Selasa 09 Oct 2018 08:07 WIB

Tilang Elektronik

Jika melihat skema e-tilang yang diujicobakan, perlu dilakukan penyempurnaan

Sejumlah kendaraan motor melewati garis batas berhenti/marka lalu lintas di Kawasan Thamrin, Jakarta, Rabu (19/9). Polda Metro Jaya bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan tilang elektronik atau
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Sejumlah kendaraan motor melewati garis batas berhenti/marka lalu lintas di Kawasan Thamrin, Jakarta, Rabu (19/9). Polda Metro Jaya bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan tilang elektronik atau "electronic traffic law enfroncement (ETLE) yang akan diuji coba pada bulan Oktober 2018 mendatang sepanjang Jalan Thamrin Hingga Jalan Sudirman. Foto:

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Rio Christiawan, Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

Beberapa hari belakangan ini, kepolisian menyelenggarakan uji coba Electronic Traffic Law Enforcement (e-TLE) atau yang dikenal masyarakat dengan sebutan e-tilang atau tilang elektronik. E-tilang merupakan salah satu jabaran dari program kerja kepolisian modern, "Promoter", yakni profesional, modern, dan terpercaya.

Latar belakang penerapan e-tilang dilandasi kebutuhan penegakan hukum terkait tertib berlalu lintas dengan konsep praktis, mengingat tenaga kepolisian terbatas dan guna menghindari praktik koruptif tilang sebagaimana selama ini sering terjadi. Akibatnya, denda tilang tidak dapat secara optimal masuk ke kas negara.

E- tilang memang dipersiapkan untuk menghilangkan praktik koruptif terkait tilang, mengingat selama ini proses pembayaran tilang melalui persidangan cenderung lama dan bertele-tele hingga kembalinya SIM atau STNK para pelanggar pascadenda dibayar.

Melihat proses pembayaran tilang yang rumit dan memakan waktu tersebut, para pelanggar lalu lintas cenderung membayar denda tilang di tempat. Memang dalam UU Lalu Lintas diperkenankan membayar denda tilang di tempat pada petugas kepolisian.

Persoalan tidak rapinya administrasi kepolisian terkait beredarnya surat tilang dan persoalan mental oknum yang koruptif dengan memanfaatkan tilang yang tanpa disertai bukti, turut berkontribusi pada tidak optimalnya penegakan hukum melalui tilang.

E-tilang di satu sisi memberikan kepastian hukum, baik bagi pengguna lalu lintas maupun aparat kepolisian ketika melakukan penindakan. Persoalannya selama ini, sebelum e-tilang diberlakukan pengenaan tilang hanya didasarkan pada pengamatan pandangan aparat.

Sehingga, subjektivitas dan celah koruptif kerap terjadi pada fase ini. Model tilang yang selama ini dipraktikkan sesungguhnya bertentangan dengan semangat UU Lalu Lintas yang mendefinisikan tilang sebagai bukti pelanggaran.

Artinya, aparat kepolisian ketika menerbitkan surat tilang ataupun menerima denda sudah mendapatkan bukti adanya pelanggaran para pengendara, tapi pada praktiknya aparat kepolisian hanya mendasarkan pada penilaian berdasarkan pengamatan visual. Dengan demikian, selain menimbulkan subjektivitas dan praktik koruptif, juga dianggap tidak memberikan kepastian hukum.

Menyempurnakan e-tilang

E-tilang bekerja dalam beberapa tahapan. Tahap pertama, kamera CCTV yang terpasang di ruas-ruas jalan akan menangkap adanya pelanggaran pengendara. Selanjutnya, petugas memverifikasi untuk menentukan pasal pelanggaran yang dilakukan pengendara.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement