Sabtu 07 Nov 2015 06:00 WIB

Ranah Hukum di Media Sosial

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

 

Sebuah pesan masuk di WA, perihal surat edaran Kapolri tentang penanganan ujaran kebencian, terutama di media sosial.

Ada yang merespons secara positif kebijakan tersebut yang dipercaya akan mendorong mereka yang aktif di dunia maya hingga lebih bijak dan berhati-hati. Ada pula yang memberi tanggapan negatif karena surat edaran tersebut dikhawatirkan makin memberi keleluasaan pada aparat dan pemerintahan untuk membatasi ruang gerak netizen. Apalagi tidak berselang lama, mencuat kasus office boy di Ponorogo yang dilaporkan anggota polisi karena memposting meme yang menyinggung anggota Polantas. 

Segala sesuatu, bahkan niat baik bisa saja bermata dua. Saya sendiri melihat kenyataan masih banyak netizen yang belum bijak menggunakan sosial media. Alih-alih memaksimalkan sosial media untuk kebaikan dan menebar manfaat, sebagian tak jarang  menggunakan kekuatan sosmed  untuk melecehkan karakter atau merusak reputasi individu yang telah dibangun bertahun-tahun.

Bukan sekali dua kali  tuduhan tanpa bukti disebarkan di ranah maya. Fitnah tanpa klarifikasi dan berbagai jenis ujaran kebencian dan hujatan tanpa alasan jelas.

Tidak jarang saya mengajak mereka yang menyebarkan fitnah di sosial media agar sama-sama tidak gegabah, karena bukan hanya hukum dunia, tetapi di akhirat ada hukum Allah yang menanti.

Rasul mengingatkan, amal ibadah sang pemfitnah akan diambil untuk diberikan pada korban fitnahnya. Jika amalnya sudah habis dikuras, maka dosa korban fitnah akan dibebankan kepada para penyebar rumor dusta.  

Akan tetapi, pemfitnah dan penyebar kebencian yang egonya lebih kuat dari iman, mengabaikan peringatan hadits tersebut. Mereka tetap leluasa menyebarkan fitnah dan kebencian di sosial media. Sekalipun tahu, bahkan akun palsu mereka tidak mungkin membebaskan dari tanggung jawab di mahkamah Allah.

Surat edaran ini semoga menjadi jawaban untuk menghentikan para pelaku fitnah dan penebar kebencian yang mungkin sudah tidak percaya lagi konsekuensi di akhirat.

Dengan kesungguhan Polri untuk meredam penyebar kebencian, dan dukungan teknologi IT, pemilik akun palsu tidak semudah itu berkelit. Mereka dapat ditemukan melalui penelusuran IP Address, jenis gadget, dan berbagai metode lain. Intinya, polisi memiliki beragam cara mengungkap identitas nyata di balik sebuah akun palsu. Dan hal ini sudah banyak terbukti.

Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menegaskan bahwa penerbitan Surat Edaran Ujaran Kebencian bertujuan untuk mencegah terjadinya konflik di tengah masyarakat. Sebab banyak  kejadian  berawal dari ujaran kebencian yang bersifat provokasi, hasutan, dan lainnya. Dengan adanya surat ini, diharapkan polisi  mampu melakukan pencegahan sebelum terjadi tindak pidana akibat hate speech--atau bahkan konflik sosial.

Pendekatan ini sudah berhasil turut meredam potensi kerusakan--dan kerusuhan--lebih parah saat pertandingan final Piala Presiden 2015 di Jakarta beberapa minggu lalu.

Tetapi keresahan sebagian pihak tetap merebak. Bagaimana jika polisi atau penguasa memanfaatkan ini sebagai alat untuk kepentingan sebagian orang? 

Sebenarnya, tanpa surat edaran ini pun pihak kepolisian bisa saja menggunakan 'senjata' lain, misalnya pasal yang berkaitan dengan pencemaran nama baik, penghinaan, dan penyebaran berita bohong. 

Jadi, kalau muncul kecemasan bahwa kebijakan ini hanya akan menguntungkan  mereka memegang kekuasaan, bisa dikatakan tidak tepat. Jika ditelaah, surat edaran ini justru banyak berpihak pada kepentingan masyarakat.

Kepolisian, pemerintahan, serta lembaga kepresidenan memang bukan institusi yang sempurna. Tetapi tetap tidak lantas menjadi sah untuk difitnah. Rakyat boleh protes, kritik boleh diajukan, namun kebencian yang diciptakan berdasarkan kebohongan dan rekayasa tidak dibolehkan, bahkan oleh agama.

Setelah melihat meme polantas yang melaporkan dirinya dicemarkan, saya bisa mengerti. Dialog fiktif dalam meme seolah sang polantas sedang berbincang dengan istrinya tentang uang hasil tilang untuk dipakai shopping, tentu tidak menyenangkan. 

Sebagai manusia dan rakyat suatu negara berdaulat, polantas tersebut punya hak melaporkan. Yang salah adalah pihak yang mencemarkan. Tantangan bagi polisi untuk menerapkan hal ini di masa depan secara adil dan tidak tebang pilih.

Saya justru melihat surat edaran tersebut serupa angin segar bagi masyarakat umum. Rakyat biasa yang  sering menjadi korban fitnah dan  tidak tahu harus ke siapa meminta bantuan.

Kini pihak mana pun yang difitnah di media sosial, bisa dengan mudah datang ke kantor polisi men-capture postingan yang dianggap menghina atau menfitnah, mendokumentasikan akun pemostingnya dan dibawa sebagai bukti.

Polisi akan menindaklanjuti. Awalnya  akan  dilakukan mediasi, jika tidak akan sangat mungkin dilanjutkan ke tahap yang lebih serius. Maka, jika tidak ingin terjerat aturan, mulai saat ini hendaknya tidak gegabah menyebar fitnah dan kebencian di sosial media. 

Sampaikan protes dengan cara apa pun, tapi tetap mengikuti aturan main yang disepakati bersama yakni dalam koridor moral dan hukum. 

Jika ingin mengkritik, ungkapkan  dengan cara  elegan sehingga menghasilkan angin perubahan, dan bukan kebencian.Sekali lagi, saya berharap langkah tegas kepolisian yang bertujuan baik ini dilaksanakan dengan baik pula. Segenap mata rakyat akan berjaga untuk mengawasi bahwa aturan yang dibuat  bukanlah untuk kepentingan sesaat sekelompok orang atau penguasa belaka. Melainkan sungguh-sungguh demi kemaslahatan bersama. 

Semoga kerinduan akan dunia media sosial yang minim hasutan dan  lebih ramah, menemukan jawaban. 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement