Kamis 05 Jul 2018 18:58 WIB

Bisakah Mencambuk Koruptor di Aceh?

Aceh saat ini memang tak ada qanun yang mengatur hukuman untuk tindak pidana korupsi.

Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf memakai rompi orange usai dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka oleh KPK, Jakarta, Kamis (5/7) dinihari. Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Gubernur Aceh atas kasus dugaan suap terkait pembahasan anggaran dana otonomi khusus dalam penganggaran antara provinsi dan kabupaten tahun anggaran 2018.
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf memakai rompi orange usai dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka oleh KPK, Jakarta, Kamis (5/7) dinihari. Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Gubernur Aceh atas kasus dugaan suap terkait pembahasan anggaran dana otonomi khusus dalam penganggaran antara provinsi dan kabupaten tahun anggaran 2018.

Oleh: Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika

Menyusul penangkapan terhadap Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Bupati Bener Meriah Ahmadi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejumlah seruan soal penerapan hukuman syariat terhadap mereka jika nantinya terbukti melakukan korupsi mengemuka. Hal itu terkait dengan berlakunya sejumlah hukuman terhadap pelanggaran-pelanggaran jinayah di Aceh. Bisakah hal itu dilakukan?

Penerapan syariat Islam sejatinya sudah diundang-undangkan di Aceh sejak 1940-an. Kendati demikian, seiring represi pusat terhadap daerah tersebut, ia baru dibangkitkan melalui UU Nomor 44 Tahun 1999 yang terbit pada masa reformasi.  

Menurut mantan kepala Dinas Syariah Provinsi Aceh Alyasa Abubakar, peraturan tersebut kembali ditegaskan dengan UU Nomor 18 tahun 2001 yang mengatur pembentukan peradilan syariat di Aceh sebagai buntut perluasan otonomi khusus. Melalui undang-undang tersebut, Aceh diperbolehkan membentuk qanun berisi hukum positif untuk mengadili pelanggaran-pelanggaran jinayah.

Di antara pelanggaran-pelanggaran yang diatur adalah soal khamr (minuman keras), maysir (perjudian), dan khalwat (perbuatan mesum). Pelanggaran-pelanggaran itu nantinya di sidangkan di Mahkamah Syariah yang berdiri di dalam Pengadilan Agama di Aceh. Hukuman dari pelanggaran-pelanggaran tersebut adalah hukuman cambuk atau jilid dengan jumlah yang beragam.

Guna menegakkan qanun-qanun tersebut, dibentuk juga Wilayatul Hisbah. Secara umum, lembaga tersebut berarti polisi syariah. Ia bertugas melakukan razia-razia guna menertibkan tindakan-tindakan yang melanggar atau berpotensi melanggar qanun.

Kendati demikian, Wilayatul Hisbah tak punya kuasa untuk menjatuhkan hukuman jenis apa pun. Tugasnya hanya menasehati pelaku yang berpotensi melakukan pelanggaran. Jika Wilayatul Hisbah menemukan pelanggaran, para pelaku tetap mesti diserahkan ke polisi. Polisi kemudian memproses kasus dan menyerahkan berkas pada jaksa untuk kemudian diajukan ke Mahkamah Syariah.

Pada 14 September 2009, DPRA mengesahkan Qanun Jinayah Terpadu. Qanun itu mengatur soal judi, zina, minuman beralkohol, homoseksual, lesbian, pemerkosaan, dan pedofilia. Para pelanggar pidana diancam dengan hukuman cambuk. Pelaku zina yang telah menikah akan dirajam dengan cara dilempar batu hingga meninggal.

Kendati demikian, qanun tersebut belum juga disetujui Pemprov Aceh. Baru pada 2015, Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh menyatakan qanun jinayat efektif berlaku di provinsi ujung barat Indonesia tersebut. Hukum pidana Islam yang dituangkan dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat itu berisi 10 Bab dan 75 pasal.

Chairul Fahmi, pengajar lain di UIN Ar-Raniry yang sejak 2009 meneliti penerapan syariat jinayah di Aceh mengatakan, dalam regulasinya qanun soal jinayah di Aceh juga belum sempurna. Ia menilai, qanun hanya mengambil sepotong-sepotong hukum Islam, bukan payung hukum yang menyeluruh. Dengan itu, perdebatan apakah korupsi masuk tindakan pencurian atau rasywah semata tak relevan di Aceh karena toh tak bisa diundangkan seturut syariat Islam.

Chairul mencontohkan, dalam qanun yang diatur hanya jinayah dengan hukuman ta'zir, seperti perjudian, konsumsi minuman keras, dan perbuatan mesum. Berbeda dengan hudud (pembunuhan, pencurian, perzinahan) yang jenis hukumnya merujuk pada Alquran, hukum jinayah ta'zir bergantung putusan hakim.

Untuk pidana-pidana jenis hudud, Aceh masih tunduk pada KUHP dan regulasi lainnya seperti UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang sama dengan yang berlaku di seluruh Indonesia.  Selain itu, non-Muslim di Aceh juga bisa memilih tak ditindak dengan Qanun Jinayat jika hendak dihukum dengan KUHP saja.

Sejak 2007, sejumlah LSM di Aceh sempat mewacanakan dibentuknya qanun tersendiri untuk tindak pidana korupsi. Kendati demikian, sehubungan telah ada UU Tipikor, qanun itu hanya bisa mengatur upaya-upaya pencegahan dan tak bisa mengatur penindakan. Mantan Gubernur Aceh Zaini Abdullah juga pernah mewacanakan dirancangnya qanun antikorupsi lengkap dengan hukumannya. Lagi-lagi, upaya itu terhalang keberadaan UU Tipikor.

Artinya, di Aceh saat ini memang tak ada qanun berdasarkan syariat Islam yang mengatur hukuman untuk tindak pidana korupsi. Dengan begitu, kedua kepala daerah yang tertangkap hanya bisa diproses hukum seturut undang-undang nasional dan semisal nantinya terbukti bersalah juga hanya bisa dihukum dengan hukum pidana yang berlaku secara nasional.n

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement