Selasa 05 Jun 2018 04:00 WIB

Puasa Ramadhan-13

Dalam Islam, manusia itu telah diberikan tanggung jawab untuk melakukan tugasnya.

Ustadz Imam Shamsi Ali memberikan paparannya saat kunjungan di Kantor Republika, Jalan Warung Buncit, Jakarta, Jumat (23/3).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Ustadz Imam Shamsi Ali memberikan paparannya saat kunjungan di Kantor Republika, Jalan Warung Buncit, Jakarta, Jumat (23/3).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation

 

Salah satu bentuk misrepresentasi ajaran Islam di dunia Barat khususnya adalah bahwa Islam itu mengajarkan kekerasan, minimal ajarannya penuh dengan kebencian dan kekakuan. Konsep ketuhanan kerap kali ditampilkan sebagai Tuhan yang kasar, bengis, tiada belas kasih. 

Kebodohan atau terkadang juga kebohongan ini sengaja dipromosikan untuk menumbuhkan rasa takut, bahkan kebencian kepada Islam. Apalagi kerap kali memang prilaku segelintir orang-orang yang mengaku Muslim dianggap sebagai justiifkasi (pembenaran) untuknya.

Padahal, jika dikaji semua aspek ajaran agama ini, baik dari akidahnya, dan seluruh amalan ritual dan muamalahnya mengajarkan kasih sayang itu. Sholat misalnya memang dimulai dengan takbir, mengakui kebesaran Ilahi. Tapi, shalat juga diakhiri dengan salam. Sebuah komitmen kedamaian yang sejati.

Tuhan yang Maha Kasih dalam akidah Islam, salah satunya terefleksi dalam bentuk pengumpunanNya. Bahwa Allah SWT yang Maha menguasai langit dan bumi itu membuka pintu-pintu “pengampunan” dan “taubat” bagi semua hambaNya yang ingin mendapatkannya dalam hidup.

Saya katakan bagi yang ingin. Karena dalam Islam manusia itu telah di berikan tanggung jawab untuk melakukan tugasnya. Artinya ajaran Islam tidak mengajarkan paham apatisme, tidak peduli dan mengharap semuanya ditentukan oleh pihak lain. Jika ingin diampuni maka berusahalah untuk diampuni. 

Alquran misalnya menegaskan: “dan bergegaslah kalian kepada ampuna Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, disiapkan bagi orang-orang yang bertanya”. (Alquran). 

Kata bergegas mengindikasikan keseriusan dan kesungguhan, serta mujahadah dalam meraih magfirah Allah SWT. Maknanya jika ingin diampuni kejarlah ampunan itu. 

Dalam ampunan Allah inilah tampak secara gamblang kasih dan Rahmah Allah SWT. Allah tidak pernah menutup kemingkinan ampunan itu selama hambaNya masih hidup, dan memang ingin diampuni. 

Kecintaan Allah yang tiada batas itu menjadikaNya mendeklarasikan dengan tegas: “Katakan Wahai hamba-hambaKu (ibaadiya) jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa-dosa. Sesuatu sesunguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang”. 

Ayat ini menyampaikan beberapa penekanan sebagai berikut:

1) bahwa kasih sayang Allah kepada hamba-hambaNya begitu sangat dalam, bahkan tiada batas. Di ayat ini Allah memanggil hamba-hambaNya para pendosa. Mereka yang telah melampaui batas (batas halal dan haram atau batas kebenaran dan kebatilan). Luar biasanya Allah masih memanggil mereka dengan panggilan yang termulia. Itulah panggilan “ibaad” (hamba-hamba). Menurut para ulama, panggilan ini adalah panggilan yang menunjukkan penghormatan yang tinggi. Sebagai mana Allah menyebut RasulNya, Muhammad SAW, ketika mengangkatnya ke sidratul muntaha dalam peristiwa isra’ dan mi’raj.

2. Mereka yang melakukan dosa disebut “melampui batas” atau melebihkan atas diri-diri mereka. Hal ini menunjukkan bahwa agama jika dijalankan sebagaimana mestinya maka itu sangat sejalan dengan kebutuhan bahkan tabiat manusia. Keluar dari batas-batas agama adalah keluar dari batas-batas kehidupan itu sendiri. 

3. Ungkapan “jangan Berputus asa dari kasih sayang Allah” menunjukkan bahwa diampuninya kita bukan karena usaha, bukan sekedar ibadah yang kita lakukan. Tapi semuanya karena semata “rahmat Allah”. Bukankah pada akhirnya memang tak seorangpun yang akan masuk syurga tanpa rahmat Allah? 

4. “Sungguh Allah mengampuni semua dosa” menekankan bahwa tiada dosa yang tak terampunkan dengan Rahmat Allah SWT. Dalam hadits disebutkan bahwa jika hambaKu melakukan dosa seluas langit dan bumi niscaya akan kuampuni. 

Intinya adalah bahwa ampunan Allah itu adalah bentuk kasihNya yang terbesar. Hanya dengan diampuni seorang hamba akan masuk syurga. Dan hanya dengan tahmatNya seorang hamba akan diampuni. 

Cerita seorang pembunuhan 99 orang adalah contoh lain dari kasih sayang Allah SWT. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari bahwa seorang pemuda telah membunuh 99 orang. Lalu mendatangi seorang ahli ibadah dan bertanya kira-kira Allah masih akan mengampuninya? 

Sang ahli ibadah itu menjawab bahwa dia tidak akan diampuni lagi dengan dosa sebesar itu. Jangankan membunuh 99 orang. Membunuh seorang saja dosanya bagaikan membunuh seluruh umat manusia. 

Mungkin karena prustrasi dan marah, sang pemuda itu juga membunuhnya. Kini Iya telah membunuh 100 orang. Tapi, kenginan untuk diampuni masih ada dalam hatinya. Dia pun berjalan hingga ketemu dengan ahli ilmu dan bertanya apakah Allah masih mengampuninya? 

Mendengar itu sang ahli ilmu teringat dengan ayat tadi, “Wahai hamba-hambaKu jangan berputus asa dari Rahmat Allah...sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa”. Melihat keseriusan dan kemanisan hati sang pemuda, ahli ilmu itu menjawab: “Iya Allah masih akan mengampuninya”. 

Cerita saya singkat. Sang pemuda diarahkan untuk berangkat ke sebuah kampung dan bergabung dengan penghuni kampung itu beribadah kepada Allah SWT. Di tengah jalan dia meninggalkan dunia. Malaikat syurga dan neraka pun berebut untuk menjemputnya. 

Namun Allah dengan RahmatNya dan kasihNya mengampuni dosa-dosanya. Walau telah membunuh 100 orang dengan Rahmat dan ampunannya sang pemuda itu akhirnya diputuskan menjadi penghuni syurga.

Kalau semua dosa diampuni, lalu bagaimana dengan dosa yang dinyatakan oleh Alquran tidak terampuni? Yaitu dosa syirik atau dosa yang dilakukan dalam menyembah selain Allah SWT. “Sungguh Allah tidak mengampuni dosa dengan mempersekutukan sesuatu dalam menyembah. Dan mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki”. 

Dosa syirik yang tidak terampuni adalah ketika dosa itu terbawa mati, dan tidak sempat melakukan taubat sebelum kematiannya. Berbeda dengan dosa selain syirik. Kalau pun meninggal dalam keadaan berdosa, tapi dalam hatinya ada iman atau tauhid maka doaa itu pada akhirnya akan terhapuskan.

Saya akhiri dengan kisah ibu seorang imam di Amerika dan kisah ibu seorang da’i juga di Amerika. Mereka berdua memiliki orang tua yang tidak saja musyrik. Tapi juga sangat antiIslam dan membenci anak-anak mereka yang memeluk Islam. 

Imam Ayub Abdul Baqi adalah seorang Imam keturunan Afro American di Queens, New York. Beliau salah seorang yang sangat aktif memperjuangkan hak-hak sipiil umat Islam di kota ini.

Kisahnya bermula ketika beliau masuk Islam. Beliau ketika itu masih muda. Karena marah kepada anaknya, Ibu Imam Ayub mengusirnya dari rumahnya. Dan tidak pernah lagi menerimanya kembali ke rumah itu.

Hingga Imam Ayub menikah, lalu dikaruniai beberapa anak. Beliau kemudian sengaja mengirimkan anaknya untuk menengok neneknya. Sang nenek benar jatuh hati. Cinta cucu-cucunya. Tapi tetap membenci anaknya, Imam Ayub. 

Singkat cerita sang Ibu sakit keras dan masuk rumah sakit. Berhari-hari Imam Ayub menunggui ibunya di rumah sakit. Hingga di waktu-waktu menjelang sakratul maut, Imam Ayub memeluk ibunya, menangis dan menyampaikan: “Ibuku, say cinta Engkau. Saya tidak bisa membayar jasamu kepadaku. Hanya satu hadiah yang ingin saya berikan kepadamu, Ibuku”. 

Sambil memeluk Ibunya, Imam Ayub dengan suara pelan membisikkan: Asy-hadu anlaa ilaaha illallah wa asy-hadu anna Muhammadan Rasulullah”. 

Dan ibunya di detik-detik terakhir hidupnya itu menerima Kalimah Tauhid. Menerima kunci syurga itu. Alhamdulillah. 

Kisah kedua adalah kisah Ibu Syeikh Muhammad Yasin. Seorang da’i yang sangat gigih, santun dan sopan. Beliau muallaf berkulit putih, Alhamdulillah pernah mengenyam pendidikan Islam di Madinah. 

Hanya beberapa tahun lalu Ibu beliau meninggal dunia. Tapi yang paling membahagiakan adalah setelah bertahun-tahun sakit, bahkan Syeikh Yasin ketika itu menunda menikah demi merawat ibunya. 

Hingga pada saat-saat krusial itu, ibunya diakhir hayatnya, Syeikh Yasin mendekat ke telinga Ibunya dan mengajaknya menerima: “Laa ilaaha illallah - Muhammad Rasulullah”. Dan beliaupun menerimanya hanya sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. 

Kedua cerita benaran dari New York di atas menyampaikan pesan bahwa seorang manusia selalu ada harapan. Karen memang Rahmat Allah itu lebih luas dari segala dosa dan kesalahan manusia. 

Semangat ini jugalah yang kita bangun di bulan Ramadan ini. Karena sungguh di bulan ini secara khusus Allah bukakan pintu-pintu magfira-Nya seluas-luasnya. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa kita semua. Amin! 

 

Jamaica Hills, 31 Mei 2018

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement