REPUBLIKA.CO.ID, Kita hanya mengenal satu orang yang benar-benar mandhito setelah tak lagi menjadi presiden, yaitu BJ Habibie. Jika ditambah lagi kita akan mengenal dua orang lagi, yaitu Sukarno dan Soeharto. Namun dua tokoh ini juga karena ada faktor belenggu politik.
Hanya saja jika mendengar kisah-kisah dari orang-orang dekatnya, kita akan menemukan kisah mandhito-nya dua sosok ini. Walau ada belenggu politik, keduanya adalah tokoh besar yang masih bisa menggerakkan orang-orangnya. Toh, keduanya memilih diam, memberi jalan bagi penggantinya; atau sadar akan kekalahannya? Apapun, keduanya mandhito.
Tradisi mandhito sebetulnya memiliki akar yang kuat dalam sejarah masyarakat Nusantara. Nyatanya, setelah Reformasi, godaan politik terlalu kuat. Seolah langit akan runtuh dan Indonesia akan lenyap jika 'para sepuh' dan pandhito tak ikut turun gunung. Padahal tak ada yang darurat.
Pergulatan politik pascareformasi adalah peristiwa perebutan kekuasaan belaka. Mereka berebut kue politik dan sedikit remah-remah ekonomi --ya karena sejatinya kontestasi politik kita pascareformasi tak mampu menyentuh aspek redistribusi ekonomi. Data ekonomi menunjukkan tingkat ketimpangan meningkat drastis dan penguasaan ekonomi makin mengerucut ke atas. Padahal inti perjuangan politik adalah kesejahteraan bersama dan keadilan hukum.
Magnet Reformasi memang membutakan dan menggiurkan. Setelah 32 tahun dalam masa represi serta 21 tahun dalam masa ketidakstabilan, semua menumpukan bahwa penyelesaian semua perkara adalah melalui negara dan pemerintahan. Maka semua orang berburu jabatan di berbagai lini, apalagi setelah Reformasi semua pimpinan tertinggi seluruh cabang kekuasaan bisa dijabat oleh siapa saja.
Jalan politik adalah satu-satunya cara untuk mencapai itu. Celakanya, mereka juga meyakini bahwa semua masalah bisa diselesaikan melalui jalan politik. Maka seluruh kekuatan sosial, ekonomi, dan budaya masuk politik, bahkan membentuk partai politik. Pensiunan tentara, polisi, birokrasi, yudikatif pun mencari jalan yang sama, bahkan yang masih menjabat mulai meniti jalan ke sana.
Aktivis LSM, wartawan, budayawan, seniman, agamawan, intelektual, akademisi, peneliti, dan pegiat gerakan sosial pun tak mau kalah, masuk ke pusaran yang sama. Rakyat pun bersuka cita mendukung langkah itu. Ringkasnya, seluruh elemen negeri ini berburu masuk ke satu lubang: pintu politik.
Ada yang tak disadari. Perubahan rezim politik di Indonesia selalu menjadi bagian dari perubahan lanskap politik global. Runtuhnya Orde Lama adalah bagian dari pertarungan Perang Dingin, jatuhnya Orde Baru bagian dari arus demokratisasi di negeri-negeri represif, bahkan kemerdekaan Indonesia merupakan bagian dari perubahan tatanan dunia dengan berakhirnya Perang Dunia II.
Rezim Reformasi berada dalam aras kemenangan neoliberalisme, tahap lanjut setelah gelombang demokratisasi dunia ketika demokrasi meruntuhkan komunisme. Ciri neoliberalisme adalah berkuasanya korporasi, melampaui negara. Modal mengalahkan segalanya.
Kenyataan berkuasanya korporasi dan modal itu menunggu di balik pintu. Partai-partai politik dan jalan-jalan kekuasaan --yang berduyun-duyun diserbu para pegiat yang selama Orde Baru berada di akar rumput-- pada akhirnya takluk di tangan pemodal. Awalnya mereka membutuhkan pemodal untuk bekerjanya partai-partai politik dan biaya gerilya politik.
Pada akhirnya, pemodal bahkan mendirikan partai politik atau bergabung ke partai politik. Lembaga-lembaga politik, dan juga lembaga-lembaga negara, pun berada dalam pengaruh kuat mereka. Lembaga-lembaga riset politik dan juga tim sosial mereka berada dalam genggaman mereka pula. Sistem dan prosedur politik yang one man one vote menuntut biaya yang besar, ditambah kenyataan wilayah Indonesia yang sangat luas membutuhkan biaya operasional politik yang besar pula.
Mobilitas para pemimpin akar rumput masuk ke dalam pertarungan politik itu mengapungkan harapan. Mereka akan berjuang mewujudkan sila kedua dan kelima. Perlahan namun pasti, idealisme mereka terbentur tembok kapital dan bahkan dicaplok kapital. Mereka ikut larut di dalamnya.
Lalu kita menyaksikan kesenjangan penguasaan aset makin menggila. Korupsi makin meraksasa dan merata. Penindasan terhadap rakyat mulai bermunculan di mana-mana. Ketakberdayaan rakyat makin terasa. Namun politik itu seperti candu, menagih dan terus menagih lagi. Dicoba dan dicoba lagi. Pada pilpres lalu, fenomena dipakainya para pegiat sosial, agama, dan budaya begitu terasa. Mereka duduk di barisan paling depan saat debat capres.
Apakah setelah pemilihan mereka bisa efektif memengaruhi kebijakan sang penguasa? Di mana mereka berada ketika kuasa modal menggilas proses legislasi? Di mana mereka berada ketika kuasa modal membentuk pendapat umum yang memuluskan pencaplokan demi pencaplokan? Di mana mereka berada ketika rakyat digusur dan lingkungan dirusak?
Di mana mereka berada ketika pasar digusur atau ter(di)bakar? Di mana mereka berada ketika harga dan pasokan kebutuhan pokok dikendalikan para importir dan mencekik petani serta peternak?
Tentu para tokoh itu --yang sebetulnya tak berdaya apa-apa kecuali nama besarnya yang dimanfaatkan-- berkilah di balik argumen legal-formal. Bicara tentang aturan dan hukum. Bahkan pun bisa bicara bahwa hal itu merupakan tugas lembaga-lembaga resmi. Ada pula yang terang-terangan menjadi juru bicara kapital. Tentu saja itu menjijikkan. Tak ada upaya melakukan perlawanan sosial karena mereka memang benar-benar tak berada bersama mereka.
Hakikatnya, ketika semua menuju satu titik politik, maka hal itu ibarat bermain sepak bola, mereka ingin menjadi pencetak gol semua. Mereka meninggalkan pertahanan. Rakyat ditinggal sendiri dalam mempertahankan dirinya. Mereka tak didampingi.
Kecenderungan semacam ini sangat memprihatinkan dan membahayakan. Sudah saatnya agar para penjaga nurani, spirit, dan moral rakyat itu kembali ke habitatnya; berada di tengah dan bersama rakyat. Mereka harus berjarak dari kekuasaan. Apalagi kekuasaan di Indonesia ini sepenuhnya berada dalam kendali persekongkolan elite dan pemodal.
Saat ini, kondisi civil society masih butuh diberdayakan. Mereka lemah secara ekonomi dan pendidikan. Mereka juga lemah dalam hal pengorganisasian dan pelembagaan. Tugas para pandhito bukanlah di depan untuk menjadi ujung tombak. Tapi berada di belakang untuk merawat yang luka, menimang yang sedih, menyemangati yang lunglai, mengisi yang kosong, dan menghimpun yang terserak.
Di saat tertentu bisa mengguntur memecah kebebalan dan kezaliman. Kita rindu mendengar auman mereka. Sudah lama kita kehilangan mereka.