Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Bagaimana imajinasi kekuasaan Jawa ditegakkan? Ketika pertanyaan ini dajukan kepada pengamat sosial, Fachry Ali, menyatakan jawabannya itu sudah ada dalam makalah yang ditulisnya pada Konggres Kebudayaan Jawa II di Surabaya pada 21-23 November 2018 silam.
Dalam makalah yang berjudul ‘Politik-Ekonomi Kekuasaan Jawa’ memang Fachry diantaranya menceritakan kisah pilu mengenai kekuasaan yang dijalankan pada masa kerajaan Mataram di masa lalu. Kisah pilu dan berdarahnya kekuasan ditegakkan. Kisah pilu dari para tokoh yang kemudian meninggalkan jejak dalam sejarah.
Fachry kemudian mengutip 'Indonesianis', Benedict R.O’G Anderson yang menulis buku bertajuk ‘The Ide Power of Javanese Culture’. Di situ dikatakan: Karena semua kekuasaan berasal dari sumber tunggal yang sama, kekuasaan itu sendiri berada di atas persoalan baik dan buruk.
‘’Bagi cara berpikir Jawa —misalnya menyatakan kekuasaan beradasarkan kekuasaan adalah absah, sementara kekuasaan berdasarkan senjata adalah tidak absah - tidak punya arti apa-apa. Kekuasaan tak mempersoalkan keabsahan dan ketidakabsahan,’’ tulis Fachri sembari menguntip Anderson. Kini Fachri tengah berada di Tokyo, Jepang dan akan melanjutkan perjalanan menuju Nigeria.
''Aku kini ada Tokyo dan pas lagi mengingat-ingat sosok Pak Ben Anderson. Eh kamu nelpon dan tanya tentang dia. Kebetulan sekali,'' kata Fachry sembari tertawa lebar.
Fachry Ali di kuil Yasukuni, Tokyo.
Fachri selanjutnya mengatakan, dalam hal itu maka bisa dilihat bahwa kekuasaan di dalam prespektif Jawa adalah ‘netral’ terhadap moral. Bahkan, kala itu seorang penguasa atau raja ‘berhak’ membunuh tanpa pandang bulu, seperti terungkap dalam ‘Astha Brata’ (delapan kebijakan) -yang merupakan pedoman etik penguasa Jawa.
‘’Maka. disamping harus bersikap bijak, lembut, dan memakmurkan rakyat, raja harus siap dengan senjata untuk menghancurkan lawan-lawannya. Di dalam praktiknya, hal ini bahkan berlangsung atau berlaku terhadap keluarga raja sendiri. Dalam usaha membangun ‘Kekuasaan’ tanpa tandingan (keagungan-binatraan),’’ lanjut Fachry.
Para 'adi dalem' Kraton Jogjakarta dalam acara pemakaman seorang isteri Sultan Jogjakarta, Ratu Kencono, yang wafat pada usia 72 pada tahun 1931.
Dia kemudian mengutip sebuah kisah pilu, bahkan tragis, yang menimpa Pangeran Alit pada masa Raja Amangkurat I. Fachry mengutip kisah yang ditulis seorang sejarawan, G Mudjanto, dalam ’The Concept of Power in Javanese Culture’.
Kala itu, kisah Fachry seorang raja telah menggunakan taktik lain, yaitu menghilangkan atau membuang lawan-lawannya dan semua yang pihak yang dianggap bisa menentangnya. Misalnya, tindakan provokatif yang dilakukan Raja Amangkurat I kepada adiknya Pangeran Alit yang mengakibatkan kematian yang terakhir. Hal sama juga dilakukan Pakubuwono II, karena merasa khawatir, (juga sempat) membuang kakak tirinya (dari ibu yang berbeda), yaitu Pangeran Arya Mangkunegara, ayah Raden Mas Said, ke Srilanka.
Jadi, tulis Fachry, tindakan ‘brutal’ kekuasaan di Jawa -di dalam perspektif moderen— ini tidak ada pertanggungjawaban legal. Juga tak ada pertangungjawaban yang sama seperti dalanm soal ketika isteri Panglima Perang Mataram, Wira Guna, terpaksa dibunuh suaminya atas perintah langsung Sultan Agung (1613-1646). Padahal sang isteri sang panglima itu adalah ‘korban’ selingkuhan putra mahkota Mataram, Amangkurat I.
‘’Dan ketika yang terakhir dia naik tahta pada 1646 (sampai 1677), Amangkurat I bukan saja membunuh, cengan cara-cara tertentu, Wira Guna dan seluruh keluarganya, melainkan membantai 6.000 ulama seperti dilaporkan utusan VOC, Rudolf van Goens. Dengan meriam Sapujagad yang dipasang di depan kraton, ditembakkan kepada mereka. Fakta ini memperlihatkan bahwa kekuasaan seperti ajaran Asta Bharata itu bukan hanya telah terpraktikkan dalam kenyaatan, melainkan juga menunjukan ‘Kekuasaan’ dalam kebudayaan Jawa itu berada di atas baik dan buruk.
Mengapa ada imajinsi atau ide kekuasaan seperti itu? Fachry mendaskan bila hal ini berkaitan dengan konsepsi bahwa raja atau penguasa adalah ‘kinarya wakiling Hyang Agung (wakil Tuhan). Karena itu, sementara raja berkewajiban menegakkan keadilan. bawahan seperti petinggi negara, seperti kasus Pangeran Alit, Wira Guna, dan Pangeran Arya Mangkunegara harus tunduk patuh secara total. Siapa yang berani menetang perintah-perintahnya sama dengan menolak kehendak Tuhan.