Oleh: DR Margarito Kamis, Pakar Hukum Tata Negara dan Staf Pengajar FH. Univ Khairun Ternate
Pemilu, termasuk pemilu presiden dan wakil presiden yang saat ini sedang memasuki hari-hari krusial, berat dan menegangkan, tidak bakal pernah dikenal orang, bila saja tidak didahului prateknya di Romawi kuno. Dalam prakteknya di Romawi kuno, dan terlihat pada level minimal pada pemilu-pemilu modern dimanapun, tidak semua orang diberi hak memilih. Bahkan mereka yang diberi hak memilih itu, tidak semuanya dapat menggunakannya.
Tetapi menariknya, pemilu diandalkan sebagai cara terbaik yang tersedia, terkesan sebagai satu-satunya cara mengisi jabatan, salah satunya presiden dan wakil presiden. Itu sebabnya, para ilmuan hukum dalam berbagai konfrensinya di dunia, termasuk di Bangalore India pada tahun 1965, mendesakan pemilu kepada negara-negara yang kala itu tidak menyelenggarakannya.
Konsepnya Memukau
Pemilu, begitu yang diyakini para ilmuan hukum, salah satunya almarhum Profesor Ismail Suny, promotor saya, semoga selalu berada genggaman kasih sayang Allah Subhanahu wata’ala, yang ikut dalam konfrensi itu akan terlaksana bila negara-negara itu menempatkan rule of law, bukan rule of man di negaranya. Bahkan dalam keyakinan mereka, rule of law dan pemilu, pada level yang paling mungkin merupakan dua sisi yang saling terhubung.
Demokrasi tidak akan ada bila tidak ada rule of law. Tidak ada hak memilih bila tidak ada demokrasi, dan hak memilih tidak dapat eksis bila rule of law tidak beres dalam penjabaran dan penegakannya. Beres dalam penjabarannya sekalipun rule of law itu, hak memilih dalam pemilu tidak dengan sendirinya beres, dipenuhi dan digunakan sesuai sifat hukum yang terkandung didalmnya.
Dalam kenyataannya rule of law dan demokrasi, tetap diapresiasi dan diandalkan oleh ilmuan hukum dan politik sebagai temuan, sekalipun bukan satu-satunya, sebagai penanda peralihan dari peradaban imperium, kekaisaran, jahiliah ke peradaban modern. Peradaban baru ini, tentu berbeda dengan peradaban lama, menempatkan harkat dan martabat manusia dalam timbangan nilai yang sama.
Penyamaan harkat dan martabat manusia dalam peradaban baru ini, dalam langam Barat dipandang sebagai jalan memanusiakan manusia, sekaligus sebagai cara paling absah mewujudkan keadilan. Kesamaan ini, dalam konteks itu, membuka jalan manusia menggenggam dan mewujudkan kebebasan. Tetapi atas nama hak, dalam kenyataannya, kebebasan yang telah diberi kapasitas hukum dengan cara didefenisikan dalam hukum, sebuah cara tipikal Barat, berhasil menyembunyikan cacat cela rule of law dan demokrasi itu.
Menariknya cacat cela rule of law dan demokrasi itu, dalam langgam Barat baru akan dikenali bila keduanya mengganggu para kapitalis, yang umumnya rakus dan tamak. Sebaliknya sejauh dianggap tidak mengganggu kepentingan para kapitalis, yang umumnya culas itu, rule of law dan demokrasi terlihat baik-baik saja. Dengan cara yang khas – manis dan kasar – rule of law dan demokrasi itu didesakan ke negara-negara diluar mereka. Menariknya negara-negara yang dituju menelannya mentah-mentah.
Law, hukum, dalam langgam modern di barat dan di timur, kini tertakdir dalam sistim hukum dan politik setiap negara, bukan sebagai sesuatu yang terberi, ada dengan sendirinya, melainkan dibentuk, diciptakan. Hukum pada saat ini jadinya hanya ada dalam UU dan peraturan tertulis lainnya, termasuk putusan pengadilan. Tidak lebih.
Pada titik ini, postur rule of law dan demokrasi – pemberian hak pilih –siapa yang diberi dan siapa yang tidak bisa diberi, cara penggunaannya, status aparatur negara, penggunaan uang, dan penggunaan barang atau fasilitas negara dalam pemilu, termasuk pilpres - sepenuhnya didefenisikan dalam UU. Sepanjang pengaturan dalam UU bersifat komprehensif, maka sepanjang itu postur rule of law dan demokrasi akan terlihat responsif dan akuntabel.
Tetapi sifat responsive dan akuntabel hanya bernilai pada level konsep, UU dan peraturan tertulis lainnya. Praktek atau penegakannya lain lagi. Perkara terakhir ditentukan oleh kualitas kapasitas pengetahuan dan mental aparatur. Postur rule of law dan demokrasi, dengan demikian, tergantung sepenuhnya pada kapasitas dan kualitas mental aparatur-aparatur itu. Inilah faktor penentu keangkuhan rule of law dan demokrasi.
Ternalar
Memanggil dan menempatkan hukum dalam merespon dan menyelesaikan sebuah kasus pemilu, suka atau tidak, merupakan konsekuensi bangsa ini mengagungkan rule of law dan demokrasi. Konsekuensinya sebuah kasus pemilu tidak serta-merta dapat diberi kualifikasi, misalnya curang atau tidak. Kasus dugaan pencoblosan sejumlah surat suara sebelum hari dan tanggal yang ditentukan oleh KPU di Selangor Malaysia, menunjukan bekerjanya konsekuensi itu.
Bila dugaan itu terbukti, maka jujur dan adil, yang disemua negeri ditakdirkan oleh rule of law dan demokrasi sebagai prinsp utama pemilu, terjungkal. Rule of law dan demokrasi dengan demikian tertakdir menjadi hal angkuh, dengan keadilan khas utilitarian Jeremy Bentham.
Keadilan khas Jeremy Bentham itu, sejauh ini, terlihat dengan adanya kaidah hukum pemilu yang menyepelekan kecurangan pilpres. Kecurangan apapun bentuknya, sekalipun terbukti, tetapi diangap tidak signifikan mengubah peta perolehan suara, maka kecurangan ini tak bernilai hukum.
Keangkuhan itu, untuk sebagian itu disebabkan rule of law dan demokrasi saat ini, yang dalam esensinya disandarkan pada hak setiap warga negara, dapat secara sah menghilangkan hak pilih pemilih dengan argumen teknis minus pijakan konstitusionalnya. Argumen itu adalah pemilih yang tidak berada di tempat tinggal yang tertulis di KTP Elektronik, bukan karena sakit atau bertugas, menjadi sebab hukum yang sah hilangnya hak memilihnya.
Menariknya, entah bagaimana, rule of law memberi hak pilih pada orang yang tak memiliki kemampuan menilai, orang sakit jiwa. Padahal kemampuan menilai dalam hukum manapun, tertakdir secara esensial sebagai sebab lahirnya tanggung jawab. Tanggung jawab merupakan sebab utama hukum dan politik meletakan konsekuensi-konsekuensi hukum dan politis kepada seseorang.
Memiliki kemampuan berpikir itulah, yang memungkinkan pemilih dengan sadar dapat merancang tindakan sadarnya, misalnya memberi uang kepada Pak Prabowo dan Pak Sandi. Tindakan ini, harus diakui, merupakan hal terhebat dalam peradaban pemilu. Baru kali ini dalam sejarah pemilu, pemilih yang umumnya rakyat pas-pasan, menggantikan para kapitalis culas, memberi uang ke Pak Prabowo dan Pak Sandi. Ini hebat.
Kemampuan berpikir itu pulalah yang membuat rule of law menerjang Ibu Ratna Sarupmpaet. Ibu ini harus dibawa ke pengadilan oleh Jaksa untuk mempertangujawabkan perbuatannya. Dibawa ke pengadilan, karena ibu ini waras, mampu berpikir dan menilai tindakannya secara sadar. Tetapi justru pada titik ini muncul masalah lain.
Masalahnya Pak Sulman Azis, angota polisi yang pernah bertugas di Polsek Pasirwangi Garut, terlihat mampu berpikir dan menilai, mengaku secara terbuka, diperintahkan atasannya memenangkan Pak Jokowi. Tetapi sehari setelahnya, Pak Sulman mencabut pengakuan menghebohkan itu. Hebatnya pengakuannya itu tak membuat dirinya diterjang rule of law, disidangkan di pengadilan.
Sedemikian angkuhnya rule of law dan demokrasi itu, sehingga pejabat-pejabat negara tak dibebani kewajiban memberitahukan kepada masyarakat bahwa dirinya sedang cuti kala berkampanye. Keangkuhan pulalah yang memungkinkan kebijakan-kebijakan pemerintah dibidang pembangunan tak terlihat sebagai kebijakan taktis dalam memasuki, dengan gema tertentu, gelanggang pilpres.
Mengapa bisa begitu? Mungkinkah disebabkan rule of law, yang salah satu elemen kuncinya adalah hak asasi manusia, yang dalam pandangan Barat bersandar sepenunya pada manusia sebagai individu otonom, antroposentrik, bukan manusia sebagai hamba, ciptaan Allah Subhanahu wata’ala, yang mengharuskan hati dan otak bekerja bersama? Entahlah.
Selalu begitu dalam seluruh medan empiris, keangkuhan rule of law dan demokrasi, selalu merupakan refleksi keangkuhan penyelenggaranya. Selalu begitu dalam sejarahnya, rule of law yang tak terjabarkan ke dalam kaidah hukum yang detail, selalu sulit diandalkan mengendalikan perilaku penyelenggara negara.
Rule of law dan demokrasi, betapapun selalu disertai keangkuhan alami yang tersembunyi, menariknya semua negara mengandalkannya sebagai cara menjinakan perilaku kakitokrasi penyelenggara negara. Bangsa ini pun tak memiliki jalan mengingkarinya. Itu sebabnya dibutuhkan keberanian untuk mengenali keangkuhan itu dan mengoreksinya.
Bangsa ini, karena itu, dipanggil untuk merenungkannya secara sungguh-sungguh dalam kesempatan pertama sesudah pilpres. Mengisi rule of law dan demokrasi dengan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kejujuran berdasarkan nilai-nilai Pancasila, merumuskannya menjadi kaidah hukum pilpres. Bila dapat dilakukan, maka secara hipotetik dapat dibayangkan akan memiliki daya reduksi secara signifikan terhadap keangkuhan-keangkuhan bawaan rule of law dan demokrasi dalam peristiwa pilpres.