REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sayfa Auliya Achidsti, Dosen FISIP Universitas Sebelas Maret/Kepala Riset LPBH PWNU DIY
Selain rentetan korupsi para pejabat pemerintahan, sejak awal tahun kita disuguh polemik kasus etik Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat. Sebenarnya bukan semata karena dilakukan pimpinan salah satu institusi paling terhormat di negeri ini. Justru respons yang muncul, pernyataan sikap 54 guru besar dan profesor berbagai kampus meminta Ketua MK mundur, membuat isu ini penting dijadikan refleksi.
Gerakan puluhan figur kehormatan akademik ini kali pertama di Indonesia. Artinya, ada masalah serius menjadi latar belakangnya. Memang, skandal di MK bukan pertama terjadi. Selain skandal etik yang sedang disorot, pernah ada Akil Mochtar (ketua MK) dan Patrialis Akbar (hakim MK) yang kena operasi tangkap tangan KPK.
Akil dengan kasus suap sengketa pilkada di 12 daerah dan pencucian uang terkuak pada akhir 2013, sedangkan Patrialis pada kasus suap uji materi UU Peternakan pada awal 2017. Arief sendiri selama masa jabatan terbukti melakukan dua pelanggaran etik, yaitu surat ketebelece (2016) dan pertemuan dengan DPR (akhir 2017).
Eksistensi MK adalah perwujudan semangat penataan negara (norma dan etika). Krisis politik Polandia pada 2015 bisa dijadikan contoh bagaimana sepercik masalah di lembaga peradilan konstitusi membuat keributan nasional. Bukan korupsi, melainkan “hanya” karena rangkaian masalah etik yang memuncak dengan penundaan pensiun hakim konstitusinya. Ketidakpercayaan pada peradilan konstitusi mengakibatkan kesewenang-wenangan perundangan, yang akhirnya membuat politik kaos.
Dengan kasus etik Ketua MK, wajah institusi “penjaga gawang” peraturan perundangan negeri ini semakin buram. Sementara, kepercayaan publik kepada MK berada di nadir dengan putusan-putusan yang selama dua tahun belakangan dianggap menghambat pemberantasan korupsi.
Stigma
Di antara dukungan kepada para profesor, ada tanggapan sinis mempertanyakan pilihan isu di tengah banyaknya skandal lain. Sinisme juga tentang apa urusan para profesor soal mundur-tidaknya Ketua MK, mengaitkan kepentingan politik, dan pelampauan batas kewenangan para profesor. Menariknya, stigmatisasi muncul juga dari Ketua MK yang juga guru besar hukum, dengan mengatakan bahwa tekanan terhdapnya adalah rekayasa kelompok kepentingan tertentu.
Ada hal yang perlu diperjelas dalam melihat kondisi ini. Terlibatnya puluhan profesor berbagai institusi dalam sebuah surat pernyataan sikap, mau tidak mau punya sifat politisnya. Kita harus fair bahwa pada dasarnya apapun tindakan bisa dikaitkan pada politik, baik kepentingan, cara, maupun dampaknya. Stigmatisasi terhadap para profesor itu pun merupakan pernyataan politis.
Hal yang dikaburkan stigma padahal penting dilihat adalah kausalitasnya (sebab-akibat). MK adalah peradilan tertinggi dengan kekuatan istimewa di tafsir konsitusinya. Sifat putusannya mengikat dan sistemik ke seluruh perundangan dan kebijakan terkait karena ditentukan konstitusional atau tidaknya.