REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr Haryono Suyono, Ketua Tim Pakar Kementrian Desa PDTT
Hari Sabtu lalu, selama hampir dua jam, ratusan mahasiswa berbagai program studi Universitas Trilogi, dalam kolaborasi yang kompak membawakan gelar karya seni, musik, dan tari bernuansa nasional. Gelar karya seni ini sebagai simbol kekompakan persatuan dan kesatuan untuk mengatasi sifat angkuh, tidak peduli, kemiskinan dan kebodohan melalui gebyar seni penuh pesona.
Selama pentas dua jam itu, tidak ada satu penonton pergi meninggalkan auditorium yang berjejal. Bahkan, banyak para dosen yang mengalah berdiri dengan bangga di pinggir auditorium mempersilakan tamu orang tua dan sahabat yang terkejut melihat anak, saudara, atau sahabatnya yang kuliah pada Universitas Trilogi mendapat tambahan ilmu sebagai artis seniman dan budayawan yang mengenal seni, musik, dan tari yang diramu dalam kolosal profesional.
Acara yang dibuka dengan memainkan angklung, melalui kuliah singkat sesepuh ahli yang dengan memberi pelajaran, menyatukan irama setiap “batang” angklung yang berbeda nada itu untuk membentuk irama lagu indah yang menyegarkan hati. Andaikan acara itu tidak ditunggu ratusan mahasiswa yang siap manggung menunjukkan keahlian berpadu sebagai hasil berlatih bersama, bisa jadi penonton berubah menjadi pemain angklung dunia yang luar biasa.
Utari Permadi dosen dan penggagas yang berdiri di belakang Acara Seni Kolosal Nusantara senyum-senyum setengah khawatir mahasiswanya tidak perform dengan baik. Padahal, di dampingnya Rektor Aam Bastaman dan Pembina Haryono Suyono serta para dosen senior, tampak lebih tenang karena yakin Trilogi dengan moto “kolaborasi dan kemandirian” akan membawakan “tennologi seni dan budaya” sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perjuangan membangun bangsa yang mandiri dan sejahtera.
Benar sekali, tiga mahasiswa dengan meyakinkan membawakan pembukaan acara diikuti puluhan mahasiswa dengan berbagai kostum sederhana tetapi mencerminkan rakyat yang konon masih dilanda kebodohan dan kemiskinan. Sehingga, teriakan adanya kemiskinan dari adegan ke adegan diselesaikan dengan kekompakan gerak tari kolaboratip massal dari berbagai elemen dan sumber tari yang berasal dari berbagai suku atau masyarakat luas. Yang tentunya, digambarkan dalam harmoni yang indah diiringi latar belakang musik syahdu dan enak di dengar biarpun oleh penonton yang sudah berumur karena tertata rapi dalam irama damai, indah, dan harmonis.
Perpaduan kolaboratif yang digambarkan dengan berbagai macam tari yang dipadukan dari elemen tari Nusantara dan diiringi musik yang tidak dominan, muncul dengan mengejutkan. Hal itu pun disusul lambaian sang saka merah putih yang berkeliling di panggung dan di pelataran di mana penonton duduk nikmat.
Semuanya itu, seakan berkata bahwa yang harus bergerak, yang harus berjuang, bukan saja pemain yang digambarkan sebagai pejuang, tetapi semua warga negara. Tidak boleh hanya duduk nyaman sebagai penonton, seluruh anak bangsa harus bergerak bersama dalam persatuan yang kokoh bekerja keras membangun bangsa di awah kibaran merah putih yang tidak mau berhenti sebelum rakyat bisa hidup bahagia dan sejahtera.
Setelah sajian yang memukau itu, muncul para “pekerja seni” di belakang panggung. Bukan satu dua orang, setiap komponen pekerja yang terdiri dari puluhan, ada yang bertanggung jawab kelancaran panggung, hantaran musik, koreografi, atau pengatur berbagai komponen penting lainnya.
Karena setiap komponen terdiri dari puluhan “pekerja seni”, bisa dibayangkan bagaimana penulis cerita dan sutradara harus bekerja mengatur pelatihan dan kekompakan “pasukan seni” yang muncul dengan hasil kolaborasi seni tari nusantara yang gegap gempita itu. Selamat Bu Tari, selamat Pak Rektor, dan selamat seniman Trilogi yang pasti menjadi sarjana yang mampu menggelar pembangunan secara kolaboratif merangsang kemandirian memanfaatkan tehnologi untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat banyak. Insya Allah.