Kamis 03 Jan 2019 08:38 WIB

Krakatau yang Melahirkan Tsunami

Pemerintah tampaknya abai terhadap ‘peringatan dini’ dari kajian yang ada.

Red: Elba Damhuri
Warga mendayung sampan dengan latar belakang erupsi Gunung Anak Krakatau di Pelabuhan Pulau Sebesi, Lampung Selatan, Lampung, Selasa (1/1/2019).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Warga mendayung sampan dengan latar belakang erupsi Gunung Anak Krakatau di Pelabuhan Pulau Sebesi, Lampung Selatan, Lampung, Selasa (1/1/2019).

Berdasarkan permodelan, jika longsoran terjadi tsunami diprediksi mencapai Sertung, Panjang, dan Rakata dengan ketinggian 15-30 meter dalam kurun kurang dari satu menit. Dan mencapai beberapa kota, seperti Carita dan Labuhan dengan ketinggian amplitudo gelombang sekitar tiga meter.

Sedangkan di sisi barat, gelombang dengan ketinggian amplitudo 2,7 meter menuju Kalianda dan hanya sekitar 0,3 meter mencapai Bandar Lampung, dengan jeda waktu berkisar 40-60 menit terhitung sejak terjadinya longsor.

Pemerintah tampaknya abai terhadap ‘peringatan dini’ dari kajian tersebut karena nyaris tidak berbuat apa pun, kecuali hanya memantau letusan Anak Krakatau. Hal sederhana dan mendasar tidak dilakukan, yakni memasang buoy alat deteksi tsunami.

Jika terpasang buoy, ada peringatan terjadi tsunami sehingga masyarakat secepatnya menghindar. Abai dalam kasus ini, sebagaimana abainya pemerintah pada gempa Palu. Wilayah Palu potensi gempa dan tsunami sangat tinggi, tetapi tidak pula ada buoy.

Bukan itu saja, wilayah Palu sudah diwanti-wanti ahli geologi John Katili pada 1980-an, berpotensi terjadi likuefaksi juga diabaikan. Akhirnya, ribuan orang harus menjadi korban akibat keabaian.

Pertanyaan masyarakat berikutnya, akankah ada tsunami lanjutan di Banten-Lampung? Setelah kejadian 22 Desember, sebetulnya Anak Krakatau masih terus mengalami runtuhan, hanya massa yang runtuh tidak sekaligus dalam jumlah besar tetapi dicicil, sedikit demi sedikit.

Data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi selama 24-27 Desember 2018 memperkirakan, gunung Anak Krakatau kehilangan volume 150-170 juta m3 sehingga puncak gunung terpangkas dari tinggi 338 meter menjadi 111 meter.

Setelah kehilangan sebagian besar volumenya, kini Anak Krakatau dalam proses menyembuhkan diri. Maksudnya, luka akibat runtuhnya material sudah mulai pulih dengan frekuensi letusan yang sampai 14 kali setiap menit. Material yang longsor sudah mulai tergantikan.

Jika mengacu pola runtuhan setelah tsunami, kemungkinan tsunami dalam waktu dekat kecil, tapi bukan berarti diabaikan. Justru lembaga terkait harus mengantisipasi, kelak suatu saat tsunami bisa jadi terjadi lagi. Bisa lebih kecil, bisa sama, tak tertutup kemungkinan lebih besar.

Setidaknya buoy harus segera dipasang, bersamaan dengan itu perlu dibangun teknologi pemecah gelombang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement