Jumat 29 Apr 2016 06:00 WIB

Saatnya Partai Rakyat

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Bharatia Janata Party (Partai Rakyat India) berdiri pada 1980. Partai ini memiliki hubungan ideologis dan organisasional dengan nasionalis Hindu Rashtriya Swamsevak Sangh (RSS) – RSS pernah dilarang setelah pembunuhan Mahatma Gandhi. BJP dikenal berhaluan kanan. Secara demografis, partai ini didirikan kaum miskin dari kelas strata rendah dalam hierakhi struktur masyarakat Hindu di India. Mereka disokong para pendeta garis keras Hindu. BJP merupakan antitesis terhadap Partai Kongres. Partai yang hampir selalu berkuasa di India. Partai Kongres identik dengan keluarga Jawaharlal Nehru, namun lebih dikenal dengan trah Gandhi – merujuk pada Indira Gandhi. Partai Kongres adalah partai kaum elite dan moderat di India. Konflik di India lebih banyak menghadapkan Muslim yang minoritas dengan Hindi yang mayoritas. Karena itu, BJP sering dicitrakan sebagai partai radikal yang anti-Muslim.

Pada 2014, untuk kali pertama BJP memenangkan pemilu secara signifikan di segala tingkatan. Narendra Modi (lahir 1950) yang memimpin partai itu terpilih sebagai perdana menteri. Modi berasal dari keluarga miskin. Ia pernah menjadi pedagang kaki lima. Ia mencari nafkah membantu orangtuanya hingga keliling negeri. Jalan menuju kursi perdana menteri pun sangat terjal. Ia lama ditelikung dengan isu kerusuhan 2002. Bermula dari serangan terhadap kereta api dan berujung pada pembantaian umat Islam di Gujarat, lebih dari seribu orang mati. Namun pada 2012, sebuah tim investigasi yang dibentuk Mahkamah Agung menyatakan Modi bersih dari tanggung jawab terhadap kerusuhan 2002. Padahal Amerika Serikat pernah menolak visa Modi pada 2005 karena pelanggaran kebebasan beragama. Dalam proses menuju pemilu, Modi mencium kaki veteran Muslim. Semacam simbol bahwa dia berdamai dengan umat Islam dan sekaligus menegaskan bahwa dirinya tak terkait dengan bencana 2002.

Kini, India justru sedang bersinar. Ekonomi India tumbuh cepat. Dan itu di bawah kepemimpinan Modi dan BJP. Kaum nasionalis garis keras diidentikkan dengan anti-bisnis dan alergi terhadap asing. Namun Modi membalikkan stigma secamam itu. Kebijakannya probisnis dan ia rajin berkeliling ke negeri-negeri lain untuk menjalin kerja sama dan investasi. Hubungan dengan tetangga yang selama in tegang diperbaiki: Nepal, Pakistan, Srilanka, Bangladesh.

Pembalikan stigma semacam itu juga dibuktikan oleh Lula da Silva. Ia menjadi presiden Brasil pada 2003 hingga 2011, menjabat selama dua periode. Pada 1980, di masa pemerintahan militer (1964-1984), ia mendirikan Partai Buruh. Brasil belum pernah benar-benar membangun diri. Politik Brasil jatuh bangun akibat ketidakstabilan. Militer Brasil selalu masuk dalam politik. Lula yang aktif dalam gerakan buruh kemudian mendirikan partai yang disokong cendekiawan dan akademisi. Lula adalah otodidak. Ia tak pernah menempuh pendidikan resmi. Hidupnya sangat miskin. Ia belajar baca-tulis di usia 10 tahun sambil menjadi tukang semir. Setelah itu ia bekerja di pabrik. Kehidupan buruh yang mengenaskan ia rasakan ketika satu jarinya celaka. Tak ada layanan dan jaminan kesehatan yang memadai untuk buruh. Ini yang membuat dirinya terjun di gerakan buruh dan kemudian mendirikan partai.

Brasil adalah jajahan Portugal. Namun berbeda dengan penjajahan di Afrika dan Asia, penjajahan di benua Amerika menghasilkan tragedi kemanusiaan yang dahsyat. Pada umumnya penduduk asli habis dan tersingkir, di Brasil hanya menyisakan kurang dari satu persen. Mayoritas adalah kulit putih, urutan berikutnya adalah blasteran.

Perjuangan membutuhkan kesabaran dalam mengelola partai, konsistensi di garis ideologi, dan ketekunan meniti jalan perjuangan. BJP membutuhkan waktu 34 tahun untuk bisa berkuasa dengan mandat yang cukup. Partai Buruh membutuhkan 23 tahun untuk menguasai Brasil. Mereka tak tergoda dalam jebakan dana kaum elite. Mereka juga bisa belajar dari kesalahan. Situasi di India mungkin lebih dekat dan memiliki banyak kesamaan isu dengan kondisi di Indonesia. Namun hakikatnya, semua negeri besar ini berjuang untuk maju setelah lama dijajah.

Struktur masyarakat negeri terjajah selalu menghasilkan lapisan sangat tipis kaum elite. Mereka sengaja ditempatkan kolonialis untuk menjadi agen bagi berlangsungnya sistem kolonialis. Jumlah mereka sangat terbatas, menempati posisi yang diizinkan saja dalam pemerintahan dan perusahaan, lebih banyak sekolah tukang dan sangat sedikit yang bisa sekolah tinggi. Namun demikian, di antara mereka ini justru yang kemudian memanfaatkan kepandaiannya untuk memerdekakan negerinya. Mereka bergabung bersama rakyat untuk memperjuangkan kemerdekaan. Tentu saja sebagian besar lagi tetap menjadi antek penjajah. Namun arus zaman Perang Dunia II membentuk tatanan dunia baru dan menempatkan Amerika Serikat sebagai penguasa dunia yang baru. Poros semula di Eropa kemudian bergeser ke benua Amerika. Hal ini menyengat negeri-negeri terjajah untuk merdeka. Bahkan dalam sejumlah hal Indonesia mencontek Amerika Serikat.

Sebagai masyarakat terjajah, jurang antara elite dan rakyat kebanyakan demikian lebar. Umumnya rakyat tak terdidik, miskin, dan lemah dalam kemampuan mengorganisasi diri serta kelembagaan. Karena itu, sejak kemerdekaan hingga kini, di Indonesia belum ada partai yang benar-benar berasal dari kalangan rakyat kebanyakan seperti BJP di India atau Partai Buruh di Brasil. India beruntung karena sistem demokrasi negeri itu tak pernah mengalami jeda. Brasil, kendati militer kerap masuk politik, namun sudah lebih lama menganut sistem republik – sejak 1889. Pada sisi lain, walau itu negeri jajahan namun masyarakatnya sudah sama dengan negeri penjajahnya, seperti halnya Amerika Serikat. Karena itu, pada tahun yang sama mereka telah memiliki partai rakyat. Dilmar Roussef, pengganti Lula, adalah wanita pertama yang menjadi presiden Brasil yang mantan gerilyawan di masa junta militer.

Di Indonesia belum pernah ada partai yang benar-benar merupakan partai rakyat. Dari sisi ideologi, pendanaan, program perjuangan, dan para pengendali partainya. Semuanya adalah partai kaum elite. Mungkin kita bisa berdiskusi soal PKI dalam isu ini. Namun partai rakyat tak harus komunisme, sebagaimana komunisme tak selalu berarti partai rakyat. Seperti BJP dan Partai Buruh, keduanya bukanlah partai komunis.

Saat ini tingkat pendidikan dan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia mulai membaik. Mereka juga mulai sadar tentang pentingnya berorganisasi. Pada sisi lain, kaum elite dan pemodal makin kuat akibat konsolidasi yang konsisten dan membesarnya skala ekonomi Indonesia. Jika dua arah dari dua lapis masyarakat Indonesia tak segera dicarikan titik temunya maka Indonesia bisa terjebak pada tiga kemungkinan. Pertama, konflik sosial. Kedua, politik dinasti. Ketiga, plutokrasi dan kleptokrasi yang tumbuh bersamaan. Tiga-tiganya tak akan membawa kemajuan bagi Indonesia. Karena itu, lahirnya partai rakyat yang bersifat indigenous merupakan tugas sejarah dan misi suci untuk menyelamatkan Indonesia. Partai rakyat harus mencerminkan dan memiliki basis sosial kuat.

Partai rakyat bukan hanya yang didukung rakyat, tapi partai yang memiliki ideologi kerakyatan dan program perjuangan untuk pemerataan kesejahteraan rakyat. Partai rakyat bukan sekadar partai yang memiliki semua itu, tapi juga partai yang memang dikendalikan rakyat kebanyakan. Rakyat kebanyakan tak hanya memegang posisi-posisi kunci dan utama dalam mengelola partai tapi juga bisa menggali dana dari rakyat itu sendiri.

Saat ini ada partai yang memiliki jargon kerakyatan. Ada juga yang didukung rakyat kebanyakan. Namun rakyat hanya menjadi klien dari patron kaum elite. Rakyat hanya subordinat. Ada pula partai yang pengelolanya rakyat kebanyakan namun ideologi dan program perjuangan sama sekali jauh dari kenyataan itu, juga tak bersifat indigenous.

Partai rakyat tak mesti berasal dari partai baru. Partai yang ada, yang sejatinya dikelola oleh orang-orang yang berasal dari rakyat kebanyakan, bisa melakukan revolusi untuk menjadi partai rakyat. Partai yang dikelola oleh elite sangat sulit untuk menjadi partai rakyat. Apalagi jika elite itu merupakan elite yang sudah turun temurun. Mereka sudah terlilit dan terjalin terlalu dalam dengan kaum yang tak mau berbagi kue ekonomi. Redistribusi ekonomi itu selalu harus dipaksa. Musuh redistribusi ekonomi adalah sikap rakus dan rakus tak pernah mengenal batas. Hanya melalui redistribusi ekonomi kesejahteraan bersama dan keadilan sosial bisa tercapai. Rakus adalah musuh utama Indonesia saat.

 

 

 

 

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement