu adalah keputusan munas alim ulama dan konferensi besar PBNU pada 14-17 September 2012. Para ulama meminta agar pilkada langsung dihentikan. Namun saat itu, parlemen bergeming. Mereka tak menanggapinya. Kini, di periode akhir DPR 2009-2014, tiba-tiba parlemen akan menggolkan undang-undang yang menghentikan pilkada langsung menjadi lewat DPRD.

Media massa, para kepala daerah, dan sejumlah akademisi serta LSM mengecam keras rencana DPR tersebut. Ini semua karena momentum yang tak tepat, dan terutama karena motif yang tak tepat. Rencana penghapusan pilkada langsung ini masih bagian dari rentetan pilpres 2014. Fraksi-fraksi di DPR yang tergabung dalam koalisi pengusung Prabowo – Golkar, Gerindra, PKS, Demokrat, PAN, dan PPP – bersatu untuk rencana ini. Sedangkan fraksi-fraksi yang mengusung Jokowi – PDIP, PKB, dan Hanura – menolak penghapusan pilkada langsung. Ada kekhawatiran bahwa aturan itu hanya bagian dari perseteruan politik belaka. Jika koalisi pengusung Prabowo itu berhasil menggolkan aturan itu maka langkah selanjutnya adalah bagi-bagi jatah kepala daerah. Hal ini tentu saja mengancam 'kelancaran' pemerintah Jokowi nanti dalam melaksanakan programnya. Itulah kekhawatiran yang muncul.

Pada titik ini, perdebatan soal pilkada langsung atau lewat DPR menjadi tak sehat. Semua hanya bermuara pada pertimbangan praktis dan pragmatis. Padahal, sebelum ini, perdebatan soal ini sangat substantif dan akademik. Sehingga wajar pada saat itu, parlemen tak meresponsnya. Kita harus akui bahwa semenjak reformasi, bangsa ini seolah kehilangan wacana. Semua terhisap pada pertarungan perebutan kekuasaan dan perebutan kueh ekonomi belaka. Tak heran jika apa yang diteriakkan saat menumbangkan rezim Orde Baru, justru makin massif di era kini. Korupsi makin merata dan makin meraksaa. Nepotisme dan kolusi makin terang-terangan. Jika di masa lalu hanya ada satu dinasti, kini makin banyak dinasti.

Dalam sejarah Republik, kita pernah mengalami dua fase besar tentang susunan dan bentuk pemerintahan. Pertama, ketika negara kesatuan berubah menjadi negara federasi. Kedua, ketika negara demokrasi menjadi negara totaliter (demokrasi terpimpin). Lahirnya Republik Indonesia Serikat (RIS) yang federatif berakhir setelah M Natsir mengajukan Mosi Integral ke parlemen. Dalam pidato pengajuan mosi itu, 3 April 1950, Natsir mengatakan, “Kekacauan pikiran melumpuhkan jalannya usaha pembangunan kemakmuran rakyat.” Sesuai hasil Konferensi Meja Bundar, Indonesia terbagi menjadi tiga negara. Namun kemudian mekar menjadi 16 negara bagian. Eksistensi Indonesia juga makin kehilangan relevansinya karena RIS mengakui Ratu Belanda sebagai pemimpin simbolik. Pesan Natsir tersebut menjadi inti kritik dan penolakan terhadap RIS: kekacauan pikiran membuat kita tak fokus untuk mengabdi pada rakyat.

Ujian negara kesatuan terjadi ketika pada 1959 Sukarno menerapkan demokrasi terpimpin. Karena itu, pada 1960, Hatta menulis sebuah buku semacam pamflet yang berjudul Demokrasi Kita. Artikel itu kemudian ditebitkan majalah Pandji Masjarakat yang dipimpin HAMKA. Namun kemudian majalah itu dibreidel dan artikel itu dilarang beredar. Dua tahun kemudian, HAMKA masuk penjara untuk kasus yang dicari-cari. Demokrasi Kita adalah kritik tajam terhadap demokrasi terpimpin. Dalam artikel itu, Hatta mencatat: “Demokrasi bisa tertindas sementara...tapi...ia akan muncul kembali dengan penuh keinsyafan...[karena] demokrasi di sini (Indonesia) berurat berakar di dalam pergaulan hiudp.”

Perdebatan ihwal pilkada langsung atau lewat DPR adalah ''laksana menukar beruk dengan kera”. Semua ada plus-munisnya. Yang berdebat pun tak sedang sungguh-sungguh berdebat. Mereka hanya sedang memperhitungkan kursi dan piring. Karena itu, saran Din Syamsuddin sangat tepat. Ketua Muhammadiyah itu berpendapat sebaiknya perdebatan soal ini ditunda. Tunggu sampai jelas mana beruk mana kancil. Sebagian ahli juga bersilang kata. Misalnya, ada yang bilang gubernur dipilih DPRD, tapi bupati dan wali kota dipilih langsung. Ada pula yang sebaliknya. Bupati dan wali kota dipilih DPRD, sedangkan gubernur dipilih langsung. Juga ada yang berpendapat semuanya dipilih langsung atau semuanya dipilih DPRD.

Perdebatan soal ini sebaiknya dimulai dari soal substansi otonomi daerah dan relasinya dengan negara kesatuan. Ini untuk menjaga kesatuan wilayah, ketahanan ekonomi, dan kemakmuran bersama. Kita juga harus mengkaji sejarah sosial kita. Soepomo, bapak negara integralistik Indonesia, saat berpidato di BPUPKI, menyatakan, “Sungguh benar, dasar dan bentuk susunan dari sesuatu negara itu berhubungan erat dengan riwayat hukum (rechtsgeschichte) dan lembaga sosial (sociale structuur) dari negara itu.”

Dengan demikian, kita akan kembali pada pesan Sukarno saat pidato monumental pada 1 Juni 1945: “Kita hendak mendirikan suatu negara 'semua buat semua'. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan.”

Inti dari kekacauan pilkada adalah soal korupsi, penegakan hukum, dan keteladanan serta efektivitas kepemimpinan. Sistem apapun akan rusak jika hal-hal itu absen.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement