REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Smith Alhadar, Penasihat pada Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)
Pada 11 Februari 1979, pemimpin revolusi Iran, Ayatullah Ruhullah al-Musavi al-Khomeini, mengumumkan berakhirnya monarki Iran yang berusia 2.500 tahun, setelah pemerintahan Shah Mohammad Reza Pahlevi dukungan AS runtuh.
Sejak itu, hubungan Iran-AS jatuh ke titik nadir menyusul mahasiswa militan Iran yang didukung Khomeini menduduki Kedubes AS di Teheran dan menyandera 52 staf diplomatik AS selama 444 hari.
Aksi ini dilakukan guna memaksa AS mendeportasi Shah yang melarikan diri ke AS serta konsolidasi kekuatan mullah. Lalu, pemerintahan AS di bawah Presiden Jimmy Carter, memutuskan hubungan diplomatik dengan Teheran.
Revolusi Iran--revolusi terbesar ketiga setelah Revolusi Prancis dan Revolusi Bolshevik Rusia--dipicu kebijakan Shah yang brutal, korup, dan boros. Kebijakan ekonomi yang terlalu ambisius menyebabkan inflasi tinggi, barang langka, dan ekonomi tak efisien.
Shah diangkat ke singgasana kekuasaan oleh kekuatan sekutu. Malah pada 1953, CIA mengotaki kudeta terhadap Perdana Menteri Mohammad Mosadegh, nasionalis populer yang menasionalisasi perusahaan minyak Iran, untuk mengembalikan Shah berkuasa.
Selama pemerintahannya, Shah banyak menggunakan penasihat dan teknisi militer AS dan memberi kekebalan diplomatik kepada mereka. Ini membangkitkan nasionalisme Iran. Rakyat menganggap Shah boneka AS.
Kendati hubungan Teheran-Washington tidak pernah baik sejak revolusi, intensitas permusuhan keduanya bergantung pemerintahan yang berkuasa di Iran maupun AS. Saat kaum mullah moderat berkuasa di Iran, perseteruan mengendur.
Hubungan Washington-Teheran sangat baik saat Iran dipimpin Presiden Ayatullah Hassan Rouhani yang moderat dan AS dipimpin Presiden Barack Obama dari Partai Demokrat.
Pada masa ini (2015), Iran mencapai kesepakatan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) dengan P5+1 (AS, Rusia, Cina, Inggris, Prancis) plus Jerman. JCPOA mengharuskan Iran membatasi pengayaan uranium hanya untuk keperluan sipil.
Sebagai imbalan, sebagian sanksi ekonomi internasional atas Iran dicabut. Namun, AS di bawah Presiden Donald Trump mundur dari JCPOA. Sejak kampanye Pilpres 2016, Trump mengkritik kesepakatan yang dianggap terlalu menguntungkan Iran.
Keleluasaan Iran mengekspor minyak, yang meningkatkan pendapatan luar negerinya, mendorong Iran memperluas pengaruh di kawasan melalui proksinya.
Sebut saja Irak, Suriah, dan Lebanon. Hamas dan Jihad Islam di Jalur Gaza serta Houthi di Yaman juga berada dalam lingkup pengaruh Iran. Sementara itu, Iran terus membangun program rudal balistik berbagai jenis.
Inilah yang mendorong AS menarik diri dari JCPOA kecuali Iran mau merundingkan kembali JCPOA dengan memasukkan larangan pengembangan rudal balistik dan penghentian intervensi Iran di negara-negara kawasan.
Pada Agustus dan November tahun lalu, AS tidak hanya menerapkan sanksi kembali di seluruh sektor ekonomi Iran, termasuk perbankan dan energi, tapi juga mengancam sanksi bagi negara lain yang masih menjalin hubungan finansial dan bisnis dengan Iran.
Sanksi ini kian menggigit perekonomian Iran yang sudah terpuruk akibat korupsi, biaya petualangan militer di Suriah, dan salah urus pemerintahan. Tak kurang dari 80 persen pendapatan luar negeri Iran berasal dari eskpor minyak.
Pemerintahan Rouhani, masih dapat bertahan karena AS masih mengecualikan 8 negara importir minyak Iran untuk melanjutkan bisnisnya dengan Iran sampai Mei mendatang. P5+1 di luar AS juga masih berkomitmen mempertahankan JCPOA.
Paling tidak ada tiga alasan Uni Eropa (UE) menentang penarikan diri AS dari JCPOA. Pertama, UE ingin mempertahankan kepentingan ekonominya di Iran. Kedua, Badan Energi Atom Internasional menyatakan, Teheran masih patuh kepada JCPOA.
UE menganggap ini kesepakatan terbaik sejauh ini. Di samping itu, UE ingin menjaga wibawa perjanjian internasional. Ketiga, UE tidak menginginkan adanya perang baru di Timur Tengah yang sudah rapuh itu.
Bila UE ikut mundur bersama AS, hampir pasti Iran akan memulihkan program nuklirnya yang akan menghasilkan bom nuklir. Kalau demikian, AS, Israel, dan mungkin juga sekutu AS di Teluk akan menyerang Iran. Maka, perang besar akan meletus di kawasan.
Bagaimanapun, isu Iran terkait permusuhan dengan AS dan JCPOA tetap rawan karena Inggris, Prancis, dan Jerman--setelah sembilan bulan penundaan dan perundingan dengan Iran--ternyata tak dapat memenuhi seluruh komitmennya.
Memang mereka meluncurkan mekanisme perdagangan baru di mana transaksi dengan Iran tidak menggunakan dolar AS guna menghindarkan perusahaan Eropa dari sanksi AS. Namun, mekanisme ini dikecam Iran.