REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Aminuddin, Analis Politik pada Literasi Politik dan Edukasi untuk Demokrasi/Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Perbincangan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) menjadi sangat serius dalam diskursus politik kita. Hal ini terjadi karena Ketua Majelis Permusyawaratan rakyat (MPR) Zulkifli Hasan menyinggung undang-undang LGBT. Dalam sosialisasi pilar kebangsaan di salah satu kampus Jawa Timur, Zulkifli Hasan menyinggung bahwa ada lima fraksi yang menyetujui UU LGBT.
Diakui atau tidak, keberadaan LGBT dianggap sebagai penyakit sosial yang harus dibasmi hingga akar-akarnya. Keberadaan LGBT yang minoritas pun tidak bisa berbuat apa-apa. Kurangnya perjuangan dan gerakan kelompok ini, membuat eksistensinya tergerus oleh opini publik. Padahal, jika negara berpikir jernih, penolakan LGBT tidak seharusnya menjadi polemik yang mengalahkan isu-isu mutakhir, seperti kasus hukum, ekonomi, budaya, kemiskinan, dan lainnya.
Uraian ini tidak akan membahas bagaimana eksistensi LGBT dan bagaimana gelombang penolakan dari publik. Akan tetapi, sedikit mengurai bagaimana perjuangan politik LGBT. Artinya, fenomena LGBT ini sudah bukan hal tabu di angkasa bumi ini, melainkan sudah menjadi bagian dari isu politik. Mengapa isu politik? Di negara yang mayoritas Muslim seperti di Indonesia, komunitas LGBT memang keras dilarang. Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memberikan stempel sesat bagi komunitas ini.
Namun, jika berkaca pada negara-negara Barat, LGBT bukan sekadar persoalan agama. Namun, sudah menjadi bagian dari komoditas politik. Bahkan, tidak jarang kepala negara melakukan pernikahan sejenis sehingga dapat memengaruhi undang-undang. Pada akhirnya, UU pernikahan sejenis dilegalkan.
Fenomena telah terjadi di negara kecil Eropa, Luksemburg. Menteri Luksemburg Xavier Bettel dengan pasangannya Gauthier Destenay telah melakukan pernikahan sejenis. Pernikahan ini tidak kalah meriahnya dengan resepsi Pangeran William dan Kate Middleton. Tentunya pernikahan tersebut disambut meriah oleh publik karena dianggap keran kebebasan hak asasi telah terbuka.
Sedangkan di Amerika Serikat, perjuangan politik LGBT tidak berjalan mulus. Seorang hakim bernama Anthony Kennedy awalnya mendapat penolakan. Mengingat masifnya dorongan tentang keberadaan undang-undang ini, akhirnya undang-undang ini disahkan.
Perayaan kemerdekaan Amerika Serikat 4 Juli 2015 bagaikan kemenangan bagi kaum LGBT di Amerika Serikat. Pasalnya, 26 Juni sebelumnya, Supreme Court Amerika Serikat memutuskan bahwa konstitusi Amerika menjamin pernikahan sesama jenis (Arifki, 2016).
Di negara-negara sekuler, seperti Amerika, Belanda, Luksemburg, pernikahan sejenis sudah dianggap hal yang wajar. Bahkan, media sudah tidak canggung lagi memberitakan pernikahan sesama jenis. Ini berbeda dengan di Indonesia. Kendati banyak yang mengampanyekannya seperti para artis, keberadaannya tetap ditolak karena dianggap bertentangan dengan norma agama.
Dalam realitas politik di Indonesia, perjuangan politik LGBT tidak mendapat tempat. Ini dibuktikan dengan keberadaan UU Perkawinan No 1/1974 sebagai dasar perkawinan semua manusia Indonesia, yaitu antara laki-laki dan perempuan. Tentunya, UU tersebut merupakan produk politik di parlemen sehingga tidak ada ruang bagi LGBT untuk eksis.
Kuatnya paradigma agama dan hukum yang menyatakan bahwa pernikahan sesama jenis, membuat kekuatan hukum tidak pernah digubris. Tidak adanya payung hukum hasil perjuangan politik di parlemen membuat komunitas LGBT tertindas. Hingga kini, atau bahkan 10 tahun berikutnya, perjuangan LGBT tidak akan pernah berhasil. Selain dianggap menentang agama dan norma hukum, komunitas LGBT juga menyimpang adat lokal.
Menolak LGBT
Yang jelas, pemberitaan terkait LGBT dalam beberapa hari terakhir ini mengonfirmasi bahwa perjuangan LGBT sudah mulai tumbuh. Perjuangan untuk hidup layaknya manusia normal lainnya akan tetap disuarakan oleh komunitas ini.
Berkaca pada negara-negara Eropa, perjuangan LGBT memang mengalami hambatan. Namun pada akhirnya, negara lunak oleh konsistensi dan semangat perjuangan politik LGBT.
Untuk itu, ini menjadi tantangan bagi perpolitikan Indonesia untuk memosisikan diri sebagai otoritas tunggal. Perjuangan politik LGBT harus segera direspons dengan baik. Artinya, parlemen sebagai pembuat legislasi harus mampu menjadi benteng terakhir. Mereka harus tunduk kepada amanat Undang-Undang 1945 dan semangat Pancasila sebagai dasar UU lainnya.
Di sisi lain, negara sah-sah saja menolak propaganda LGBT. Namun yang jelas, manusianya harus dilindungi. Ini sama halnya dengan ideologi sesat yang baru-baru ini berkelindan. Ideologi sesat harus di lawan dan ditolak dengan keras.
Namun, manusianya tidak boleh ditolak. Mereka harus dilindungi sebagai warga negara. Begitu juga dengan manusia LGBT yang tidak boleh ditindas ataupun didiskriminasi.