REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Jika agama Nabi Ibrahim yang monotheistik bagi sebagian kalangan sekarang ini disebut sebagai ‘lebih rawan’ terhadap kekerasan dan terorisme, bagaimana dengan agama-agama lain? Apakah agama pra-agraris, pra-Masehi yang kemudian sebagiannya berkembang menjadi Hindu, Budha, Tao, Shinto, dan lainnya tidak rawan?
Menurut Karen Armstrong dalam buku terbarunya, Fields of Blood: Religion and the History of Violence (London: The Bodley Head, 2014), agama paling awal dalam sejarah berakar pada pengakuan terhadap fakta tragis; kehidupan manusia sangat tergantung pada penghancuran makhluk lain. Ritual yang dipersembahkan kepada kekuatan yang dianggap dapat memberikan perlindungan (tuhan) semata-mata untuk menyelamatkan manusia dari berbagai bahaya dan bencana.
Dalam konteks itu, manusia pra-Masehi yang hidup dari berburu merasakan kepuasan ekstatik dalam perburuannya—membunuh makhluk lain. Pada saat yang sama merasakan adanya kekuatan maha besar yang membantu mereka.
Namun penting dicatat, tulis Armstrong, mereka yang hidup dari berburu tidak mampu mengorganisasi atau melakukan perang dalam skala besar. Memang ada beberapa arkeolog yang mengklaim telah menemukan ‘kuburan massal’ manusia yang hidup pada periode pra-Masehi, tetapi tidak ada bukti meyakinkan manusia-manusia awal terlibat perang besar dalam skala besar dan waktu panjang.
Kehidupan manusia berubah dramatis sejak 9000 SM dengan bermulanya pertanian di daerah Levant (kini mencakup wilayah terbentang di antara Turki-Mesir-Iraq). Masyarakat manusia yang telah menetap ini tidak hanya berhasil memproduksi makanan, tetapi juga membiakkan manusia dalam jumlah besar. Hasilnya, sejak 8500 SM, mayoritas masyarakat manusia telah bertransisi ke dalam kehidupan pertanian. Lewat pertanian datanglah peradaban dan budaya perang.
Jelas pertanian sangat rentan bencana. Karena itu masyarakat petani berjuang dengan cara apapun untuk melindungi tanaman mereka. Kembali di sini berlangsung pencarian atas kekuatan maha pelindung (tuhan). Bumi—tempat bercocok-tanam dipuja sebagai ‘tuhan ibu’ (mother goddess), yang kemudian disebut Ishtar di Mesopotamia, Demeter di Yunani, Dewi Isis di Mesir (bukan ISIS ekstrimis di Syria dan Iraq sekarang) dan Anat di Syria. Tetapi pemujaan terhadap sang dewi tuhan tidak menyejukkan, karena dia ternyata sangat senang pada kekerasan—bahkan dia digambarkan senang mencincang tuhan-tuhan lain yang menyainginya sebagai pelindung masyarakat petani.
Dengan demikian, menurut argumen Armstrong, mitos tentang tuhan dengan segera terwujud pula dalam realitas politik masyarakat petani. Pada saat yang sama pertanian juga menimbulkan agresi dalam bentuk lain, yaitu kekerasan struktural di mana masyarakat tertentu membuat orang-orang lain hidup dalam kenestapaan. Berbagai bentuk kekerasan baik perang maupun struktural segera memasuki ranah agama yang tidak terpisahkan dari berbagai aspek kehidupan, khususnya politik.
Lebih lanjut, kekerasan sistemik yang mendapat dukungan dan justifikasi agama—karena para pemimpinnya yang bersekutu dengan kekuasaan politik—menjadi salah satu fitur utama negara agraris. Hasilnya, peradaban pertanian membuat kekerasan sistemik menjadi realitas untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, yang terus berlanjut dari masa ke sama sampai sekarang.
Dalam perspektif itu, Armstrong berhujjah, agama-agama India pra-Masehi telah selalu mengabsahkan dan mendorong kekerasan senjata dan struktural dalam masyarakat. Meninggalkan kehidupan duniawi (renunciation) bukanlah seperti yang dikira banyak kalangan ahli dan masyarakat dunia lainnya. Orang-orang yang menjauhi dunia (samnyasin) memang mencerminkan kritik terhadap kekerasan yang inheren dalam berbagai lapisan kehidupan. Tetapi, sepanjang sejarah India, renunsiasi atau asketisme selalu mengandung dimensi politik dan, karena itu, sering mendorong ide dan praksis penataan ulang masyarakat secara radikal.
Kerawanan agama India terhadap kekerasan, menurut Armstrong juga terkait dengan literatur yang sangat berpengaruh dalam masyarakat India: Bhagavad Gita dan Mahabrata. Armstrong menyebut Bhagavad Gita sebagai ‘India’s national gospel’ dan Mahabrata sebagai ‘the Indian national saga and is the most popular of all India’s sacred texts, familiar in every home’.
Dalam kajian Armstrong, pada abad 20, dalam masa penggalangan kekuatan massa untuk berperang melawan penjajah Inggris, Bhagavad Gita memainkan peran sentral dalam pembicaraan dan diskusi tentang legitimasi memerangi Inggris. Arstrong mencatat: “Its influence in forming attitudes to violence and its relations to religion has, therefore, been unparalled in India”. Pada pihak lain, Armstrong mencatat: “The Mahabrata is not an anti-war epic: innumerable passages glorify warfare and describe battles enthusiastically.
Catatan Armstrong mungkin tidak menyenangkan bagi para pemeluk agama asal India. Tetapi dia memberikan pernyataan menyejukkan: “Kedua [kitab] Gita dan Mahabrata mengingatkan kita, tidak ada jawaban mudah terhadap persoalan perang dan damai. Benar, mitologi dan ritual India sering mengglorifikasi kerakusan dan perang, tetapi mereka juga menolong orang-orang menghadapi tragedi dan menemukan cara untuk mengusir agresi dari psike mereka, merintis cara tertentu bagi orang-orang untuk hidup bersama tanpa kekerasan. Kita semua adalah makhluk lemah dengan hati yang keras tapi rindu pada kedamaian”.