REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Sunarsip
Pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pertumbuhan ekonomi triwulan II 2018. Dalam rilisnya, BPS menyebutkan, perekonomian kita pada triwulan II 2018 tumbuh 5,27 persen.
Angka pertumbuhan ekonomi ini merupakan capaian tertinggi sejak 2014. Sayangnya, kabar baik tersebut tidak mampu memengaruhi persepsi pelaku pasar uang terhadap nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah masih belum beranjak dari level Rp 14.400-an per dolar AS.
Dinamika eksternal, terutama yang terjadi di Amerika Serikat, Cina, dan negara berkembang lainnya, seperti Turki, lebih berpengaruh dalam membentuk persepsi pelaku pasar uang terhadap nilai tukar rupiah. Terlebih, secara fundamental, Indonesia memiliki masalah dengan neraca transaksi berjalan (current account) yang masih defisit.
Namun, angka pertumbuhan ekonomi 5,27 persen tersebut setidaknya menjadi bukti bahwa di tengah perlambatan ekonomi dan gejolak di pasar keuangan global, perekonomian Indonesia masih tumbuh positif. Hanya saja, juga perlu dicermati apakah peningkatan laju pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan tren yang akan konsisten terus naik atau hanya bersifat musiman (seasonal).
Kalau melihat komponen pembentuknya, terlihat terjadi perubahan faktor-faktor yang dominan dalam membentuk pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2018. Pada periode ini, konsumsi rumah tangga tumbuh 5,14 persen (year on year/yoy). Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga ini tertinggi sejak triwulan IV 2016 yang biasanya tumbuh di bawah 5 persen (yoy).
Peningkatan laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga tersebut dikonfirmasikan pula dengan indeks penjualan retail yang berdasarkan survei Bank Indonesia juga mengalami kenaikan. Hanya saja, kalau kita cermati, kenaikan penjualan retail ini juga dipengaruhi oleh faktor musiman, seperti kenaikan penghasilan berupa THR dalam rangka Idul Fitri.
Karena kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto (PDB) paling tinggi (sekitar 56 persen), kenaikan pertumbuhan konsumsi rumah tangga memberikan pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan PDB.
Sementara itu, sisi pengeluaran untuk investasi memperlihatkan kinerja sebaliknya daripada pengeluaran konsumsi rumah tangga. Pada triwulan II 2018, pertumbuhan investasi melemah dan hanya tumbuh 5,87 persen (yoy) atau terendah dibandingkan dengan tiga triwulan sebelumnya yang tumbuh di atas 7 persen.
Diperkirakan, pelemahan pertumbuhan investasi ini, antara lain, dipengaruhi oleh faktor perlambatan kegiatan investasi pemerintah (belanja modal) serta melambatnya pertumbuhan investasi korporasi. Berdasarkan data, belanja modal pemerintah hingga Juni 2018 tumbuh negatif 14,19 persen daripada periode yang sama tahun lalu.
Adapun perlambatan pertumbuhan investasi swasta, antara lain, tecermin dari beberapa indikator, seperti penjualan alat berat yang pertumbuhannya mulai menurun.
Kinerja ekspor dan impor tetap melanjutkan pertumbuhan yang tinggi. Pada triwulan II 2018, ekspor tumbuh 7,70 persen (yoy) lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan I 2018 sebesar 6,09 persen. Perbaikan pertumbuhan ekspor terutama ditopang oleh kenaikan harga komoditas.
Sayangnya, pertumbuhan ekspor ini masih kalah cepat daripada pertumbuhan impornya. Pada triwulan II 2018, impor tumbuh 15,17 persen (yoy) lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan I 2018 sebesar 12,66 persen. Pertumbuhan impor yang lebih cepat inilah yang menjadi salah satu sumber pelemahan kinerja neraca transaksi berjalan dari sisi neraca perdagangan. Hingga semester I 2018, neraca perdagangan kita masih defisit 1,02 miliar dolar AS.
Yang menarik adalah kinerja pengeluaran konsumsi pemerintah. Pada triwulan II 2018, pengeluaran konsumsi pemerintah tumbuh 5,26 persen (yoy). Angka pertumbuhan pengeluaran konsumsi pemerintah ini tertinggi sejak triwulan II 2016 (dua tahun terakhir).
Peningkatan pertumbuhan pengeluaran konsumsi pemerintah terkonfirmasikan oleh data belanja pegawai dan belanja barang pemerintah yang tumbuh cukup tinggi selama semester I 2018. Belanja barang (pemerintah pusat) tumbuh 9,54 persen dan belanja pegawai (pemerintah pusat) tumbuh 10,92 persen. Yang menarik, dari data realisasi belanja pemerintah pusat adalah kenaikan belanja sosial (bansos) yang naik signifikan, yaitu tumbuh 74,97 persen.
Saya kira, apabila data mengenai pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga, pertumbuhan pengeluaran konsumsi pemerintah, pertumbuhan pengeluaran investasi, serta data realisasi APBN hingga Juni 2018 kita kombinasikan, sepertinya kita akan memperoleh satu benang merah (meskipun ini bukan sebuah konklusi) bahwa saat ini mulai terlihat adanya tanda-tanda perubahan “arah angin” dari kebijakan ekonomi pemerintah.
Dan, saya kira, ini tidak terlepas dari momentum tahun politik pada 2019. Seperti apa “arah perubahan angin” kebijakan pemerintah tersebut?