REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia
Puluhan ribu ikan terdampar mati di Teluk Jakarta. Berbagai teori muncul di media. Perubahan suhu menyebabkan endapan racun yang mengakibatkan ikan-ikan mati. Ada yang mengatakan limbah pabrik di pantai yang membuat ikan keracunan. Reklamasi pantai Jakarta merusak habitat ikan.
Belum ada kepastian teori mana yang paling tepat, tapi bisa dipastikan penyebab utamanya: Mis-majamenen sampah atau limbah.
Untuk sebagian besar wilayah di Indonesia, sampah adalah masalah. Padahal di negara maju, sampah menjadi bisnis triliunan (rupiah)!
Teringat obrolan singkat dengan seorang surfer bule yang duduk di sebelah saya dalam penerbangan kembali ke Jakarta dari Eropa.
Pria bertubuh besar itu mengungkap sebuah data yang cukup mengagetkan."Di dunia ini, 80% sampah di lautan hanya disumbangkan oleh 6 negara, dan salah satunya Indonesia."
Informasi yang menyentakkan, di antara 200-an negara, hanya 6 negara yang menyumbang 80% sampah di lautan? Luar biasa memalukan. Beberapa minggu lalu media ramai memberitakan sampah yang menumpuk di Jakarta. Puluhan truk mengantre, bau busuk menyebar ke mana-mana sehingga mengganggu kenyamanan– juga kesehatan. Pihak pengelola swasta menyatakan rugi karena biaya operasional membengkak, salah satu penyebabnya adalah pemerintah daerah yang menolak wilayahnya menjadi tempat pembuangan sampah.
Mengapa sepertinya berita tentang sampah selalu terkait masalah, padahal berpotensi menjadi bisnis sangat menguntungkan. Bahkan sebenarnya ada banyak investor luar yang tertarik menanganinya asal didukung sistem yang kondusif.
Sampah dan limbah mengembalikan ingatan saya ketika mengunjungi ananda yang sedang mendalami sepak bola di Belanda. Saya menginap selama beberapa minggu di kediaman penduduk Belanda yang menyediakan penginapan murah.
Yang menarik, pemilik rumah tersebut bekerja di pusat pengelolaan sampah milik pemerintah daerah. Kepada saya beliau bercerita bagaimana sampah menjadi salah satu komoditi ekspor yang sangat menguntungkan. Hampir semua sampah didaur ulang menjadi material yang berguna. Bahkan ribuan ton sampah di ekspor. Beliau belum lama bertemu pembeli sampah dari India, Jepang, dan beberapa negara lain di Asia.
Dengan mata kepala sendiri saya menyaksikan bagaimana penataan sampah begitu rapih di Belanda. Tempat sampah tersedia di mana-mana.Tak hanya itu setiap rumah memiliki tempat sampah yang disediakan pemerintah–dengan bentuk dan ukuran sama. Bentuk disesuaikan dengan desain mobil pengangkut sampah yang mengangkat semua sampah secara hidrolik.
Truk sampah di sana memiliki jadwal operasional yang teratur. Misalnya hari ini hanya sampah kertas yang diambil, besok sampah plastik. Hari berikutnya giliran sampah organik, begitu seterusnya.
Jika ada sampah besar seperti kulkas atau barang elektronik besar lainnya, warga dapat menelepon untuk membuat janji pengambilan atau mengirim ke lokasi tertentu.
Semua penduduk harus disiplin. Ketertiban yang terbangun bukan cuma berdasarkan kesadaran tapi juga peraturan. Ini yang penting, untuk tidak hanya mengandalkan kesadaran masyarakat, tapi juga penegakan hukum.
Setiap minggu ada polisi sampah yang membongkar tempat sampah penduduk secara random, memastikan isinya. Jika ada plastik dicampur dengan sampah organik, penghuni rumah tersebut akan didenda, 70 euro atau 1 jutaan. Karena sampah yang bercampur berarti tidak bisa langsung diproses, atau harus melewati fase lebih mahal untuk daur ulang.
Di Indonesia, sebagian besar sampah bercampur baur. Sampah kertas dicampur dengan organik akan membuat kertas hancur dan berkontribuaisi terhadap penggundulan hutan. Sampah plastik bercampur organik akan menghabiskan banyak zat kimia untuk pembersihan.
Belajar dari negara-negara lain, Indonesia harus segera merevolusi sistem persampahan. Setidaknya mulai diterapkan di hotel dan gedung perkantoran sebelum menyeluruh masuk ke masyarakat luas.
Jika tidak, kita hanya akan menumpuk sampah serta makin merusak lingkungan dan mewariskan alam yang sakit pada anak-cucu.
Bersyukur masih banyak pahlawan kecil yang begitu berjasa mengelola sampah. Mereka adalah pemulung, aktivis pendaur ulang–juga penggerak bank sampah. Melakukan tugas yang seharusnya dikerjakan pemerintah. Tanpa mereka, seluruh keindahan dan potensi negeri tercinta bukan mustahil lambat laun menghilang dibalik gunungan sampah.