Senin 04 Feb 2019 06:07 WIB

Perang Besar Itu Sedang Berkobar!

Bagaimana akhir drama teknologi generasi kelima yang kini dikembangkan Cina?

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Dalam kolom ini, Senin lalu, saya menulis perang besar tidak akan terjadi di Suriah meskipun kini berbagai kekuatan asing bercokol di sana. Ada Rusia, Amerika Serikat (AS), Iran, Turki, sisa-sisa kelompok teroris ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), Israel, dan kekuatan asing lainnya.

Mereka saling berebut pengaruh di negara yang menjadi jantung Timur Tengah itu. Namun, sekali lagi, perang besar tak akan terjadi di sana, sebab pertempuran kali ini bukan dengan kekuatan militer. Perang besar akan terjadi di tempat lain dan dalam bentuk lain.

Dan, perang besar itu, menurut Susan al-Abtah, kolumnis dan guru besar di Universitas Lebanon, sebenarnya sudah terjadi. Penangkapan Meng Wanzhou oleh otoritas Kanada hanyalah salah satu dari rentetan perang sengit yang kini sedang berkobar. Tepatnya antara dua negara raksasa ekonomi dunia, AS dan Cina.

Meng Wanzhou merupakan putri pendiri Huawaei, Reng Zhengfei. Ia kini menjabat sebagai direktur keuangan perusahaan telepon pintar asal Cina itu. Meng ditangkap di bandar udara Vancouver pada 1 Desember lalu atas permintaan AS.

Ia kini menjadi tahanan rumah di Kanada, menunggu proses ekstradisi ke AS. Tuduhan yang disangkakannya pun tidak main-main, antara lain melanggar penerapan sanksi ekonomi AS terhadap Iran serta mata-mata.

Huawei sendiri merupakan perusahaan penghasil peralatan telekomunikasi terbesar dunia. Namun, untuk penjualan telepon pintar, perusahaan dari Cina ini menempati peringkat kedua di belakang Samsung (Korea Selatan), tetapi di depan Apple (AS).

Huawei sedang mengembangkan 5G yang merupakan generasi lanjutan—biasa disebut generasi kelima—konektivitas internet telepon genggam yang menjanjikan pengunduhan dan pengunggahan data jauh lebih cepat. Kelebihan lain 5G, cakupan sinyal yang lebih luas dan koneksi lebih stabil dibandingkan teknologi 4G.

AS pun dibuat kalang-kabut oleh perkembangan teknologi generasi baru ini. Mereka merasa harus melakukan apa pun untuk memenangkan pertarungan, termasuk meminta Kanada menangkap dan mengekstradisi Meng Wanzhou. Bila kalah dalam pertempuran ini, peran AS sebagai sherif dunia pun akan runtuh.

Menurut laporan kantor berita Prancis, Agence France-Presse (AFP), yang didasarkan pada riset di 10 negara maju, Cina dinilai paling terdepan dalam pengembangan telekomunikasi generasi kelima, diikuti Korea Selatan, dan AS hanya menduduki tempat ketiga. Sedangkan, negara-negara Eropa sudah sangat tertinggal.

Masih versi AFP, mereka yang mengendalikan generasi baru teknologi ini akan lebih unggul dalam (menggali) informasi, penetrasi jaringan, dan akses data. Dengan kata lain, siapa pun yang menguasai teknologi generasi baru ini akan menguasai dunia. Inilah yang tampaknya menjadi kekhawatiran Washington.

Sejak kelahiran komputer, AS boleh dibilang sebagai pengendali dunia dengan tombol-tombolnya. Namun, pada perkembangannya kemudian, terutama sejak lima tahun terakhir ini, negara-negara besar juga telah mengucurkan ratusan miliar dolar untuk mengembangkan apa yang disebut dengan “‘teknologi untuk segala sesuatu”.

Hasilnya pun sangat dahsyat, hanya dengan perangkat di genggaman tangan kita bisa menggerakkan dan mengerjakan banyak hal dari jarak jauh, yang sebelumnya tampak mustahil. Dan, di sinilah kunci keunggulan Cina.

Produksi perusahaan raksasa teknologi Cina, Huawei, pun membanjiri dunia. Kini lebih dari 170 negara menggunakan produk Huawei, termasuk negara-negara Eropa. Jika generasi keempat telah melahirkan layanan setingkat Netflix, Airbnb, dan Uber, sulit dibayangkan apa yang akan dihasilkan oleh generasi kelima.

Pendiri Ali Baba dan salah seorang terkaya di dunia, Jack Ma, memperingatkan, perang dunia ketiga bisa saja terjadi akibat persaingan teknologi yang sudah pada tingkat histeris. Ia melihat perang dagang antara negaranya dan AS adalah sesuatu yang gila.

Cina yang dulu merupakan negara pengimpor kini menjadi pengekspor, terutama yang terkait dengan teknologi. Kemajuan teknologi inilah yang kemudian menyebabkan konflik. Namun, di pihak Cina, kemajuan teknologi justru akan bisa menyelesaikan defisit perdagangan yang telah berlangsung selama dua dekade ini.

Sejak 2013, Cina telah menginvestasikan lebih dari 200 miliar euro untuk menjadi yang terdepan. Mereka berusaha untuk menghubungkan 800 juta pengguna Cina pada fase pertama. Huawei sendiri, yang mempekerjakan 180 karyawan tahun ini, akan memproduksi ponsel pertama dari generasi baru.

Bagaimana negara-negara maju merespons kemajuan teknologi Cina ini? Di Lembah Silikon, Amerika, ada semacam perasaan bahwa sebuah bahaya akan datang.

Gedung Putih pun telah menutup pintu rapat-rapat terhadap produk-produk Huawei dan ZTE, dua perusahaan teknologi Cina. Bahkan, Washington telah berusaha keras mencegah Cina agar tidak dapat mengakuisisi perusahan-perusahaan terkemuka AS. Perusahan-perusahaan ini dikhawatirkan bisa menjadi perantara masuknya produk-produk dari Negeri Tirai Bambu itu.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement