Jumat 31 Jul 2015 06:00 WIB

Indonesia yang Berkemajuan dalam Islam Nusantara

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Pekan ini, hampir secara bersamaan dua ormas Islam terbesar di Indonesia menggelar muktamar. Permusyawaratan lima tahunan ini selain menyusun kepengurusan baru juga merumuskan program lima tahun ke depan. Nahdlatul Ulama, berdiri 1926, memulai muktamar pada Sabtu (1/8), di Jombang, Jawa Timur. Adapun Muhammadiyah, berdiri 1912, memulai muktamar pada Senin (3/8), di Makassar, Sulawesi Selatan.

Sebagai organisasi berbasis pesantren, muktamar NU digelar di pesantren-pesantren. Sedangkan Muhammadiyah yang memiliki kekuatan di lembaga pendidikan dan lembaga kesehatan menggelarnya di perguruan tinggi. Jika pada muktamar kali ini, NU memunculkan tagline “Islam Nusantara”, maka Muhammadiyah melahirkan tagline “Indonesia/Islam berkemajuan”. Tagline Muhammadiyah lahir lebih dulu, yaitu ketika mereka menyusun buku putih bagi kiprah Muhammadiyah dalam 100 tahun kedua. Buku itu lahir pada 2012. Muktamar Muhammadiyah tahun ini adalah muktamar pertama di abad kedua organisasi yang didirikin KH Ahmad Dahlan ini. Sedangkan tagline NU muncul sebagai tema muktamar organisasi yang didirikan KH Hasyim Asyari ini.

Dalam wacana publik, dua tagline ini seolah 'dipertandingkan'. Namun harus diakui persandingan itu selain perhelatan itu hampir berbarengan, juga karena kekuatan frasa “Islam Nusantara” -- lebih kontekstual dan daya magnitud yang bertenaga. Tagline ini mampu memicu diskusi publik yang panjang, bahkan agak panas dan kontroversial. Karena itu kemudian publik menengok pada tagline “Indonesia/Islam Berkemajuan”. Tagline Muhammadiyah ini lebih datar namun sudah beyond Islam.

Sebetulnya dua tagline itu hanya penegasan saja. NU selama ini mentasbihkan dirinya sebagai gerakan Aswaja – ahlussunnah wal jama'ah. Sebuah gerakan yang dalam fikih berpatokan pada empat mazhab – syafii, hanafi, hambali, maliki – dan dalam kalam berpatokan pada paham Asy'ariyah. Ringkasnya, ia adalah Sunni, bukan Syiah. Di masa KH Hasyim Muzadi menjadi ketua umum NU, organisasi ini menonjolkan tagline “Islam rahmatan lil 'alamin”. Hal ini sesuai konteks ketika kondisi umat di dunia maupun di Indonesia sedang dicengkeram terorisme serta konflik antarumat beragama. Tagline itu mampu menjadi mantra bahwa Islam itu damai dan mengayomi. Kini, ketika kondisi umat di dunia maupun Indonesia marak oleh gerakan salafi dan bahkan melahirkan ISIS, maka NU memunculkan “Islam Nusantara” -- Islam yang khas Indonesia. Konflik-konflik di Timur Tengah dan Asia Selatan adalah konflik sesama Sunni. NU juga Sunni, karena itu perlu diferensiasi dengan Sunni yang lain. Ada kebutuhan untuk itu. Bahkan ditarik garis yang lebih tegas tentang dakwah Walisongo -- yang berjumlah sembilan yang disimbolkan dalam bintang sembilan pada logo NU -- sebagai wujud kesuksesan dakwah model Islam Nusantara. Tagline baru ini berdimensi dua: kebutuhan diferensiasi dengan Sunni yang lain serta melawan gelombang salafi.

Muhammadiyah dikenal sebagai pergerakan memodernisasi umat. Modern adalah maju. Awalnya adalah perang terhadap tiga penyakit umat saat itu: TBC – takhayul, bid'ah, dan churafat (khurafat). Untuk memerangi tiga penyakit itu, para pendirinya fokus pada pendidikan, pelayanan kesehatan, dan menyantuni anak yatim. Karena itu Muhammadiyah sangat menonjol pada keunggulan lembaga pendidikan, rumah-rumah sakit dan balai pengobatan, serta panti-panti asuhan. Kini, Muhammadiyah tak lagi fokus ke hal itu. Bahkan dalam lima tahun terakhir, mereka fokus pada Jihad Konstitusi. Mereka berjuang agar semua aturan dan perundangan kembali ke visi konstitusi UUD 1945, yang melindungi dan menyejahterakan warganya. Jihad kali ini lebih banyak masuk ke wilayah ekonomi. Dalam seratus tahun kedua ini, fokus mereka tidak lagi pada wilayah keumatan saja. Umat adalah bagian dari bangsa, Muhammadiyah adalah bagian dari Indonesia, organisasi adalah 'bagian' dari negara. Karena itu umat harus berkontribusi menyelesaikan rumah besarnya. Umat akan damai dan sejahtera jika bangsa dan negara Indonesia juga maju, demikian pula sebaliknya. Namun ini bukan berarti Muhammadiyah akan masuk pada politik praktis kekuasaan. Muhammadiyah akan masuk pada dimensi nilai, spirit, moral, visi, dan pengaruh. Dalam konteks ini, Muhammadiyah juga masuk pada kajian fikih berkemajuan. Kemajuan suatu bangsa dan masyarakat sangat erat dengan etik dan spirit. Kajian-kajian sosiologi pembangunan – terutama diinisiasi Max Weber – sangat lekat dengan soalan ini.

NU dan Muhammadiyah adalah dua mesin utama umat, juga bangsa Indonesia. Mesin itu ada yang mengemudikan. Sebuah mobil bagus menjadi sia-sia jika dikemudikan sopir amatir atau sopir ugal-ugalan. Proses perekrutan kepemimpinan menjadi demikian penting. Dalam konteks ini, sistem pemilihan pemimpin di Muhammadiyah sudah lebih mapan. Selain kepemimpinan yang bersifat kolegial, prosesnya pun panjang. Muktamar hanya ujungnya saja. Setahun sebelum muktamar, sidang tahunan Tanwir menjaring usulan dari 200 utusan. Masing-masing mengusulkan tiga nama. Nama-nama itu kemudian diseleksi oleh panitia pemilihan sesuai persyaratan administratif, di antaranya pernah menjadi pengurus di pusat. Pada sidang Tanwir pra muktamar, peserta memilih 39 nama dari nama-nama yang lolos administrasi. Nama-nama itulah yang dibawa ke muktamar untuk memilih 13 orang. Selanjutnya 13 orang itu memilih ketua umum untuk disetujui muktamar. Pola ini sudah berjalan sejak 1937, yang saat itu memilih KH Mas Mansur. Sulit untuk bermain kekuasaan atau bermain uang. Proses yang panjang dan berjenjang serta bolak-balik sangat meminimalkan permainan-permainan yang manipulatif. Namun demikian selalu saja ada nama unggulan yang bersaing. Kali ini ada dua nama: Haedar Nashir dan Abdul Mu'ti, secara kebetulan masing-masing adalah ketua dan sekretaris tim penyusun buku putih Indonesia Berkemajuan.

Untuk tahun ini, NU mencoba menerapkan pola baru untuk pemilihan di Syuriah, yaitu melalui Ahlul Halli Wal Aqdi (Ahwa). Musytasyar dan Syuriah sudah menetapkan 39 nama. Nama-nama itu diserahkan ke cabang-cabang. Saat registrasi muktamar, utusan cabang dan wilayah akan memasukkan sembilan nama. Maka sembilan nama peraih suara terbanyak akan menjadi anggota Ahwa. Ahwa inilah yang akan memilih rais aam Syuriah dan calon ketua umum Tanfidziah secara musyawarah mufakat. Namun pemilihan ketua umum Tanfidziah masih dipilih secara langsung melalui one man one vote. Pola ini masih berpotensi munculnya money politics dan penggalangan-penggalangan. Kadang fokus muktamar menjadi ke pemilihan ini, bukan ke perumusan agenda. Ada tiga nama yang bersaing di Tanfidziah: KH Said Aqil Siradj, KH Asad Said Ali, dan KH Salahuddin Wahid. Syuriah adalah lembaga kepemimpinan tertinggi, sedangkan Tanfidziah adalah pelaksana kebijakan.

Semoga muktamar NU dan Muhammadiyah akan melahirkan pemimpin yang visioner dan responsif. Pemimpin yang bukan hanya menengok pada jamaahnya saja, juga bukan pemimpin yang hanya menimbang gambar besarnya saja.

Siapapun yang akan memimpin dua ormas keagamaan ini perlu memperhatikan norma berikut ini. Besar kadang bisa berarti gemuk. Itu berarti kelambanan. Lamban kadang menjadi tak bertenaga. Besar juga bisa berarti kemapanan. Itu bisa berarti respons yang mulai samar. Indonesia adalah negeri yang sedang berproses untuk maju. Indonesia juga masih demikian cair. Dalam situasi itu selalu saja ada dinamika yang tajam dan fluktuatif. Umat butuh respons cepat dan bertenaga. Kebesaran NU dan Muhammadiyah kita harapkan seperti kebesaran kapal induk: kuat, pusat, menampung.

Selamat bermuktamar. Indonesia ada di tangan Anda, sebagaimana Anda harus berada di hati kami.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement