REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
‘Revolusi Payung’ alias ‘Umbrella Revolution’ —sebuah istilah populer belakang ini-- mengacu pada gerakan prodemokrasi di Hong Kong. Terutama didukung para mahasiswa dan aktivis demokrasi, demonstrasi damai yang muncul sejak 22 September 2014 menyebut diri sebagai ‘Duduki [Wilayah] Sentral dengan Cinta dan Perdamaian’.
Para demonstran membawa payung, tidak hanya untuk menahan panas matahari dan hujan, tapi juga sebagai tameng perlindungan dari semprotan cabai halus dan gas air mata yang dilepas polisi Hong Kong dalam usaha membubarkan mereka. Di luar insiden itu, tidak jelas sampai kapan pendudukan beberapa ruas jalan di wilayah Sentral Hong Kong berlanjut.
‘Revolusi Payung’ bermula dari meningkatnya kekhawatiran warga Hong Kong, khususnya kalangan muda, terhadap kian merosotnya kebebasan yang membedakan kawasan bekas koloni Inggris ini dengan wilayah Republik Rakyat Cina (PRC) lain. Padahal, ketika Inggris mengembalikan Hong Kong kepada Beijing (1997), para warganya dijanjikan berada dalam ‘satu negara, dua sistem’ yang menjamin otonomi Hong Kong selama 50 tahun ke depan.
Para pemrotes juga menolak pemilihan kepala eksekutif (chief executive) Hong Kong secara tidak langsung oleh semacam dewan pemilih yang kebanyakan anggota adalah orang-orang pro-Beijing. Hasilnya, chief executive Hong Kong selalu pro-Beijing daripada prowarga setempat. Karena itu, mereka menuntut pemilihan langsung oleh warga —satu orang, satu suara.
Apakah Beijing bakal memenuhi tuntutan para demonstran? Sejarawan terkemuka Wang Gungwu dalam artikelnya ‘A Test of Will’ dalam Harian South China Morning Post (9 Oktober 2014) menyebut yang kini terjadi di antara para demonstran pada satu pihak dengan polisi dan Pemerintah Hong Kong pada pihak lain adalah ‘ujian kemauan’ —siapa yang lebih punya semangat bertahan. Sementara itu, pemerintah pusat di Beijing memilih bersikap ‘menunggu’ —mencoba menahan diri tidak terlibat langsung, sementara berusaha memastikan tak ada campur tangan kepentingan dan kekuatan luar.
Penulis Resonansi ini berkesempatan selama sepekan (6-12 Oktober 2014) mengamati ‘Revolusi Payung’ ketika kembali ke Hong Kong sebagai Visiting Professor pada Research Institute of Humanities (RIH), Chinese University of Hong Kong (CUHK). Bagi kalangan luar yang mengikuti pemberitaan televisi dan media cetak, Hong Kong secara keseluruhan terlihat tengah bergolak. Dalam kenyataan, pergolakan dan pendudukan terjadi hanya di kawasan Sentral, Pulau Hong Kong. Kehidupan di wilayah lain, seperti Kowloon dan New Territories tetap berlangsung seperti biasa.
Hal yang sama juga terlihat di lingkungan kaum Muslimin Hong Kong. Ketika berkunjung ke Masjid Ammar di lingkungan Kowloon pada Jumat (10/10), masjid dengan bangunan gedung berlantai delapan ini terlihat ramai oleh jamaah. Jika jamaah laki-laki kebanyakan berwajah Pakistan, Bangladesh, dan India, jamaah perempuan kebanyakan berparas Indonesia.
Muslimin asal Indonesia merupakan kelompok terbesar penganut Islam di Hong Kong —sekitar 90 persen mereka Muslimat pekerja rumah tangga (domestic workers) yang juga disebut BMI —buruh migran Indonesia. Menurut data Pemerintah Hong Kong ada sekitar 140 ribu Muslim Indonesia dan 30 ribu Muslim Cina yang sebagian besar berasal dari Cina daratan (mainland). Sisanya dari anak benua India, Timur Tengah, dan Afrika.
Pembentukan Hong Kong sebagai diaspora Muslim bermula ketika kawasan ini menjadi ‘koloni’ Inggris sejak akhir 1880-an yang membawa pasukan dan pegawai Muslim dari anak benua India. Komunitas Muslimin yang meski masih kecil jumlahnya, berhasil membentuk Dewan Penyantun yang kemudian membangun masjid di Shelley Street pada 1890 yang semula disebut ‘Mohammedan Mosque’. Nama masjid ini janggal —karena sebenarnya tidak ada ‘Mohammedan mosque’ atau ‘Mohammedan religion’ sehingga pada 1905 diganti menjadi ‘Masjid Jami’.
Sejak itu, beberapa masjid lagi didirikan sehingga berjumlah enam masjid sampai sekarang. Keenam masjid itu adalah Masjid Kowloon, semula dibangun pada 1896 dan direstorasi sebagai masjid terbesar dan terindah di Hong Kong pada 1984; Masjid Ammar, pertama kali dibangun pada 1967 dan direhab total pada 1981; Masjid Stanley didirikan pada 1937; Masjid Chai Wan dibangun pada 1963; dan terakhir Masjid Ibrahim yang dibangun pada 2013.
Kaum Muslimat asal Indonesia mulai berdatangan ke diaspora Hong Kong sejak 1980-an. Jumlah mereka terus meningkat pada 1990-an sehingga menjadi komunitas Muslim terbesar di Hong Kong. Mbak Supartinah asal Blitar yang sudah bekerja hampir selama 30 tahun di Hong Kong bercerita, tidak banyak kaum lelaki Muslim Indonesia di Hong Kong —hanya sekitar 50-an orang karena jauh lebih sukar bagi mereka mendapat visa kerja. Menurut Mbak Tinah yang berjilbab ini, kemudahan lebih banyak diberikan kepada perempuan domestic workers.
Muslimat Indonesia kebanyakan bergabung dengan Masjid Ammar dan Masjid Kowloon. Mereka tidak punya organisasi sendiri, tetapi bergabung dengan Islamic Union yang bermarkas di Masjid Ammar. Mereka hampir selalu mengafiliasikan diri dengan ormas di Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, misalnya. Para BMI ini menjadi pengirim remittance dalam jumlah besar ke Indonesia dan sekaligus penopang filantropi Islam yang tidak bisa diabaikan.
Ikuti informasi terkini seputar sepak bola klik di sini