REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Pada Januari 1971 Hoegeng membentuk tim khusus: Tim Pemeriksa Sum Kuning. Sayang sekali, tim ini tidak dapat bekerja dengan mulus karena Presiden Soeharto lmengambilalih dengan membentuk Tim Pemeriksa Pusat Kopkamtib yang dinilai aneh oleh Hoegeng.
Hasilnya, Sum Kuning memang diperkosa oleh 10 pemuda biasa, bukan anak pejabat. Hebatnya, 10 pemuda ini juga membantah tuduhan kepadanya di bawah sumpah. Hingga hari ini, identitas pemerkosa yang sebenarnya tetap menggantung di awan tinggi, sebagaimana gaibnya kasus buruh Marsinah dan kasus wartawan Udin yang dibunuh.
Maka, kemudian sadarlah Kapolri Hoegeng bahwa ada kekuatan besar di belakang tragedi Sum Kuning ini. Untuk mengenang drama Sum Kuning ini, kisahnya pada 1978 telah diangkat ke layar lebar di bawah judul Perawan Desa. Kita tidak tahu di mana Sum Kuning kini berada, semoga telah ada laki-laki yang mengambilnya sebagai istri setia. Terlalu banyak drama pilu di negeri ini, bahkan berulang sampai sekarang dalam berbagai corak.
Kasus lain yang tidak kurang panasnya yang hendak dibongkar Hoegeng adalah praktik penyelundupan mobil mewah oleh Robby Tjahjadi alias Sie Tjie It, jebolan SMA asal Solo, pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Dalam proses kejahatan ini, puluhan pejabat tinggi bea cukai dan polisi telah terlibat.
Cobalah bayangkan pada hari-hari itu, saat rakyat sukar cari makan dan lautan kemiskinan terlihat di mana-mana, orang-orang kaya gentayangan di jalan raya dengan penuh kepongahan sambil membawa mobil-mobil mewah hasil selundupan, seperti Roll Royce, Jaguar, Alfa Romeo, Mercedes Benz, dan yang sekelas itu. Dengan lihainya, Robby telah menyuap pejabat tinggi bea cukai dan kepolisian. Diduga keras, keluarga Cendana juga turut serta dalam permainan kotor ini.
Sebagai Kapolri, Hoegeng mau membongkar tuntas kejahatan Robby ini, sekalipun tantangannya demikian dahsyat. Dan, memang ternyata kemudian kasus Sum Kuning dan kasus Robby pada ujungnya telah mengakhiri karier Hoegeng dalam kepolisian.
Suatu waktu, Hoegeng mau menemui Presiden Soeharto di Istana. Alangkah terkejutnya kapolri ini karena Robby Tjahjadi sedang menjadi tamu presiden. Hoegeng mundur teratur, mengurungkan niatnya untuk bertemu presiden. Sekalipun pada akhirnya Robby dihukum, posisi Hoegeng tidak bisa diselamatkan lagi.
Dia dicopot pada 2 Oktober 1971 dengan alasan peremajaan pimpinan kepolisian dalam usia 49 tahun. Ajaibnya, sang pengganti Jenderal Moh Hasan lebih tua setahun dari Hoegeng sekalipun berasal dari angkatan yang sama. Ini dagelan politik yang tidak lucu, bukan?
Bagaimana strategi Hoegeng untuk melawan kriminal, seperti korupsi, misalnya? Dalam karya Suhartono, Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2013), seperti dikutip Detik.com, Hoegeng menuturkan, “Kalau mau menghilangkan korupsi di negeri ini sebenarnya gampang. Ibaratnya, kalau kita mau mandi dan membersihkan badan itu harus dimulai dari atas ke bawah. Membersihkan korupsi juga demikian. Harus membersihkan korupsi di tingkat atas atau pejabatnya lebih dulu, lalu turun ke badan atau level pejabat eselonnya, dan akhirnya kaki hingga telapak atau ke pegawai di bawah.”
Resep semacam ini memang mudah dikatakan, tetapi karena mental pejabat sudah demikian kumuh dan rusak, kita sungguh memerlukan lebih banyak kapolri dalam kualitas Hoegeng yang pada akhirnya juga harus kandas diadang penguasa tertinggi.
Sebagai catatan terakhir, di bawah kepemimpin Hoegeng pula peran serta kepolisian Indonesia dalam International Criminal Police Organization (ICPO) atau Organisasi Polisi Kriminal Internasional semakin dipergiatkan. Untuk itu, dibukalah Sekretariat National Central Bureau (NCB) atau Biro Pusat Nasional Interpol di Jakarta.
Melalui badan ini, proses penanganan masalah kejahatan internasional dapat dilakukan dengan kerja sama antarnegara. Kesulitannya, ada negara tertentu yang tidak rela menyerahkan seorang penjahat ke negeri asalnya karena simpanan dolarnya bertumpuk di negara tersebut.
Itulah Hoegeng, pahlawan kita semua, dalam rekaman ringkas untuk tidak dilupakan, demi Indonesia yang lebih adil dan beradab di masa depan.