REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ma`mun Murod Al-Barbasy, Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila, FISIP UMJ
Setelah lengsernya Orde Baru (Orba), terjadi perubahan politik yang fundamental.
Bila pada era Orba kehidupan politik kepartaian hanya dihiasi tiga partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Golongan Karya, dan Partai Demokrasi Indonesia, pasca-Orba lahir banyak partai.
Bila pada era Orba pemilu berlangsung dengan memakai sistem proporsional tertutup, selepas Orba, setidaknya pada Pemilu 2009 dan 2014, pemilu berlangsung menggunakan sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak.
Sistem ini meniscayakan pemilu yang sangat liberal. Kalau mengkritisi perundang-undangan terkait pemilu pasca-Orba hingga jelang Pemilu 2019, sulit rasanya menyebut produk perundang-undangan pemilu dibuat untuk mewujudkan pemilu yang demokratis.
Pelaksanaan pemilu yang sangat liberal, justru mengindikasikan adanya setting agenda dari 'pemilik kekuasaan' yang dalam konteks oligarki kekuasaan di Indonesia wujudnya adalah pemilik modal. Para pemilik modal ini menggunakan jalur politik sebagai instrumen untuk menguasai sumber-sumber ekonomi. Wujud instrumennya adalah partai politik.
Untuk 'menguasai' partai politik, pemilik modal bukan hanya menjerat atau menaklukkan elite partai dengan memberikan bantuan modal untuk keberlangsungan hidup partai tersebut, seperti tergambar pada Pemilu 1999, 2004, dan 2009.
Mereka juga ‘beternak partai’ di mana pemilik modal atau cukong menggelontorkan dana yang cukup besar untuk mendirikan dan membiayai pendirian partai dengan menggunakan tangan panjang para petualang politik.
Fenomena ‘partai ternak’ ini mulai muncul pada Pemilu 2014 dan semakin menguat menjelang Pemilu 2019. Penulis membagi partai dari sisi pendirinya ke dalam tiga tipologi. Pertama, partai massa-elite.
Ini merupakan partai yang pendiriannya diinisiasi elite dan direspons secara luas dan masif oleh publik. Bahkan, elite bisa dikatakan hanya sebatas pemicu dan massa-lah yang sesungguhnya menjadi pendiri partai.
Massa dengan penuh ketulusan, tidak saja dalam membantu pendirian dan bersedia menjadi pengurus partai politik, tetapi juga berkorban secara finansial. Dalam proses pendiriannya, secara finansial, partai massa-elite tidak banyak mengeluarkan pembiayaan, karena pendiriannya ditopang penuh oleh massa yang sekaligus menjadi basis massanya.
Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merupakan contoh partai massa-elite. PAN didirikan oleh elite Muhammadiyah yang ditopang secara total oleh mainstream warga persyarikatan.
Ini sebagai jawaban atas rekomendasi hasil Tanwir Muhammadiyah di Semarang, 1998. Dalam perjalanannya sampai dengan saat ini, PAN mendapat sokongan penuh warga Muhammadiyah. Sementara PKB lahir diinisiasi lima tokoh NU yang saat itu ada di struktur PBNU.
Mereka adalah KH Ilyas Ruchiyat, KH Moenasir Ali, KH Moehith Muzadi, KH Abdurrahman Wahid, dan KH Mustofa Bisri. Pendirian PKB disambut gegap gempita oleh warga Nahdliyin. Secara sukarela warga Nahdliyin membantu pendirian PKB, terutama dari cabang sampai ranting, sehingga begitu mudah untuk lolos mengikuti Pemilu 1999.
Kedua, partai elite-massa. Dalam hal pendirian, partai elite-massa diiniasi elite partai, sementara dukungan massa tidak semasif sebagaimana tipe partai massa-elite. Elite memegang peranan penting sejak awal pendirian hingga dinyatakan lolos ikut pemilu.
Untuk menyiasati sedikitnya dukungan massa, biasanya partai elite-massa akan ramping dalam menyusun kepengurusan. Secara finansial juga akan lebih banyak mengeluarkan pendanaan bila dibandingkan pendirian partai massa-elite.
Dalam perjalanannya, keberadaan partai elite-massa biasanya akan dipengaruhi dan ditentukan oleh figur atau aktor pendirinya. Partai Demokrat, Partai Hanura, dan Partai Gerinda secara faktual bisa menjadi contoh dari partai elite-massa.
Ketiga, 'partai ternak'. Merujuk pada pendirian parta-partai di Indonesia, pendirian partai ini tergolong tidak lazim. Inisiasi pendirian, dukungan, dan topangan pendanaan partai ini bukan berasal elite partai dan apalagi massa.