Ahad 12 Oct 2014 13:32 WIB

Ebola, Virus yang tak Memandang Kewarganegaraan

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

"Satu orang penderita ebola meninggal!" kalimat Scott Sugawara, salah satu rekan fotografer  yang saat ini sama-sama sedang berburu foto di Amerika.

Sekalipun belum sampai tahap mengkhawatirkan, berita kematian Thomas Eric Duncan, korban warga negara Liberia ini, diumumkan langsung oleh Menteri Luar Negeri Amerika. Salah satu  kritik media terhadap Rumah Sakit Texas Health Presbyterian Hospital Dallas adalah bagaimana RS tersebut mengirim sang pasien pulang,  padahal ia baru saja datang dari negeri yang merupakan salah satu daerah terjangkit ebola terparah. Tiga hari kemudian sang pasien kembali dan tak lama kemudian meninggal.

Seandainya saja sejak hari pertama memeriksakan diri ia langsung diawasi sebagai potensial pasien Ebola, tentu hal ini tidak menjadi kekhawatiran nasional.Diketahui 114 orang di Amerika bertemu dengan sang korban dan 9 di antaranya berada dalam risiko, sekalipun tidak ada gejala terjangkiti ebola. Duncan sendiri tertular Ebola ketika menolong seorang ibu hamil di Liberia, dan kemudian sang ibu meninggal akibat Ebola. Konon penyakit ini menular melalui cairan tubuh yang terjangkiti virus.

Saat ini Amerika dan negara maju lain sedang berpikir keras agar penyakit tersebut  tidak menyebar di wilayah mereka.Apa hikmah yang terkandung dari peristiwa ini?

Berbicara tentang Ebola, maka kita berbicara tentang virus. Hal-hal yang kebanyakan orang lupa  adalah: virus tidak peduli  kebangsaan, hierarki, rasis, miskin atau kaya, budak atau raja. Virus tidak peduli jika seseorang berkulit putih, hitam atau merah. Virus hanya bertahan hidup dan berkembang biak.

Ketika  kita memerangi virus dengan begitu banyak keterbatasan dan isu-isu seperti wilayah, kebangsaan, keuangan, budaya, keuangan dan isu-isu etnis,  maka selamanya tidak akan pernah bisa mengalahkannya.

Sayangnya, itu adalah realitas yang menjangkiti pikiran sebagian besar dari kita hari ini.

Di Afrika sejak bulan Maret sampai awal Oktober 2014, 7.400 orang terjangkiti dan sekitar 3.400 orang meninggal karena virus Ebola. Sierra Leone Liberia, Guinea dan Nigeria adalah negara terparah yang terserang penyakit ini.

Realitas  paling tragis dalam situasi ini adalah perbandingan  jumlah dokter dan penduduk di negara-negara tersebut sangat rendah. Satu dokter di negara-negara terjangkit ebola harus menangani seratus ribu orang. Dengan perbandingan 1:100.000 negara-negara ini telanjang menghadapi serangan virus.

Sierra Leone misalnya, mengambil langkah yang sangat kontroversial untuk mengurangi penyebarannya. Pemerintah melarang enam juta  penduduknya  keluar dari rumah mereka selama tiga hari. Hanya pejabat kesehatan yang diizinkan  melakukan perjalanan. Beberapa warganya kelaparan di rumah karena  tidak memiliki cukup makanan, sementara mereka tidak bisa keluar.

Yang menarik bagi saya adalah bagaimana dunia membiarkan negara-negara tinggi resiko hanya memiliki satu dokter untuk seratus ribu orang, tanpa melakukan bantuan berarti untuk memperbanyak jumlah dokter di wilayah tersebut.

Idealnya satu dokter berbanding  500 orang. Indonesia adalah yang terburuk di ASEAN dengan perbandingan 1 dokter untuk 3.400 orang, sementara Amerika Serikat memiliki satu dokter untuk 400 warganya.

Dunia harus ingat bahwa kurangnya jumlah dokter di Afrika, tidak hanya masalah Afrika. Ingat  bahwa virus tidak memiliki kewarganegaraan, setelah mereka tumbuh dan berkembang biak di Afrika bisa saja menyebar dan tumbuh di seluruh dunia.

idealnya sejak lama, tanpa menunggu apapun wabah virus, dunia harus menyediakan lebih banyak dokter di daerah Afrika atau rentan. Jika kita melakukan itu, kita mungkin akan lebih siap mengantisipasi berbagai situasi.

Hari ini kita memiliki AIDS di seluruh dunia yang dimulai dari Afrika, dan sekarang Ebola mulai dari Afrika lagi. Dan jika kita tidak memulai tindakan antisipasi dari sekarang, siapa yang mampu menjamin tidak akan ada lagi virus dimulai dari Afrika?

Saatnya bertindak, lupakan masalah kebangsaan, etnis dan keterbatasan lain ketika kita berbicara tentang kesehatan, sebelum terlambat. Untuk melawan virus, kita harus berada dalam satu visi yakni hanya berbicara tentang  kemanusiaan.Pemerintah semoga tak menunggu virus ini masuk ke Indonesia baru panik. Sedini mungkin, sejak sekarang seharusnya sudah  ada langkah antisipasi yang bisa diandalkan. Sudahkah?

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement