Kamis 19 Apr 2018 05:05 WIB

Utang KMB, Nasib Assaat dan Chaerul Saleh: Tragedi Republik

Chaerul dan Aidit berkelahi secara fisik di sidang kabinet soal PKI melakukan kudeta.

DR Chaerul Saleh (kanan).
Foto: flickr.com
DR Chaerul Saleh (kanan).

Oleh: Lukman Hakiem*

Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 tidak serta merta melahirkan “Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur” seperti tertulis pada bagian akhir alinea kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Diperlukan waktu lima tahun sebelum akhirnya Negara Indonesia mewujud seperti yang dicita-citakan oleh para pejuang dan pendiri negara.

Pada masa lima tahun itu, revolusi kemerdekaan melahirkan sejumlah tokoh dan dinamika. Bahkan jauh sebelum kemerdekaan diproklamasikan, dinamika itu sudah terjadi. Ada tokoh atau kelompok yang dalam keyakinan perjuangannya tidak menutup diri untuk  --dalam batas-batas tertentu-- bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda. Ada juga tokoh atau kelompok yang dalam keyakinan perjuangannya, menutup diri dari segala macam bentuk kerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda. Kedua kelompok itu, lazim disebut sebagai kelompok cooperative (co) dan non cooperative (non-co) Bahkan ada yang pada saat tertentu bersikap non-co, pada saat lain bersikap co.

Mr Assaat Datuk Muda (18 September 1904-16 Juni 1976) sejak masih sebagai pelajar Algemene Midelbare School (AMS), dan mahasiswa Recht Hoge School (RHS) sudah menunjukkan sikap politik non-co. Ia aktif dalam Jong Sumateranen Bond, Perhimpunan Pemuda Indonesia, Indonesia Muda, dan Partai Indonesia (Partindo). Lantaran sikapnya itu, Assaat dihambat kuliahnya, dan terpaksa hijrah ke Belanda untuk meraih Meester in de Rechten.

Meskipun belajar di Belanda, dan meraih gelar Meester in de Rechten dari sekolah Belanda, Assaat tetap tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Sekembalinya di tanah air, Assaat memilih profesi sebagai advokat.  Assaat baru bersedia bekerja di pemerintahan sesudah Belanda menyerah kepada tentara Jepang, Di zaman Jepang, Assaat  menjadi Camat Gambir, dan Wedana Mangga Besar. 

Ketika Indonesia merdeka, Assaat tidak ragu sedikit pun untuk menceburkan diri dalam arus revolusi kemerdekaan. Pada 1946-1949 Assaat menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) merangkap sebagai Ketua Badan Pekerja KNIP yang memiliki fungsi legislatif. Di bawah kepemimpinan Assat, KNIP antara lain meratifikasi Perjanjian Linggajati, sebagai buah pertama dari politik perundingan yang dijalankan oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

Politik perundingan Sjahrir mendapat oposisi yang cukup keras. Partai Masyumi dan Partai Nasional Indonesia (PNI) menolak perjanjian tersebut. Masyumi bersama Tan Malaka dan berbagai kekuatan politik lain, membentuk Persatuan Perjuangan yang menghendaki agar perundingan dengan Belanda dilaksanakan atas dasar pengakuan kemerdekaan Indonesia 100%. Bukan berunding untuk memperoleh pengakuan. Persatuan Perjuangan menolak Perjanjian Linggajati. Masyumi meminta para menteri warga Masyumi di Kabinet Sjahrir “supaya berikhlas hati menyesuaikan dirinya dengan keputusan penolakan partai terhadap Naskah Persetujuan Indonesia-Belanda.”

Permintaan itu dijawab oleh para menteri warga Masyumi di kabinet dengan menyatakan bahwa “Kabinet sekarang ini adalah Kabinet Nasional, bukan Kabinet Koalisi. Maka menurut  tata tertib parlementer dan adat politik, tidak seharusnya suatu partai menentukan suatu sikap politik terhadap anggautanya yang menjadi menteri dealam kabinet yang demikian sifatnya.”

Para menteri warga Masyumi itu ialah  H Agus Salim (Menteri Muda Luar negeri), K. Fatchurrahman (Menteri Agama), Mr Mohamad Roem (Menteri Dalam Negeri), Harsono Tjokroaminoto (Menteri Muda Pertahanan), KH A Wahid Hasjim (Menteri Negara), Mr Sjafruddin Prawiranegara (Menteri Keuangan), Mr Jusuf Wibisono (Menteri Muda Kemakmuran), dan Mohammad Natsir (Menteri Penerangan).

Di tengah kerasnya oposisi terhadap Perjanjian Linggajati, KNIP harus meratifikasi perjanjian internasional itu. Untuk sebagian, karena kepemimpinan Assaat di KNIP, Perjanjian Linggajati disetujui oleh KNIP. Sebagian yang lain, tentu karena wibawa Dwitunggal Sukarno-Hatta. Untuk meyakinkan KNIP supaya menerima Perjanjian Linggajati, dan Peraturan Presiden No. 6 tentang penambahan anggota KNIP dengan anggota dari Sumatera, Wakil Presiden Mohammad Hatta turun langsung  ke sidang paripurna KNIP di Malang pada 27 Februari 1947.

Mengenai Perjanjian Linggajati dan politik perundingan yang dijalankan Sjahrir, Mohammad Natsir memberi kesaksian: “Waktu persetujuan Linggajati, partai Masyumi tidak setuju dengan persetujuan tersebut, tetapi juga tidak menghalangi unsur  Masyumi duduk dalam delegasi perundingan. Partai Masyumi jalan terus, meneruskan oposisi. Partai Masyumi tidak percaya bahwa Belanda akan mentaati persetujuan itu. Analisis Partai Masyumi ternyata betul. Tetapi  persetujuan Linggajati itu adalah suatu persetujuan internasional. Pelanggaran Linggajati oleh Belanda, itu meningkatkan issue Indonesia di dunia internasional. Dan itu menjadi pembuka pintu bagi Indonesia untuk masuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Itulah fungsi persetujuan Linggajati. Jadi bukan untuk memecahkan persoalan secara langsung, tetapi sebagai pembuka jalan untuk mencapai penyelesaian yang lebih terjamin.”

Dan ketika politik perundingan melahirkan Republik Indonesia Serikat sebagai buah dari Konferensi Meja Bundar (KMB), maka Republik Indonesia yang diproklamasikan di Jakarta pada 17 Agustus 1945, berubah statusnya menjadi salah satu negara bagian dari RIS. Oleh karena Sukarno dipilih menjadi Presiden RIS, maka oleh Sukarno jabatan Presiden RI diserahkan kepada Mr. Assaat sebagai Acting Presiden RI.

Pada masa inilah Assaat menandatangani statuta Universitas Gadjah Mada (UGM). Sesudah terbentuk RIS, terutama menjelang pulihnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, muncul pendapat yang ingin memindahkan UGM ke ibukota, Jakarta. Alasannya, dengan berpindahnya ibukota negara ke Jakarta, maka Yogyakarta sebagai tempat kedudukan UGM akan menjadi kota kecil sehingga dikuatirkan perkembangan UGM pun menjadi tidak seperti yang diharapkan.

Dalam simpang siur pendapat saat itu, Assaat selaku Acting Presiden RI, teguh pada pendapat agar UGM tetap di Yogyakarta. Untuk memperkuat pendapatnya itu, Acting Presiden Assaat membawa pendiriannya itu ke dalam sidang Kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri dr. A. Halim. Kabinet Halim memutuskan, UGM tetap di Yogyakarta. Sehari menjelang deklarasi terbentuknya Negara Kesatuan RI, keluarlah Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1950 tertanggal 14 Agustus 1950 yang mengatur keberadaan Universitas Gadjah Mada.

Untuk Yogyakarta, itulah warisan Assaat yang tidak ternilai harganya. Tanpa campur tangan Assaat, sangat boleh jadi Yogyakarta tidak lagi memiliki Universitas Gadjah Mada.

Bambang Purwanto dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar sejarah di UGM, seperti dikutip sejarawan Asvi Warman Adam, mengatakan: “Menghilangkan Assaat dari realitas Kepresidenan Republik Indonesia sama saja dengan tidak mengakui Universitas Gadjah Mada sebagai universitas negeri pertama yang didirikan oleh Republik Indonesia.”

  

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement