Ahad 25 Mar 2018 01:00 WIB

Cadar dan Radikalisme

Mengenakan cadar juga tak bisa dikatakan berlebihan dalam agama.

Pauline Hanson menggunakan burka di parlemen.
Foto: ABC News
Pauline Hanson menggunakan burka di parlemen.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Libertina W Ambari *)

Johan Slattavik punya cara untuk membedakan antara kritik yang sah mengenai imigrasi dan rasisme buta, terutama di kalangan orang-orang barat Eropa. Pada awal Agustus 2017, wartawan Norwegia itu memasang sebuah foto pada akun Facebooknya yang memperlihatkan enam buah kursi bis kosong berwarna gelap yang sekilas tampak mirip dengan orang-orang yang mengenakan burqa.

Di bawah gambar tersebut Slattavik menulis, "What do people think of this?" atau "Apa yang orang pikirkan mengenai gambar ini?"

Kepada Nettavisen, sebuah situs berita Norwegia dan stasiun televisi Norwegia, TV2, dia mengatakan tertarik untuk melihat bagaimana persepsi masyarakat atas sebuah gambar yang dipengaruhi oleh cara bagaimana orang-orang di sekitarnya bereaksi. "Saya akhirnya tertawa," kata dia.

Gambar yang awalnya hanya sebuah lelucon di media sosial tersebut ternyata telah mengundang ungkapan negatif terhadap Islam, imigran dan pakaian burqa itu sendiri.

"Ini terlihat sangat menyeramkan."

"Harus dilarang."

"Anda tidak tahu siapa di baliknya. Bisa jadi teroris."

"Sangat mengerikan. Ini seharusnya tidak pernah terjadi."

"Islam akan selalu menjadi kutukan."

"Bawa mereka keluar dari negara kita - kita hidup di masa-masa menakutkan."

"Saya pikir akan hal seperti ini terjadi di tahun 2050, tapi itu terjadi SEKARANG."

Demikian komentar-komentar yang muncul menanggapi foto tersebut.

"Lelucon saya mendapat perhatian internasional. Betapa dahsyatnya," kicau Slattavik di akun Twitternya.

Entah apakah ada hubungan atau tidak. Beberapa hari kemudian, pemimpin Partai One Nation Australia, Pauline Hanson mengenakan burqa hitam ketika menghadiri sidang di ruang senat.

Hanson sengaja memakai burqa ke ruang senat hari itu dan langsung membukanya di depan para anggota senat lainnya saat menyampaikan agendanya untuk melarang busana Muslimah tersebut di Australia. Drama Hanson sama sekali tak memukau para politisi lainnya. Bahkan pemimpin pemerintahan dalam Senat, Jaksa Umum George Brandis memperingatkan politisi perempuan itu bahwa tindakannya akan memicu sikap ofensif dari warga Muslim Australia.

"Senator Hanson, tidak, kita tidak akan melarang burqa," kata Brandis kepada Senat seperti dikutip dari situs berita The Guardian.

Dia melanjutkan, "Senator Hanson, saya tidak akan berpura-pura mengabaikan aksi yang telah Anda coba tunjukkan hari ini dengan hadir di ruang sidang dengan mengenakan burqa saat kita semua tahu bahwa Anda bukan penganut agama Islam."

"Saya akan mengingatkan Anda dan menasihati Anda, Senator Hanson, sehubungan dengan kepekaan religius masyarakat Australia lainnya," ujar Brandis.

Radikalisme

Dari foto yang semula hanya sebuah lelucon, Slattavik menemukan bahwa masyarakat barat ternyata masih terperangkap dalam rasisme buta hingga kursi bis yang kosong pun dilihat seperti sekelompok orang mengenakan burqa yang oleh mereka diklaim sebagai sebuah ancaman dan terorisme.

Perilaku dramatis Hanson di ruang Senat Australia yang terhormat juga menunjukkan bahwa kebencian atas Islam masih bersarang di dalam diri politisi yang seharusnya mampu memahami dan menerima keragaman keyakinan dan budaya dalam dunia yang semakin kecil ini, apalagi di negeri paling selatan bumi itu yang jumlah populasi Muslimnya semakin bertambah.

Ketika dunia terpolar menjadi "barat" dan "timur", ketakutan tak beralasan atas Islam dan Muslim yang ditunjukkan dengan perkataan dan perbuatan yang mengandung kebencian atas ajaran mulia tersebut dan para pemeluknya atau yang disebut sebagai islamophobia merupakan sebuah "kewajaran".

Hal ini karena sebagian besar masyarakat barat lebih banyak mendapatkan informasi mengenai Islam melalui media massa dan lebih mempercayai pemberitaan arus utama yang berat sebelah ketimbang mencari sumber lain yang mengedepankan kebenaran dan keseimbangan dalam beropini.

Namun, ketika pemakaian cadar dilarang oleh sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim karena dianggap sebagai gangguan dan dituduh menjadi benih munculnya aliran radikalisme dan terorisme, tentu hal ini menjadi suatu keanehan bahkan sangat menyedihkan.

Sejauh ini tak ada satu pun penelitian ilmiah yang dapat membuktikan bahwa mengenakan cadar berkaitan dengan tindakan kekerasan dan berpotensi menimbulkan keresahan di tengah masyarakat yang dapat mengancam keutuhan sebuah negara.

Para Muslimah yang mengenakan cadar saat beraktivitas di luar rumah justru menunjukkan kesungguhan mereka dalam menjalankan perintah agama. Keseriusan dan kegigihan dalam menjalankan ajaran agama seharusnya dipandang sebagai nilai tambah dalam sumberdaya manusia Indonesia yang harus dihargai dan dihormati karena ini adalah modal besar dalam membangun sebuah peradaban.

Mengenakan cadar juga tak bisa dikatakan berlebihan dalam agama karena itu merupakan bagian ajaran Islam layaknya perintah shalat, puasa, zakat, dan haji. "

Artinya, mengenakan cadar di ruang publik, termasuk di sekolah dan perguruan tinggi, adalah hak dalam menjalankan ajaran agama yang dijamin oleh Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 sehingga sama sekali bukan ancaman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Jika kontroversi pelarangan memakai cadar di sebuah institusi pendidikan Islam terhomat dibiarkan tanpa penyelesaian yang adil, maka apalah artinya menjadi negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement