Kamis 26 Oct 2017 05:00 WIB

Jaringan Keilmuan Indonesia-Mesir (3)

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Meningkatnya popularitas Universitas al-Azhar Kairo sebagai pusat keilmuan, membuat kalangan ulama Jawi yang bermukim di Makkah mengirim anak dan kemenakannya ke Mesir. Salah satu contoh terkemuka adalah Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang menjadi salah satu ulama Jawi paling terkemuka di Tanah Suci.

Ahmad Khatib yang menjadi guru banyak ulama terkemuka nusantara, termasuk Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah (1912) dan Hasyim Asy’ari yang mendirikan Nahdlatul Ulama (NU, 1926), tidak hanya mengirim dua putranya, `Abd al-Karim (wafat 1947) dan `Abd al-Hamid (w. 1962) belajar di Universitas al-Azhar. Ia juga mengirim kemenakannya yang kemudian juga terkenal, Muhammad Tahir Jalal al-Din (1869-1956) yang belajar di Makkah pada 1880-1895. Tahir kemudian menuntut ilmu lebih luas lagi di Universitas al-Azhar selama empat tahun, khususnya ilmu falak.

Muhammad Tahir Jalal al-Din yang kemudian terkenal dengan laqab al-Azhari al-Minangkabawi mengadakan kontak dengan Abduh dan membangun kerja sama dan persahabatan dengan Rasyid Rida. Karena itu, tidak heran kalau dia kemudian setelah kembali ke nusantara menerbitkan jurnal al-Imam di Singapura; jurnal ini terkenal sebagai mouthpiece jurnal al-Manar yang diterbitkan Rida dan memiliki pengaruh penting dalam dinamika modernisme Islam di nusantara secara keseluruhan.

Jaringan murid-murid Jawi dengan tokoh pewaris modernisme Islam di Kairo, persisnya dengan Rasyid Rida, selanjutnya berkembang lebih luas. Hubungan murid-murid Jawi dengan Rasyid Rida kelihatan cukup erat. Menurut majalah al-Munir, Rida sendiri memberikan perhatian khusus kepada murid-murid Jawi yang sangat prihatin dengan kondisi pendidikan dan keilmuan Islam di nusantara. Karena itu, Rida selain membantu murid-murid Jawi, juga mendirikan Dar al-Da`wah wa al-Irsyad pada 1912 sebagai ‘tanda cintanya pada Islam di Timur Jauh’; murid-murid Jawi dilatih pula untuk menjadi dai pada institusi ini.

Perhatian khusus Rasyid Rida kepada murid-murid Jawi dapat dilihat pula dari kenyataan bahwa dia sendiri atau kerabat dekatnya yang dia minta sering menjemput mereka yang baru datang di Kairo. Rida bahkan menyediakan penampungan sementara sebelum akhirnya mereka menemukan akomodasi lain yang lebih permanen.

Hal ini terlihat, misalnya, dalam pengalaman Muhammad Basyuni Imran dan dua murid Jawi lainnya asal Sambas. Basyuni belajar di Makkah dengan guru-gurunya, seperti `Umar Sumbawa, `Utsman Sarawak, dan Ahmad Khatib sampai 1906 untuk kembali ke Sambas. Ia adalah pelanggan majalah al-Manar (terbit 1898-1936) yang diterbitkan Rasyid Rida.

Lebih sebagai pelanggan, Basyuni kelihatan juga menjalin kontak pribadi dengan Rida. Karena itu, tidak heran ketika ia dan saudaranya, Ahmad Fauzi, dan teman mereka, Ahmad Su`ud, menuju Kairo pada Desember 1910. Dia mengirim kabel kepada Rasid Rida tentang jadwal kedatangan mereka di Suez. Rida meminta saudaranya Salih Rida untuk menjemput mereka di stasiun Kairo, untuk kemudian menginap di rumahnya sebelum mendapatkan pemondokan permanen (Laffan 2000:165-6).

Perhatian dan bantuan Rasyid Rida kepada para murid Jawi ini tidak luput dari perhatian dari media di Tanah Air. Majalah //al-Munir// (Vol. 1, No 2, 15 April 1911) yang terbit di Padang, Sumatra Barat, misalnya, menulis tentang hal di atas. Dalam edisi ini, al-Munir mengungkapkan Persekutuan Persetiaan di Singapura telah menerima surat tentang telah sampainya dengan selamat sejumlah murid Jawi di Suez.

Berada di tempat asing, mereka mengontak Syekh Rasyid Rida, yang kemudian memerintahkan saudara laki-lakinya menjemput mereka di Suez, yang selanjutnya menampung mereka di rumahnya. Setelah itu baru mereka menyewa pemondokan. Mereka bertemu dengan beberapa ulama Mesir yang menanyakan kepada mereka tentang keadaan kaum Muslim dan pendidikan Islam di nusantara.

Pertolongan dan sikap bersahabat para ulama Mesir ini ikut mendorong pertumbuhan jumlah murid-murid Jawi di Kairo. Hal ini dapat dilihat dalam riwayat berikut. Dodge (1961:164, 165) mengutip data tentang komposisi mahasiswa Universitas al-Azhar pada 1902, menyatakan terdapat 645 mahasiswa asing; dan tujuh di antaranya adalah ‘Javanese’, yang pas kita sebut sebagai murid-murid Jawi.

Selanjutnya Kairo menerima semakin banyak penuntut ilmu dari nusantara. Pada 1904, misalnya, dilaporkan dari 14 murid Jawi yang belajar dari Kairo, empat di antaranya adalah keluarga Sultan Riau Lingga; mereka belajar di madrasah persiapan sebelum masuk Universitas al-Azhar. Mereka ini dibawa ke Kairo oleh Syekh Tahir Jalal al-Din dan tokoh Hadrami, Sayyid Syekh bin Ahmad al-Hadi (1967-1934). N

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement