REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sutia Budi*
Suatu waktu, penulis berbincang dengan seorang petani di Dusun Mekarsari, Sarimukti, Karangnunggal, Kabupaten Tasikmalaya. "Aa Jaka, jang saha hayoh melakan tatangkalan?"_ (Aa Jaka, buat siapa menaman pohon terus?). Ia menjawab, "aeh, engke mah jang saha wae, anak incu, da engke mah bakal butuh"_ (aeh, nanti buat siapa saja, anak cucu, kan nanti akan butuh).
Penggalan dialog itu cukup menarik dicermati. Seorang petani lulusan sekolah dasar, terus-menerus menanam pohon untuk bekal generasinya. Ia sadar bahwa ke depan, pohon akan selalu dibutuhkan. Ia juga paham bahwa belum tentu pohon yang ditanamnya itu akan dirasakan manfaatnya secara langsung oleh dirinya.
Sesungguhnya ia telah melakukan “investasi besar” untuk kebaikan dan kebutuhan generasinya di kemudian hari. Lalu apa yang mendorongnya untuk terus menanam pohon? Harapan baik. Itulah Optimisme.
Optimistis adalah suatu sikap mental yang berpengharapan baik dalam menghadapi berbagai keadaan. Orang optimistis adalah orang yang selalu mengharapkan yang baik-baik saja dalam menghadapi segala hal. Sehingga optimisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), didefinisikan sebagai paham (keyakinan) atas segala sesuatu dari segi yang baik dan menyenangkan; sikap selalu mempunyai harapan baik dalam segala hal.
Hajatan demokrasi pilpres kian mendekat. Perbincangan-perdebatan di media cetak, elektronik, media sosial, hingga obrolan warung kopi dan pinggir jalan, seakan tak ada habisnya. Sayangnya, pesta rakyat yang semestinya disambut riang gembira itu, terkadang mempertontonkan perdebatan yang sangat tajam, hitam-putih, optimistis-pesimistis, bahkan tidak jarang menyeruak kata-kata "surga-neraka".
Harapan kita, yang muncul ke permukaan adalah sikap politik kritis. Namun tidak jarang, yang membuncah justru sikap politik sinis.
Pada titik inilah, kita harus kembali kepada tujuan demokrasi dan mesti menyadari bahwa kemajuan Indonesia akan dapat disongsong jika kita bersikap optimistis. Sama halnya dengan optimisme seorang petani desa yang terus-menerus menanam pohon. Demi pemenuhan kebutuhan, kebaikan, dan kemajuan generasinya.
Ketika debat para capres yang digelar pada 17 Februari 2019 lalu, banyak momen menarik dan gagasan yang muncul dari kedua kandidat. Di antara momen yang menarik untuk dicermati adalah ketika Prabowo mengkritisi dan menyindir Jokowi pada tema energi dan pangan.
Jokowi menanggapi kritikan Prabowo dengan kalimat, "Pak Prabowo ini kelihatannya ke depan kurang optimis". Sontak penonton menjadi riuh-ramai dan sebagian tertawa lebar. Terlepas apakah itu bagian dari strategi debat, bertahan ataupun menyerang, namun yang jelas, kata “optimis” menjadi demikian penting untuk dihadirkan.
Dalam alinea ketiga UUD 1945, dinyatakan dengan jelas bahwa kemerdekaan Indonesia, berkehidupan kebangsaan yang bebas itu adalah “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur”. Itulah optimisme. Menggapai cita mulia dan kebulatan tekad untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan dibangun atas dasar optimisme yang kuat. Menghadirkan optimisme dalam pikiran dan perkataan, akan mendorong kebaikan dalam gerak dan laku.
Karena itu kita berharap, optimisme tidak berhenti pada sebuah tema kampanye misalnya. Tetapi harus mampu dinarasikan, diaktualisasikan, dan digelorakan dalam berbagai dimensi kehidupan.
Agama mengajarkan kita untuk selalu optimis dalam menghadapi segala kondisi. Tuhan telah berfirman dalam Alquran, "... Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah..." (QS. Az-Zumar: 53 dan QS. Yusuf: 87). Artinya kita harus selalu optimis, tidak boleh pesimis, manusia tidak pantas putus asa, karena sudah dikaruniakan akal dan pikiran yang sehat.
Bahkan, ketika menghadapi kesulitan, sedih, dan sakit, Tuhan Yang Maha Pengasih telah memberikan janji dan jaminan sebagaimana termaktub dalam kitab suci. "Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq:7), "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”, “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5-6). Betapa demikian pentingnya memelihara diri untuk selalu optimistis, tegar dan kuat menghadapi tantangan sesulit apa pun. Pada saat yang sama, kita wajib menjauhkan diri dari keputusasaan, membuang jauh pesimisme.