Senin 04 Jan 2016 06:00 WIB

Mengapa ISIS tak Menjadikan Israel sebagai Musuh?

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Semakin hari rahasia organisasi teroris yang menamakan diri sebagai ad Daulah al Islamiyah fi al Iraq wa as Suriyah alias Daisy atawa ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) makin terkuak. Terakhir mereka tidak menjadikan Zionis Israel sebagai musuh. Alasan yang dikemukakan, sebagaimana disampaikan Jurgen Todenhofer, karena Israel merupakan satu-satunya negara yang paling ditakuti ISIS.

Todenfofer adalah seorang wartawan kawakan berusia 75 tahun. Pada 2014 ia pernah berada di Suriah selama sepuluh hari. Menurutnya, ISIS tidak takut terhadap serangan yang dilancarkan Rusia ataupun negara-negara yang tergabung dalam koalisi pimpinan Amerika Serikat (AS). Pasukan darat AS, Inggris dan negara-negara Eropa lainnya dianggap tidak berpengalaman melawan gerilyawan kota atau strategi teroris seperti yang dilakukan ISIS. Sebaliknya, lanjut wartawan asal Jerman ini, Israel sangat tangguh dalam bertempur melawan gerilyawan dan teroris.

Hingga sekarang negara-negara yang tergabung dalam koalisi pimpinan AS memang belum menurunkan pasukan darat mereka untuk melawan ISIS. Todenfofer menganalisa, hal itu sengaja dilakukan pasukan koalisi karena mereka mengetahui ketangguhan ISIS dalam perang gerilya kota ataupun dengan cara teror. Salah satunya dengan serangan bom bunuh diri.

Namun, pandangan Todenhofer ini segera dibantah oleh sejumlah pengamat dan ahli strategi perang di Timur Tengah. Sebagaimana ditulis media al Sharq al Awsat dan Aljazeera.net, gabungan pasukan dari negara-negara NATO (North Atlantic Treaty Organization/Pakta Pertahanan Atlantik Utara) akan susah untuk dilawan, apalagi hanya oleh ISIS yang cuma mempunyai puluhan ribu personil. Itu pun bukan personil militer terlatih sebagaimana negara-negara maju. Dua media itu lalu mencontohkan tentang penggulingan rezim Taliban -- yang didukung Alqaida -- di Afghanistan, rezim Saddam Husein di Irak, dan rezim Muamar Qadafi di Libia. 

Yang jadi persolan adalah hingga kini koalisi internasional pimpinan AS dan juga koalisi negara-negara Islam pimpinan Arab Saudi yang baru terbentuk, serta militer dari negara asing lainnya -- termasuk dari Rusia --, belum menurunkan pasukan darat mereka. Yang berlangsung selama ini adalah serangan udara secara sporadis dan kurang terkordinasi dalam satu komando, sehingga hasilnya pun kurang maksimal. 

Penyebabnya berbagai-bagai. Di antaranya, pertama, koalisi yang ada sekarang ini, terutama dari negara-negara Arab dan Islam (negara dengan penduduk mayoritas Muslim) bisa dikatakan sebagai koalisi setengah hati. Pemerintahan di Irak sekarang adalah penganut Syiah. Begitu pula dengan rezim Bashar Assad yang berkuasa di Suriah. Bila kelompok militan ISIS dihabisi, maka yang berkuasa di Irak dan Suriah otomatis adalah Syiah. Dan, bukan rahasia lagi negara-negara Arab, khususnya negara-negara Teluk, sangat khawatir dengan pengaruh Syiah yang semakin membesar.

Kedua, AS sebagai pimpinan koalisi sebenarnya tahu segala gerak-gerik pasukan ISIS. Apalagi mereka mempunyai peralatan militer yang sangat canggih. Namun, mereka sengaja membiarkan pergerakan pasukan ISIS hanya dihadapi militer Irak. Padahal, tulis al Sharq al Awsat, bila AS mau mereka bisa langsung menggempur pasukan ISIS lewat serangan udara dan darat.

Tidak diketahui dengan pasti apa alasan AS. Namun, yang bisa diprediksi adalah bahwa AS telah mengambil keuntungan dari konflik yang terjadi baik di Irak maupun Suriah. Bahkan di kawasan Timur Tengah pada umumnya. Terutama lewat perdagangan senjata, minyak, dan benda-benda purbakala, baik terang-terangan maupun lewat perdagangan gelap.

Ketiga, meskipun pasukan koalisi internasional pimpinan AS telah berhasil dengan gemilang menghancurkan rezim Taliban dan Alqaida di Afghanistan dan rezim Saddam Husein di Irak, namun serangan itu telah meninggalkan trauma berkepanjangan, terutama buat AS dan Inggris. Serangan itu hingga sekarang masih memunculkan kritik yang tajam dari rakyat di kedua negara tersebut. 

Kondisi seperti itulah yang kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh ISIS. Apalagi mereka tahu persis tentara Irak kurang terlatih dan mentalnya juga payah. Mereka adalah rekrutan baru. Sedangkan para mantan tentara Saddam Husein yang terlatih yang meyoritas Suni tidak dipakai lantaran diragukan loyalitasnya kepada Pemerintah Irak. Sementara itu di Suriah, konflik antara rezim Bashar Assad dan kelompok-kelompok oposisi telah mempermudah ISIS untuk ikut ‘bermain’.

Yang aneh bin memprihatinkan, meskipun ISIS selalu mengklaim sebagai pejuang demi Islam dan kepentingan umat Islam, namun tak pernah sekalipun mereka, termasuk pemimpin tertingginya Abu Bakar al Baghdadi, menyatakan perang terhadap Zionis Israel. Yang menjadi musuh mereka selama ini justru  orang-orang atau kelompok yang dianggap bisa menghalangi atau bahkan hanya berbeda pandang dengan mereka. Termasuk dalam kelompok ini adalah orang-orang Islam sendiri, baik Syiah maupun Suni. Sementara itu Zionis Israel dianggap bukan sebagai panghalang sepak terjang ISIS alias sebagai teman.

Padahal, selama ini, Zionis Israel merupakan musuh bebuyutan dari mayoritas umat Islam. Bukan lantaran mereka adalah bangsa Yahudi, namun lebih karena sikap mereka yang kolonialis alias bangsa penjajah. Sudah berpuluh-puluh tahun Israel menduduki wilayah bangsa Palestina. Termasuk kompleks Masjidil Aqsa yang merupakan kiblat pertama dan tempat suci ketiga bagi umat Islam. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini Israel terus berusaha untuk ‘mengyahudikan’ segala hal yang terkait dengan Masjidl Aqsa, termasuk menggantikan indentitas Islam dengan identitas Yahudi.

Namun, dengan munculnya kelompok teroris ISIS yang menebarkan ketakutan pada masyarakat internasional, konsentrasi negara-negara Arab dan Islam (negara berpenduduk mayoritas Muslim) pun tersedot kepada mereka. Hal ini jelas menguntungkan Zionis Israel. 

Dalam jajak pendapat yang dilakukan kepada warga Israel bulan lalu didapat hasil bahwa negara-negara Arab dan Islam kini sudah tidak mereka anggap sebagai ancaman serius terhadap eksistensi negara Israel. Yang mereka khawatirkan justeru gerakan intifadah para pemuda Palestina. Mereka dianggap ancaman berbahaya bagi masyarakat Israel. Sayangnya,  bangsa Palestina kini seolah berjuang sendirian. Tidak ada lagi negara Arab dan Islam yang memperdulikan nasib mereka, kecuali hanyalah dukungan politik alias hanya dukungan pernyataan.

Karena itu, yang bisa dibaca dari pekembangan di Timur Tengah yang semakin ruwet ini adalah ISIS sangat pandai memanfaatkan keadaan demi kepentingan memperoleh kekuasaan. Sepak terjang mereka tidak ada hubungannya dengan ‘demi Islam dan membela serta memperjuangkan kepentingan umat Islam’. Bahkan tindakan teror yang mereka lakukan di mana-mana telah menimbulkan Islamophobia alias kebencian kepada Islam dan umat Islam. Hal ini jelas merugikan umat Islam sendiri.

Yang memprihatinkan, ribuan orang, terutama para pemuda dari berbagai negara asing, telah berhasil direkrut oleh ISIS. Para pemuda itu terpincut pada klaim kelompok militan itu bahwa mereka berjuang demi Islam dan demi kepentingan umat Islam. Padahal, mereka sebenarnya hanyalah dimanfaatkan oleh para pemimpin ISIS untuk dijadikan tentara dalam rangka memperoleh kekuasaan. Sepak terjang ISIS jelas tidak ada hubungannya dengan Islam dan kepentingan umat Islam. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement