REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rio Christiawan, Dosen Hukum Universitas Prasetya Mulya
Hak imunitas pada profesi advokat sebenarnya bukan hal yang baru lagi. Namun, yang menjadi menarik adalah perkembangan dari hak imunitas itu sendiri.
Pada awalnya hak imunitas advokat mengacu pada Pasal 16 Undang-Undang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat bahwa advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun secara pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk pembelaan klien dalam sidang pengadilan.
Sebelum dilakukan perluasan ruang lingkup oleh Mahkamah Konstitusi, berkaitan hak imunitas ini sudah terjadi beberapa kasus dengan tafsir berbeda oleh majelis hakim. Dalam kasus mantan gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi, yang sebelum menjabat gubernur merupakan seorang advokat.
Ali Mazi pada saat itu merupakan kuasa hukum dari PT Indobuild yang dalam rangka menjalankan profesinya turut serta dilakukan proses hukum. Berbeda dengan gugatan Edino dkk yang salah satuanya kepada mantan asosiasi kurator dan pengurus Indonesia yang menjadikan imunitas sebagai dasar advokat tidak dapat dituntut ketika menjalankan tugasnya.
Artinya, persoalan imunitas sejak lahirnya UU Advokat hingga putusan Mahkamah Konstitusi adalah pada ruang lingkup imunitas yang berlaku di sidang pengadilan saja atau berlaku juga di luar sidang pengadilan. Putusan Mahkamah Konstitusi No 26/PUU-XI/2013 memberikan perluasan ruang lingkup imunitas advokat sehingga menjadi advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk pembelaan klien baik di dalam sidang pengadilan maupun di luar sidang pengadilan. Artinya, sejak Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 26/PUU-XI/2013 advokat memiliki imunitas baik di dalam maupun luar pengadilan.
Obstruction of justice
Persoalan imunitas advokat berkembang pada periode putusan Mahkamah Konstitusi sampai saat ini, yaitu persoalan obstruction of justice yang sering dipersepsikan sebagai area yang beririsan dengan peran advokat berikut hak imunitasnya. Obstruction of justice dapat didefinisikan sebagai perbuatan pidana yang ditujukan ataupun yang berdampak pada pemanipulasian, memutarbalikkan, dan mengacaukan kebenaran materiil dan fungsi peradilan.
Dalam hal ini, imunitas advokat selalu dibatasi oleh iktikad baik, yang didefinisikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU Advokat, yaitu yang dimaksud dengan iktikad baik adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan klien.
Jika mengacu pada pemahaman di atas, justru di antara obstruction of justice dan hak imunitas advokat memiliki kesamaan unsur dalam irisannya, yakni adalah sama-sama memedomani dan memegang teguh tegaknya hukum dan fungsi peradilan baik formal maupun materiil. Secara logika, jika dua hal yang memiliki unsur sama bertentangan artinya bahwa ada salah satu yang salah.
Menarik untuk mengamati seorang advokat yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena obstruction of justice. Obstruction of justice sudah dirumuskan dalam sebuah aturan hukum konkret yang berlaku bagi semua orang secara objektif, sedangkan iktikad baik dalam imunitas dapat dipandang dalam dua perspektif, yaitu yang bersifat subjektif dan objektif.
Iktikad baik yang bersifat objektif dalam hal ini adalah sebuah tindakan harus berpedoman pada norma kepatutan, yaitu pada apa yang dianggap patut pada masyarakat. Dalam perspektif subjektif artinya pada kejujuran dan sikap batin seorang advokat saat melakukan tugasnya.
Menarik untuk menyimak berbagai argumen yang disampaikan advokat yang ditangkap KPK karena obstruction of justice mudah diverifikasi jika obstrasuction of justice dan iktikad baik telah memiliki kesamaan, yaitu pada komitmen penegakan hukum. Obstruction of justice adalah berlaku umum dan bersifat objektif sebagai suatu tindakan yang telah dirumuskan dalam norma sehingga bisa diuji dengan komponen iktikad baik, secara objektif maupun secara subjektif.
Secara objektif adalah apakah yang dilakukan advokat tersebut dinilai memiliki kepatutan dalam masyarakat dan secara subjektif apakah tindakan yang dilakukan advokat tersebut memiliki kejujuran dalam praktik penegakan hukum mengingat dalam UU Advokat disebutkan bahwa advokat adalah penegak hukum.
Amnesia sosial
Fenomena yang terbaru adalah menggeser imunitas kepada impunitas. Adapun impunitas sendiri menurut kamus adalah pembebasan dari hukuman. Saat ini banyak argumen yang dibangun untuk menciptakan amnesia sosial dengan melakukan represi terhadap memori sebagai upaya untuk menghapus jejak kejahatan.
Amnesia sosial sendiri akan menciptakan //chaos// dalam hukum, yaitu destruktif //chaos// yang menciptakan keadaan ketidakteraturan hukum sehingga masyarakat tidak dapat lagi melihat secara jeli dan hak imunitas advokat seakan akan dapat menjadi suatu pembenaran bagi tindak pidana yang jelas jelas bertentangan dengan iktikad baik sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 16 UU Advokat.
Salah satu instrumen untuk menghindari bergesernya imunitas kepada impunitas adalah dengan politik memori yang menggunakan pendekatan merekam dan mengingat sebagai sebuah strategi kolektif tentang bagaimana kebenaran yang objektif dapat diperoleh dengan menegakkan keadilan.
Melawan amnesia sosial ini penting untuk sebuah peradaban yang baik. Untuk melawan amnesia sosial yang mengakibatkan chaos yang bersifat negatif yang hendak menggeser imunitas kepada impunitas diperlukan pendekatan yang mampu mengingat semangat dari hak imunitas advokat itu sendiri.
Hak imunitas diberikan kepada advokat sehubungan dengan peran dan tugas advokat sebagai penegak hukum. Selanjutnya obstruction of justice merupakan tindakan melawan hukum yang tentu saja tidak memiliki iktikad baik sehingga bila obstruction of justice terjadi dan hak imunitas berfungsi maka yang terjadi adalah impunitas.
Impunitas bukan hak yang dimiliki oleh advokat sebagai penegak hukum. Namun, hak itu adalah imunitas. Hak imunitas diberikan guna mendukung optimalnya peran dan tugas advokat dalam rangka penegakan hukum.