Senin 19 Mar 2018 05:23 WIB

Ekonomi Indonesia dan Mengelola Risiko Persepsi

Ledakan fiskal seperti yang dikhawatirkan beberapa kalangan akan sulit terjadi.

Red: Elba Damhuri
Iman Sugema
Foto: Republika/Da'an Yahya
Iman Sugema

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Iman Sugema

Saya begitu terkejut mendapati bahwa sebuah perusahaan investasi asing di Hong Kong masih kurang mendapatkan informasi yang akurat tentang situasi pembangunan infrastruktur di Indonesia. Ada kesan kita masih biasa-biasa saja seperti yang dulu, alias lamban.

Mereka bilang bahwa Indonesia memiliki rencana yang dahsyat, tetapi masalahnya ada pada tingkatan eksekusi yang banyak terhambat oleh birokrasi di daerah. Selain itu, katanya, peran badan usaha milik negara cenderung bersifat crowding out terhadap swasta serta menimbulkan kenaikan dalam risiko fiskal. Wow, mengapa, ya, pendapat seperti ini masih saja berkembang?

Rasanya kita sudah bekerja sangat maksimal dan serbacepat. Peringkat kemudahan berbisnis juga sudah jauh membaik. Peran swasta dalam pembangunan justru semakin meningkat dan bukannya berkurang. Risiko fiskal juga secara undang-undang tidak bisa meningkat tajam. Risiko fiskal tak jauh berbeda dengan situasi lima atau 10 tahun yang lalu.

Pembangunan infrastruktur kita lakukan dengan kecepatan 10 kali lipat dibanding 10 tahun yang lalu. Silakan diukur dengan kecepatan pembangunan jalan tol, pelabuhan, bandara, dan perumahan bersubsidi. Hanya dalam waktu tiga tahun, panjang jalan tol mengalahkan pembangunan selama 30 tahun.

Jumlah dan luas bandara, pelabuhan, embung, bendungan, dan saluran irigasi juga meningkat secara tajam. Memang selalu ada hambatan dalam pelaksanaan, tetapi pada akhirnya semua diselesaikan secara cepat. Mau pilih yang mana, yang serbacepat atau yang lemot? Tentu saja yang serbacepat, kata mereka.

Perihal yang kedua, yaitu peran swasta yang dipandang semakin menyusut, juga tidaklah benar. Memang perusahaan BUMN lebih banyak memenangkan pengerjaan proyek-proyek infrastruktur. Tetapi, swasta tetap mendapatkan jumlah proyek yang lebih besar.

Itu karena jumlah dana pembangunan menjadi jauh lebih besar. Selain itu, walaupun pemenangnya adalah perusahaan BUMN, swasta mendapatkan porsi yang lebih banyak sebagai subkontraktor dan pemasok bahan bangunan.

Lantas, swasta yang mana yang mendapatkan porsi lebih sedikit? Mereka yang kalah bersaing dalam tender adalah yang dulu dapat fasilitas terlalu enak sehingga tidak sanggup bersaing. Mereka itu sesungguhnya dulu hanya berperan sebagai makelar proyek saja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement