REPUBLIKA.CO.ID, Berakhirnya Perang Dunia I yang diikuti ‘economic boom’, termasuk di Nusantara sejak 1920an, mendorong eksplosi jumlah mahasiswa yang datang ke Kairo dari berbagai tempat di Asia Tenggara.
Pada 1925 diperkirakan ada sekitar 150-an mahasiswa Nusantara di Kairo, yang umumnya belajar di Universitas al-Azhar, meski di masa ini juga telah berdiri Dar al-`Ulum Universitas Kairo. Hasilnya, riwaq Jawi kembali sesak, sehingga kalangan Hadrami Nusantara ikut mendirikan asrama buat mahasiswa Jawi.
Seperti pernah dibahas Profesor William Roff, mahasiswa Jawi angkatan 1920-an selain aktif dalam perkuliahan, juga sangat terlibat dalam berbagai isyu terkait nasionalisme Indonesia dan Semenanjung Malaya. Meski gagasan tentang nasionalisme mulai terdiseminasi dan tersosialisasi di kalangan mahasiswa sejak masa sebelum Perang Dunia I, pada 1920-an inilah gagasan nasionalisme di Kepulauan Nusantara melawan kolonialisme Eropa mengalami kematangan di lingkungan para mahasiswa Jawi.
Karena itulah terjadi pergeseran orientasi di kalangan mereka; dari semula murni akademis-keilmuan ke arah politis sekaligus. Hal ini jelas dari pernyataan mereka seperti dikutip Roff (1970:74); “di Makkah kita bisa hanya mempelajari agama, tetapi di Kairo kita juga [mempelajari] politik”.
Dalam konteks ini bisa dipahami pembentukan Djamaah al-Chairiyyah al-Talabijjah al-Djawijjah pada 14 September 1923, yang kemudian menerbitkan jurnal Seruan Azhar. Pengasuh jurnal ini adalah Fath al-Rahman Kafrawi (pemimpin umum); Janan Thayib (pemimpin redaksi); sedangkan redaksi terdiri dari Ilyas Ya`kub, Muhammad Idris al-Marbawi, `Abd al-Wahhab `Abd Allah dan Mahmud Yunus.
Tema pokok Seruan Azhar terutama menyangkut upaya memajukan Islam dan mencapai kesatuan kaum Muslimin. Tema ini terlihat dalam pernyataan Mahmud Yunus lewatneditorial Seruan Azhar: “Seluruh rakyat kita...apakah di Jawa, atau Sumatra, atau di Borneo, atau Semenanjung Malaya, harus bersatu dan mempunyai tujuan bersama dan bersepakat mencapai kemajuan; mencari cara-cara terbaik untuk mencapai hal ini, dan tidak membiarkan kita dengan alasan apapun terpecahbelah menjadi kelompok-kelompok terpisah”.
Meski peran alumni Kairo cukup sentral dalam mendorong dan menyebarkan gagasan modernisme Islam dan nasionalisme Indonesia, peran mereka lebih jelas dalam aktivisme politik menjelang Perang Dunia II dan kemerdekaan masih perlu diteliti lebih jauh. Mona Abaza (1993) ketika menyinggung tentang alumni Kairo di masa ini hanya menyebut keterlibatan Kahar Muzakir dalam perumusan ‘Piagam Jakarta’. Sedikitnya pembahasan tentang hal ini dapat membuat orang berasumsi, mereka tak berperan banyak dalam aktivisme politik menjelang kemerdekaan.
Sebaliknya, yang justru lebih menonjol dalam kancah perjuangan politik menjelang kemerdekaan adalah alumni Haramayn, atau tepatnya Makkah. Hal ini bisa dilihat dari keterkenalan alumni Makkah seperti Ahmad Dahlan (1868-1923), Hasyim Asy`ari (1871-1947), A. Wahab Chasbullah (1888-1971), As`ad Syamsul Arifin (1897-1990), Wahid Hasyim (1913-1953) dan sejumlah ulama jebolan Makkah lain yang aktif dalam NU atau Muhammadiyah dan pergerakan kemerdekaan.
Memang, generasi mahasiswa dan alumni al-Azhar Kairo menjelang dan awal kemerdekaan, seperti Harun Nasution (1919-1998) dan Fuad Fakhruddin (lahir 1918) ketika di Kairo juga menunjukkan aktivisme politik cukup tinggi. Tetapi kedua tokoh ini tidak membawa dan mengembangkan aktivisme politik mereka ketika kembali ke tanahair.
Sebaliknya, Harun Nasution—setelah memperoleh gelar Licence (Lc) dari al-Azhar (dengan tambahan di American University Kairo), dan menjadi diplomat sebentar—lalu melanjutkan pendidikan S2 dan S3 di Universitas McGill, Montreal Kanada. Kembali ke tanahair, Harun Nasution memainkan peran instrumental dalam pembaruan pendidikan tinggi Islam lewat posisinya sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1975-83).
Selain kedua tokoh ini, alumni Kairo yang tak kurang pentingnya Muhammad Rasyidi (1915-2001, yang kemudian menjadi Menteri Agama RI pertama. Dia kuliah di Darul Ulum Universitas Kairo, bukan di al-Azhar.
Tokoh lain yang penting disebut adalah Zakiyah Darajat (1929-2013), jebolan Kairo yang memperoleh gelar doktor dari Universitas Ayn Syams—bukan dari Universitas al-Azhar. Zakiyah Darajat mencapai prominensi dalam bidang psikologi dan psikoterapi serta birokrasi Kementerian Agama.
Jebolan Kairo generasi ini—yang tidak lagi hanya jebolan Universitas al-Azhar—hampir bisa dipastikan lebih memusatkan perhatian dan kegiatan mereka dalam bidang pendidikan dan dakwah. Peran mereka dalam penguatan Islam wasathiyah di Nusantara jelas tak bisa diabaikan.