REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Ali Saad Muhammad Dawabasyah namanya. Usianya baru 18 bulan. Namun, bayi Palestina yang tidak berdosa ini telah menjadi bukti kebiadaban penjajah Zionis Israel. Ia jadi syahid terpanggang api yang membakar rumah keluarganya di Desa Douma, selatan Kota Nablus, Tepi Barat, Palestina.
Peristiwa itu terjadi di pagi buta menjelang pukul 03.00 pada Jumat pekan lalu (31 Juli 2015). Sekelompok warga Israel penghuni pemukiman Yahudi di Tepi Barat mengetok jendela rumah Saad Dawabasyah (30 tahun). Ketika jendela dibuka oleh tuan rumah untuk mengetahui apa yang terjadi, tiba-tiba beberapa bom molotov -- botol yang telah diisi dengan bensin dan diberi sumbu -- dilemparkan ke dalam rumah oleh orang-orang Yahudi itu. Sebelum melarikan diri meninggalkan jejak, mereka juga membakar rumah di sebelahnya. Dalam waktu singkat, dua rumah itu pun terbakar habis, termasuk segala isinya.
Saad Dawabasyah berhasil menyelamatkan isterinya (Riham Husein, 27 tahun) dan anak laki-lakinya (Ahmad Saad Dawabasyah, 4 tahun). Namun, anak bungsunya, Ali Saad, yang belum genap 2 tahun tidak terselamatkan. Si balita ini terbakar hidup-hidup di dalam rumah. Sedangkan penghuni rumah lain, keluarga Makmun Rasyid Dawabasyah, selamat karena malam itu sedang menginap di Kota Nablus.
Menurut rekam medis di rumah sakit di Nablus, sang ayah (Saad) terbakar 70 persen dari tubuhnya, isterinya (Riham) 80 persen, dan anaknya (Ahmad) sekitar 50 persen. Mereka kini dirawat di rumah sakit di Nablus. Sedangkan si balita (Ali Saad) sudah menjadi abu.
Dalam catatan seorang akademisi dan kolomnis Palestina, Abdul Sattar Qasem, kebiadaban Israel terhadap warga Palestina -- keluarga Dawabasyah -- bukanlah yang pertama. Dan, ia memperkirakan juga bukan yang terakhir.
Menurutnya, dalam beberapa tahun terakhir ini hampir tiada hari tanpa pembunuhan terhadap warga Palestina. Entah oleh militer, polisi, ataupun warga Israel seperti yang terjadi terhadap keluarga Dawabasyah sekarang ini. Semua pembunuhan terhadap warga Palestina itu berlangsung bukannya di medan perang atau ketika memegang senjata atawasaat berhadapan dengan musuh, namun saat mereka betul-betul tidak dalam kondisi perang. Hebatnya lagi, penguasa Israel selalu mempunyai (baca: mencari-cari) alasan untuk membebaskan warganya dari tuduhan kejahatan yang dilakukan kepada warga Palestina.
Seperti halnya yang terjadi pada para pelaku pembakaran terhadap rumah keluarga Dawabasyah. Pemerintah Israel berdalih sebagai upaya untuk mempertahankan diri. Pertanyaannya, mempertahankan diri dari apa? Sebab yang menjadi korban pembakaran adalah orang-orang sipil tak berdosa dan sedang tidur lelap, termasuk seorang perempuan dan dua orang bayi.
Yang menyedihkan, lanjut Abdul Sattar Qasem, adalah reaksi di kalangan warga Palestina sendiri. Pertama, mereka marah, yang dilampiaskan dengan aksi-aksi demo besar-besaran mengecam kebiadaban Zionis Israel setiap terjadi kejahatan terhadap warga Palestina. Seperti halnya pada pembakaran balita Ali Saad Dawabasyah, demonstrasi bukan hanya terjadi di Tepi Barat dan Gaza, tapi juga berlangsung di sejumlah negara.
Kedua, para pemimpin Palestina selain mengecam tindakan brutal warga atau militer Israel, juga berteriak keras minta pertanggungjawaban dari pemerintah Israel. Bahkan untuk pembakaran balita Ali Saad Dawabasyah ini, Pemerintah Otoritas Palestina sedang memproses untuk membawa para penjahat Israel ke Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag, Belanda.
Menurut Qasem, reaksi berbagai kalangan Palestina itu tentu baik. Namun, katanya, itu jauh dari cukup. Aksi-aksi unjuk rasa warga Palestina yang mengecam kebiadaban Zionis Israel biasanya hanya berlangsung sesaat atau sementara. Lalu demo-demo itu akan layu dengan sendirinya ditelan oleh berbagai kesulitan hidup di bawah pendudukan penjajahan Israel.
Di pihak lain, Zionis Israel sudah tidak mempan lagi dengan aksi-aksi unjuk rasa, kritik, kecaman, makian, dan tuduhan kejahatan, oleh siapa pun. Jangankan hanya oleh para pejabat Palestina, keputusan lembaga-lembaga intenasional pun tidak pernah digubris oleh Israel, termasuk resolusi Dewan Keamanan PBB. Misalnya tentang resolusi pembekuan pemukiman Yahudi di tanah Palestina dan penolakan tembok pembatas yang dibangun Israel. Hingga sekarang, Israel terus membangun pemukiman-pemukiman Yahudi baru dan tembok yang mereka bangun tetap kokoh berdiri memisahkan warga Yahudi dengan Palestina. Dan, dunia internasional tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi hanya para pejabat Palestina.
Bagi Abdul Sattar Qasem, menuntut penjajah Israel untuk lebih beradab, tidak melakukan kejahatan, dan tunduk kepada undang-undang internasional adalah sesuatu yang mustahil. Sebab, katanya, penjajahan sendiri adalah bentuk dari kejahatan, bertentangan dengan hak asasi manusia, melawan undang-undang PBB, dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan berbagai bangsa.
Penjajahan adalah kejahatan itu sendiri. Dan, setiap penjajah, siapa pun mereka, akan selalu membuat rakyat jajahannya sengsara, ketakutan, miskin, dan bodoh. Dalam sistem penjajahanberlaku hukum rimba. Yang kuat akan menekan yang lemah. Jadi, meminta belas kasihan, kebaikan hati, dan pertangggungjawaban kepada penjajah adalah sesuatu yang bukan pada tempatnya.
Belajar dari sejarah, tidak ada bangsa jajahan yang kemudian merdeka karena belas kasihan. Mereka merdeka lantaran berani melawan penjajah. Mereka mengirimkan para penjajah ke neraka hingga tak tertahankan lalu meninggalkan negara jajahannya. Kemerdekaan harus direbut dengan darah.
Kini para pejabat Palestina dan sebagian pemimpin Arab dan negara Islam bicara tentang kebiadaban penjajah Zionis Israel. Namun, sayangnya, mereka tidak mempunyai rencana yang jelas dan tegas untuk bisa memaksa Israel angkat kaki dari tanah air Palestina.
Penjajahan tidak akan sirna dengan alasan melanggar hak asasi manusia, nilai-nilai kemanusiaan, dan bahkan undang-undang internasional sekalipun. Penjajahan hanya bisa diusir dengan sebuah kekuatan yang memaksa. Yang menyedihkan, sekali lagi, para pemimpin Palestina, Arab, dan negara-negara Islam tak memiliki road map yang jelas dalam memaksa Zionis Israel. Bahkan di antara mereka kini justru bersekutu dengan sang penjajah.
Kemarahan Abdul Sattar Qasem yang dituangkan dalam sebuh kolom di Aljazeera.net pekan lalu, agaknya patut mendapat perhatian semua pihak yang peduli terhadap nasib bangsa Palestina. Kebiadaban Zionis Israel sudah di luar batas, dan mustahil untuk berharap tidak akan terulang lagi kejahatan-kejahatan lain yang mereka lakukan terhadap warga Palestina, seperti yang dialami keluarga Dawabasyah.
‘’Apakah kalian mau terima nasib? Di tenda-tenda kesengsaraan. Mereka memisahkan kita di tenda-tenda pengasingan. Mereka menggiring kita ke penjara-penjara kesedihan.’’
Warga Palestina lain menggugat. Namanya Rim Banna. Gugatanperempuan 48, kelahiran Nazareth, Palestina ini dituangkan dalam lagu. Sudah puluhan lagu ia ciptakan dan ia nyanyikan. Hampir semua lagunya adalah balada kesedihan dan kesengsaraan bangsanya.
‘’Inilah kisahku. Kisah bangsa Palestia. Kisah cinta seorang isteri yang suaminya dipenjara. Kisah orang tua yang ditinggal mati anak-anaknya. Kisah anak-anak Palestina yang dipisahkan dari saudara-saudara dan keluarganya…’’
Kitabelum tahu lagi apa yang akan didendangkan Rim Banna terkait dengan nasib malang keluarga Dawabasyah.