REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Jika agama-agama bumi (earthly religions) yang muncul sejak masa agraris secara historis dan sosiologis memunculkan teologi dan praksis kekerasan, bagaimana dengan agama-agama wahyu (revealed religions). Sekali lagi, ketiga agama Nabi Ibrahim (Abrahami religions), Yahudi, Kristianitas, dan Islam sering dipandang sebagian ahli dan awam ‘lebih rawan’ bagi kekerasan dan terorisme.
Seperti dicatat Karen Armstrong dalam buku terbarunya, Fields of Blood: Religion and the History of Violence (London: The Bodley Head, 2014), kalangan pemeluk ketiga agama Abrahamik sering menampilkan kekerasan yang mereka artikulasikan secara keagamaan. Dalam sejarah kekerasan—yang berlanjut sampai kini—misalnya paling menonjol adalah ‘perang suci Joshua’, penaklukan dan pembantaian kabilah Kanaan oleh bangsa Israel, 1530-1420SM; penaklukan Eropa Barat oleh Dinasti Umayyah, 710-756 dan Eropa Timur oleh Dinasti Turki Usmani, 1453-1683; Perang Salib Kristen Eropa terhadap kekuasaan Islam di Timur Tengah, 1096-1285; inquisisi Spanyol terhadap umat Islam dan Yahudi, 1478-1501; dan perang agama Eropa di antara para penganut denominasi Kristiani 1524-1648).
Daftar ini bisa sangat panjang. Hingga detik ini dapat ditemukan orang atau kelompok dalam ketiga agama Ibrahim terlibat konflik dan kekerasan atas nama agama. Kenapa demikian? Armstrong menjawab sejak awal munculnya agama melintasi zaman kuno dan abad pertengahan agama merasuk ke dalam setiap aspek kehidupan, tidak hanya dalam agama itu sendiri, tapi juga politik, ekonomi, sosial, budaya dan seterusnya. Setiap orang, apakah penguasa atau warga biasa ingin menancapkan agama ke dalam setiap apapun yang mereka kerjakan.
Dalam konteks itu, setiap kerajaan yang berjaya mengklaim sebagai memikul misi suci ketuhanan untuk manfaat kemanusiaan. Sebaliknya, semua lawan negara adalah musuh tuhan dan sesat, dan karena itu wajib diperangi. Jadi kekuasaan politik yang membawa nama tuhan dibangun dan dipertahankan dengan kekerasan; agama menjadi terimplikasi dalam kekerasan. Namun, dalam pengalaman Eropa, agama (Kristianitas) pada abad 17 dan 18 dikeluarkan atau sedikitnya dimarginalisasikan dari kehidupan politik.
Memandang pengalaman Eropa, tidak heran kalau filsuf John Locke percaya, pemisahan ‘gereja’ (church) dan ‘negara’ (state) adalah kunci menuju perdamaian. Tetapi seperti juga terlihat dalam sejarah selanjutnya, negara juga jauh dari kekerasan dan perang. Setelah terjadinya pemisahan agama dan negara, tetap saja kekerasan dan perang dilakukan negara—meski kebanyakannya tidak lagi atas nama agama. Karena itu, menurut Karen Armstrong, masalahnya terletak bukan pada berbagai kegiatan atau ritual yang disebut atau terkait dengan ‘agama’, tetapi pada kekerasan yang terdapat dalam watak manusia dan negara.
Inilah ironinya. Bangsa Israel sejak masa kuno sampai sekarang awalnya berusaha melepaskan diri dari negara eksploatatif dan kejam, tetapi mereka tidak bisa hidup tanpa negara dan kemudian juga bertingkah seperti semua negara lain. Menurut keimanan Kristiani, Yesus Kristus mengajarkan tentang Kerajaan yang penuh kasih dan inklusif, tetapi ia sendiri kemudian disalib penguasa Romawi. Begitu juga umat Muslim yang semula menjadi alternatif bagi ketidakadilan jahiliyah masyarakat pedagang Mekkah, akhirnya menjadi berbagai negara dinasti yang sering melakukan penindasan dan ketidakadilan.
Mengingat hal ini, Armstrong menganjurkan agar orang-orang beriman menjaga jarak dengan musuh, termasuk di masa sekarang ketika agama kembali ke kancah politik. Sekarang agama tidak jarang kembali menjadi isyu sentral, sehingga negara karena tekanan arus utama umat beragama dengan cepat menyatakan kelompok penganut agama tertentu sebagai sesat dan menyimpang yang dapat mengancam tatanan kosmis, teologis dan bahkan politik.
Kebencian sektarian, salah satu sumber kekerasan agama, sering disebut menjadi penyebab intoleransi agama secara kronis. Perbedaan pemahaman dan praktek yang sebenarnya muncul secara alamiah dalam agama manapun, sepanjang sejarah sering sangat pahit, keras dan kejam. Apalagi pertikaian dan kekerasan sektarian hampir selalu bermuatan politis, baik dari segi kelompok agama pelaku kekerasan maupun dari segi negara.
Sekali lagi, negara penganut sekularisme—ideologi politik pemisahan agama dan negara—juga tak menjamin tidak terlibatnya negara dalam kekerasan. Prancis revolusioner bahkan menempuh penerapan sekularisme dengan pemaksaan dan pertumpahan darah. Sekularismenya didorong agresi terhadap agama. Sedangkan di Amerika Serikat yang menerapkan sekularisme ‘jinak’, kelompok fundamentalis Kristen menjadi anti asing (xenophobic) dan takut pada modernitas.
Akhirnya, kekerasan (berbau dan bernuansa) agama masa sekarang bukanlah jatuh dari langit, atau dibawa makhluk asing (alien). Ia merupakan bagian integral dari lanskap kehidupan, yang terkait satu sama lain—dengan ekonomi, politik, sosial, budaya, hubungan internasional dan seterusnya.
Maka, tulis Armstrong, kehidupan masa kini yang penuh kekerasan atas nama agama, bisa membuat orang frustrasi dan stress, dan bahkan kehilangan bagian terbaik dari kemanusiaannya. “Kita harus membangun perasaan sebagai masyarakat global, menumbuhkan sikap saling hormat dan keseimbangan emosi (equanimity) bagi semua, dan mengambil tanggungjawab atas berbagai penderitaan di muka bumi”.