REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Sudan krisis. Tak banyak masyarakat di dunia Muslim, termasuk di Indonesia, yang tahu Sudan kini tengah berada di dalam krisis sangat serius. Sejauh ini, tampaknya tidak ada upaya internasional serius untuk menyelamatkan Sudan dari krisis politik dan kenestapaan kemanusiaan.
Dalam kaitan dengan Indonesia, Sudan adalah salah satu negara utama yang menjadi tumpuan mahasiswa Indonesia untuk menempuh pendidikan, khususnya dalam bidang ilmu-ilmu agama Islam.
Dalam situasi krisis sekarang, terdapat antara 1.100 sampai 1.150 mahasiswa Indonesia yang belajar di berbagai perguruan tinggi di Khartum, Ummdurman, dan kota lain.
Sebagian besar mahasiswa Indonesia di Sudan belajar untuk tingkat S1. Sebagian kecil untuk level S2 dan S3. Bisa dipastikan, sebagian besar mahasiswa Indonesia ini datang dan menuntut ilmu di berbagai kota di Sudan dengan beasiswa dari Pemerintah Sudan.
Sangat ironis. Sudan dengan ekonominya yang sulit, dengan politiknya yang terus menghadapi konflik dan bergejolak, justru memberikan beasiswa kepada mahasiswa Indonesia yang ekonominya lebih baik; dengan cadangan dana beasiswa cukup besar, baik di Kementerian Agama atau apalagi di LPDP.
Tidak ada rasa bersalah juga tidak ada upaya para pejabat tinggi di kementerian/lembaga terkait untuk menyelamatkan muka Indonesia, ketika para mahasiswa/i negeri ini menerima beasiswa dari negara-negara dengan ekonomi dan politik yang sulit di Timur Tengah semacam Sudan dan banyak lagi. Sebut saja nama negaranya di kawasan Maghribi dan Semenanjung Arabia.
Sudan. Negara pemurah; tapi hampir selalu dalam konflik dan krisis. Pada 2011, Sudan terpecah-pemicunya semula terutama adalah konflik dan perang di Darfur.
Wilayah bagian selatan yang kaya dengan sumber minyak dan gas dengan penduduk mayoritas Kristianitas dan animis dengan dukungan kekuatan besar internasional melepaskan diri berdaulat menjadi Republik Sudan Selatan.
Tetapi, pemisahan ini tidak mengakhiri krisis di Sudan dan Sudan Selatan. Di negara baru ini, kekayaan minyak dan gas tidak bisa dieksploitasi karena konflik antarkabilah yang terus berlanjut. Minyak menjadi oil curse-kutukan yang menyengsarakan warga dan negara.
Indonesia melalui PBB mengirim pasukan perdamaian ke Sudan sampai sekarang. Di bawah misi penjaga perdamaian yang disebut Unamid, TNI dan Polri mengirim pasukan dengan jumlah yang berfluktuasi sekitar 1.000 personel.
Sementara itu, Sudan (yang asal di bagian utara) juga terus mengalami krisis ekonomi dan politik. Meski sudah terbagi dua, Sudan tetap merupakan salah satu negara terbesar di dunia Muslim dan di Benua Afrika dengan penduduk sekitar 43 juta jiwa dengan lebih 90 persen menganut Islam.
Presiden Omar al-Bashir yang berkuasa setelah melakukan kudeta pada 1989 juga gagal menyelesaikan konflik dan krisis ekonomi. Sejak Desember 2018, unjuk rasa besar-besar terjadi di berbagai pelosok Sudan--semula memprotes kenaikan harga bahan-bahan pokok, yang kemudian menggelinding menjadi tuntutan pengunduran diri Presiden al-Bashir. Media massa internasional menyebut gelombang ini sebagai ‘Sudanic Spring’.
Protes yang terus membesar melawan Presiden Omar al-Bashir semula dihadapi secara kekerasan oleh militer. Akibatnya puluhan, jika tidak ratusan, pengunjuk rasa tewas.
Namun akhirnya, pada April 2019, militer mengalihkan dukungannya dengan menangkap Presiden al-Bashir. Menteri Pertahanan Sudan Awad Mohamed Ahmed ibn Awf melakukan kudeta dan mengambil alih kekuasaan.
Namun, peralihan kekuasaan terbukti gagal menyelesaikan krisis Sudan. Sejak Ramadhan lalu, kaum oposisi yang didukung banyak warga di berbagai pelosok Sudan, semakin vokal menolak masa tiga tahun yang dijanjikan militer sebagai periode transisi.
Mereka menuntut agar proses transisi diserahkan kepada masyarakat sipil yang ada. Sebaliknya, aparat militer yang dibantu berbagai kelompok dan geng paramiliter menghadapi massa dengan kekerasan, sehingga dalam hari-hari terakhir ini ratusan warga tewas.
Kekerasan dan pertumpahan darah tampak kian sukar dihentikan. Lembaga-lembaga internasional, seperti PBB, OKI, Uni Eropa, Liga Arab atau Uni Afrika belum mampu merumuskan langkah konkret untuk mengatasi krisis di Sudan.
Organisasi-organisasi internasional ini, seperti terlihat dalam banyak kasus tergagap-gagap menghadapi krisis politik dan kemanusiaan seperti yang tengah terjadi di Sudan.
Mengingat Indonesia yang secara historis memiliki hubungan erat dengan Sudan, selayaknyalah Indonesia mengambil inisiatif serius untuk membangun kembali perdamaian di negara tersebut. Tentu saja Indonesia tidak bisa bekerja sendiri, Indonesia bisa mengajak lembaga dan organisasi internasional untuk mengakhiri bencana kemanusiaan di Sudan.