Sabtu 20 Jul 2019 17:21 WIB

Dongeng Tragis Seorang Guru

Guru merasa dilecehkan tetapi malah dihukum.

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Asma Nadia

Aib sedianya harus disimpan sendiri. Melakukannya saja sudah sebuah kesalahan, diketahui orang tentu lebih memalukan. Apalagi jika sang pelaku adalah figur yang mempunyai jabatan terhormat dan posisi terpandang.

Akan tetapi, kepala sekolah yang satu ini berbeda. Ia justru menceritakan kebejatannya berhubungan badan dengan wanita lain secara terbuka, bahkan menjadikan ini sebagai bahan rayuan untuk mengajak salah satu guru perempuan bawahannya menginap di satu hotel.

Sebenarnya sang guru honorer malas mengangkat setiap kali sang atasan menelepon karena ia tahu pembahasan pekerjaan hanya basa-basi pembuka, selebihnya sang kepala sekolah akan membahas tema seputar hubungan intim pria dan wanita. Namun, sebagai bawahan, ia takut kehilangan pekerjaan.

Sabar ada batasnya, toleransi pun memiliki batasan. Merasa terganggu dengan telepon berulang yang sejatinya merupakan pelecehan seksual, akhirnya sang guru perempuan nekat merekam pembicaraan di telepon. Seperti diduga, sang kepala sekolah kembali membicarakan seputar hubungan seksualnya dengan wanita lain yang bukan istrinya tanpa tahu bahwa kali ini terekam dalam media digital.

Resah dan bingung apa yang setelahnya harus dilakukan, sang guru perempuan mendiskusikan persoalan tersebut kepada rekan sejawat yang ikut mendengarkan isi percakapan. Menyadari ketidakpatutan yang dilakukan kepala sekolah, maka sang rekan melaporkan percakapan tersebut ke dinas pendidikan setempat.

Guru kencing berdiri murid kencing berlari, apa yang dilakukan sang kepala sekolah sangat tidak pantas dicontoh. Jika guru kencing berdiri saja, murid kencing berlari, bagaimana jika kepala sekolah yang notebene adalah panutan guru yang melakukannya, degradasi moral yang ditimbulkan jelas jauh lebih parah.

Namun, alih-alih mendapat kedamaian, bebas dari telepon iseng sang kepala sekolah, kini sang guru justru dihadapkan pada masalah yang lebih besar. Kepala sekolah mengajukan tuntutan karena sang guru dianggap melanggar UU ITE yang mempermalukan kepala sekolah.

Namun, bukankah selama ini justru sang guru perempuan yang menjadi korban? Bukankah selama ini dia yang menderita akan perlakuan atasannya. Bukankah wajar melaporkan sebuah tindak perbuatan yang tidak menyenangkan? Mengapa justru…?

Saya dan siapa pun yang mengikuti perkembangan kasus ini terperangah.

Dunia sungguh telah terbalik. Seorang korban justru akhirnya menjadi pesakitan, terpaksa duduk di kursi terdakwa dalam pengadilan.

Sementara, sosok si kepala sekolah, sekalipun awalnya dimutasi sehingga banyak yang mengira kariernya akan tamat, nyatanya setelah media menguak, ia justru kini mempunyai jabatan yang cukup bagus sebagai kepala bagian dalam jajaran dinas kependidikan.

Terpujilah wahai engkau Ibu-Bapak Guru …

Lamat-lamat bait lagu yang mengapresiasi peran guru sebagai figur pahlawan tanpa tanda jasa bergaung di benak saya. Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku ….

Entah apakah lirik di dalam lagu tersebut pantas disematkan pula pada si kepala sekolah yang melakukan hal tercela dan uniknya justru merasa telah diperlakukan tidak adil?

Saat sang guru, korban pelecehan seksual selama bertahun-tahun menjalani proses persidangan, dan harus kehilangan pekerjaan walau tidak melakukan kesalahan sebagai seorang pendidik, sang kepala sekolah menikmati hidup nyaman dengan jabatan barunya.

Keadilan kemudian terwujud ketika pengadilan negeri memutuskan sang guru tidak bersalah. Ia akhirnya mampu menghirup udara bebas.

Hanya saja sayangnya tak lama sebab jaksa mengajukan banding dan pada putusan pengadilan tinggi sang guru dinyatakan bersalah dan harus menjalani hukuman plus membayar denda yang tidak murah, 500 juta rupiah!

Allah … di mana keadilan? Apakah ia telah kehilangan rasa?

Bagaimana mungkin seorang korban justru masuk penjara?

Benar-benar tak habis pikir.

Kasus yang menimpa guru perempuan ini, kembali mengingatkan betapa masih minimnya perlindungan hukum di Tanah Air terhadap kaum hawa.

Wanita yang menjadi korban pemerkosaan sangat mungkin menjadi tahanan jika gagal membuktikan. Padahal, pembuktian kejahatan seksual sangat sulit karena biasanya membutuhkan waktu yang begitu cepat dan spontan untuk melakukan visum. Jika terlambat, bukti akan menguap. Terkadang meski berhasil dilakukan visum segera, bisa saja gagal dibuktikan sebagai hasil tindak kekerasan.

Ketidakberpihakan hukum terhadap perempuan membuat kaum wanita trauma untuk mencari, apalagi memperjuangkan keadilan. Mereka takut mengambil risiko yang tak hanya akan mempermalukan diri, pun tidak menghasilkan apa-apa, bahkan terkadang berujung penjara.

Pada masa lalu akhirnya parempuan kita pasrah. Menelan saja pahit buah ketidakadilan.

Syukurlah kali ini Presiden mengambil langkah kongkret, mengajukan proses amnesti untuk membela sang guru yang merupakan korban. Setidaknya ketika hukum belum mewakili rasa keadilan, masih ada langkah yang bisa diambil oleh Kepala Negara.

Alhamdulillah. Satu persoalan selesai, tapi masih banyak pekerjaan rumah menanti agar hukum dengan prinsip keadilannya berpihak pada mereka yang lemah, pada korban, dan bukan memberi ruang kepada pelaku kejahatan untuk merasa aman dan dilindungi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement