Kamis 12 Apr 2018 10:31 WIB

Pendidikan Kita yang Hampa Ruhani

Ini semua tentang pendidikan yang menyentuh pada level substansi.

Siswa Smart Ekselensia INdonesia.
Foto: Dok. DOmpet Dhuafa Pendidikan
Siswa Smart Ekselensia INdonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie*

Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan silaturahim ke Ma’had Zawiyah Ar-Raudhah, bermuajaha dengan KH. Muhammad Danial Nafis, Pimpinan Ma’had. Beliau seorang pemegang sanad Tarekat Syadziliyah dengan memperoleh ijazah talqin dari Maulana Syaikh Dr. Yusri Rusdi Assayid Jabr al-Hasani dan pemegang sanad Tarekat Qadiriyah dengan memperoleh ijazah talqin dari Syaikh Prof. Dr. Maulana Fadhil al-Jilani yang muttashil hingga Sulthanul Auliya, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani Rahimahullah.

Kami mengobrol santai sekira 60 menit seputar pendidikan Islam. Meski singkat, pertemuan tersebut membuahkan perenungan mendalam. Benarlah nasihat para Arif, “Duduklah kau bersama para ulama yang saleh dan tawadhu, maka kau akan memperoleh banyak pelajaran.”

 

Memori saya melayang melintasi lorong waktu saat masih kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tepatnya ketika belajar mata kuliah Akhlak Tasawuf II. Beruntung kami sempat belajar kepada seorang dosen yang juga pemegang sanad Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, Al-Ustadz Dr. Ahmad Shodiq. Jika semester sebelumnya kami belajar kepada dosen yang mengerti ilmu Akhlak Tasawuf, namun bukan pengamal Tasawuf (Tanpa mengurangi rasa ta’zhim saya kepada beliau), maka pada semester tersebut kami benar-benar belajar Akhlak Tasawuf kepada seorang Mursyid. Dan, benar terasa sekali bedanya. Kami merasakan pencerahan setiap kali belajar dengan beliau. Hingga sekarang saya masih ingat wejangan-wejangan beliau.

Selain pertemuan regular di kelas, beliau mengajak kami (saya dan kawan-kawan yang akrab dengan beliau) untuk membuat halaqah zikir setiap sabtu pagi di rumahnya. Namun, barangkali karena belum dapat hidayah (lebih tepatnya kami yang bebal tak mau menjemput hidayah), kami sering bolos halaqah zikir. Barulah setelah lulus kuliah beberapa tahun kemudian, saya (dan barangkali teman-teman saya) merasa betapa bodohnya menyia-nyiakan kesempatan untuk memperoleh bimbingan ruhani dari beliau.

Lamunan belajar Akhlak Tasawuf pada masa lalu itu seperti mengaktual urgensinya sekarang-sekarang ini. Terlebih saat ini ketika aktif menggeluti dunia pendidikan, wejangan-wejangan tuan guru Dr. Ahmad Shodiq seperti menemukan aktualisasinya. Terangkum dalam kalimat, “Ketika pendidikan kita hampa ruhani, seperti apa profil lulusannya?”

Mari sejenak kita me-nol-kan pikiran dan ego kita untuk merenung secara mendalam. Lalu, secara jujur kita mengevaluasi rekam jejak pendidikan kita dan juga paradigma pendidikan yang kita bangun.

Ketika kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah kita hanya sebatas bungkus dan hampa substansi…

Ketika pelajaran Agama Islam, seperti Fiqh dan Akidah Akhlak, hanya sebatas teori dan kering nilai hakiki…

Ketika iman dipelajari sebatas ilmu, bukan tentang beriman itu sendiri…

Ketika pelajaran ilmu alam dan ilmu sosial tersaji dengan paradigma sekuler…

Dan, ketika para penyampai ilmu masih bermasalah dengan ruhaninya…

Mungkinkah pendidikan kita akan menghasilkan para pemuda layaknya para pemuda Ashabul Kahfi yang kokoh berdiri di depan Raja Dikyanus yang kejam nan sombong dan tegas mengatakan, “Tuhan kami adalah Tuhan semesta langit dan bumi; kami tidak menyeru Tuhan selain Dia…” (QS. 18: 14).

Mungkinkah pendidikan kita akan melahirkan pemuda yang teguh imannya layaknya Bilal bin Rabah? Singkat sekali Bilal belajar kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, terhunjam kokoh imannya dalam hati. Teguhlah Bilal sebagai muwahid, orang yang mengesakan Allah. Hingga siksa seberat apapun, ucapnya hanyalah ahad, ahad, ahad. 

Atau layaknya Habib bin Suri An-Najar, si tukang kayu. Teramat sebentar dia belajar kepada para Rasul utusan Ilahi, namun teramat cepat ia mengimani. Ia serukan tauhid dan kebenaran kepada para pembesar Romawi dan warga Antokia. Ia bela para Rasul Allah yang didustakan,  bahkan diancam akan disiksa dan dibunuh. Meski pada akhirnya, Habib-lah yang kemudian dibunuh dengan sadis oleh pembesar Romawi (QS. 36: 20 – 27).

Mungkinkah akan melahirkan pemuda layaknya Mush’ab bin Umair? Seorang pemuda ketika dihadapkan pada pilihan; kememawahan dunia atau iman? Pemuda ini mantab memilih iman. Setia dia mendampingi dakwah Rasulullah meski berpayah-payah, terjal, dan berliku jalan dakwah. Hingga Rasulullah menunjuknya sebagai diplomat Islam dengan misi besar membuka Yatsrib dan meng-islam-kan warganya. 

Mungkinkah akan melahirkan pemimpin sekualitas Shalahuddin Al-Ayubi? Seorang pemimpin yang kegelisahannya adalah membela muslimin dan membebaskan Al-Quds? Generasi Shalahuddin adalah hasil karya tarbiyah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dan Imam Al-Ghazali yang tekun mendidik umat sebakda penghancuran Khilafah Abbasyiah di Bagdad oleh pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan. Belasan tahun Al-Jailani dan Al-Ghazali mendidik dan mengkader umat, yang kemudian diteruskan oleh para muridnya hingga tidak kurang selama 50 tahun mentarbiyah umat. Sampai akhirnya lahirlah generasi Shalahuddin Al-Ayubi.

Mungkinkah akan melahirkan seorang cendekiawan layaknya Imam Ahmad bin Hanbal? Seorang ulama yang saat dipaksa oleh Khalifah Al-Makmun untuk membuat fatwa yang bertentangan dengan pokok ajaran Islam yang diyakininya, beliau memilih siksa dan penjara. Siksa dan penjara baginya tiada arti dibanding memberi fatwa yang menyimpang. 

Mungkinkah akan melahirkan seorang pengusaha seperti Abdurrahman bin Auf? Seorang pengusaha yang tak diragukan kejujuran dan integritasnya. Seorang pengusaha yang dirundung gelisah karena memikirkan hisabnya di akhirat. Padahal, tak kurang-kurang dan tak terbilang infak fi sabilillah yang ia tunaikan. Padahal, ia termasuk al-‘asyarah al-mubasyaruna bil jannah.

Ini semua tentang pendidikan yang menyentuh pada level substansi, bukan bungkus. Pendidikan pada level aplikasi, bukan teori. Pendidikan tentang beriman, bukan sebatas ilmu tentang iman. Ini juga tentang pendidikan yang disampaikan oleh para pendidik sejati yang bersih hati. Hingga terjadi transfer ruhani, bukan sebatas transfer materi.

Inilah barangkali yang kurang dari pendidikan kita hari ini. Dan, masih saja kita bingung mencari-cari teori ke sana ke mari untuk menjelaskan mengapa pendidikan kita masih saja  bermasalah? Kita sibuk mencari-cari formula ke Barat dan ke Timur untuk memperbaikinya. Bukankah khazanah sejarah peradaban dan pendidikan Islam telah menjelaskannya dengan terang benderang? Atau barangkali hati dan akal kita yang masih bebal untuk memahaminya?

“…Maka, kisahkanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (QS. 7: 176)

“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi para pemilik albab (hati terdalam).” (QS. 12: 111).

*Direktur Dompet Dhuafa Pendidikan, Founder Sahabat Remaja, Inisiator Ekselensia Tahfizh School

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement