Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Hari-hari terakhir ini udara tampak kelabu. Kemarin siang di sekitar bilangan Mampang, Gatot Subroto, dan Kuningan, misalnya terlihat ada kabut tipis. Orang banyak menyangka akan turun hujan karena mendung, Tapi air dari langit yang ditunggu sebagian warga yang sumur bornya mulai kering tak pernah datang. Ini persis judul lagu dangdut dan pop: mendung tak hujan!
‘’Mungkin itu kabut asap ya,’’ kata para penumpang Bus Way Koridor 13 yang tengah berada di jalan layang di sekitar Blok M dan Jalan Tendean, Jakarta Selatan. Semua penumpang kemudian menengok ke luar ke arah gedung pencakar langit untuk melihat semacam kabut tipis kelabu yang mengambang di udara.
Pihak berwenang yang memantau kualitas udara Jakarta beberapa hari terakhir ini memang mengatakan udara Jakarta bermasalah. Bahkan, pagi ini ada berita yang mengatakan kualitas udara Jakarta masih buruk. Wapres Jusuf Kalla pun sudah bereaksi. Katanya: "Ini tantangan bagi gubernur DKI. Tantangan untuk menyehatkan udara Jakarta!"
Semua orang tahu, tantangan meningkatkan kualitas Jakarta sangat tidak mudah. Gubernur DKI Anies Baswedan pun mengakui terus memantaunya untuk mencari solusi dengan melakukan kajian. Dia sempat curiga bahwa menurunnya kualitas udara Jakarta karena berjubelnya kendaraan angkutan. Asumsi ini didasari dengan membandingkan kondisi udara Jakarta sewaktu lebaran di mana penghuni kota ini mudik, dengan hari biasa di mana penduduk kota ini sudah kembali dan menjadikan Jakarta menjadi salah satu kota terpadat Asia (bahkan dunia). Tapi kepastian penyebabnya hingga kini masih dikaji secara rinci dan detail.
Setidaknya, semenjak dahulu Jakarta memang kota tak ramah. Bahkan pada zaman kolonial kota ini sempat disebut kota yang berbahaya untuk ditinggali. Kanal atau sungai buatan yang ada dari laporan arsip Belanda menjadi sumber penyakit (bersama rawa). Banyak bangkai binatang, seperti kerbau atau kuda ditemukan karena dibuang begitu saja di kali buatan itu.
Tak hanya itu, di awal masa kolonial VOC, di tengah kecamuknya perang akibat serbuan Balatentara Kerajaan Mataram, gubernur jendral Jaan Pieter Zoen Coen, mati karena kolera. Dan kolera adalah salah satu pertanda klasik dari buruknya kualitas lingkungan.
Akibatnya, kota yang dahulu hanya sebesar dan ada dalam tembok benteng yang sumpek diperluas. Tujuannya untuk menghindari kota yang menjadi ganas terhadap hidup manusia. Kala itu para pejabat VOC Belanda sudah menganggap situasi kota Batava atau Jakarta sangat sumpek dan panas. Banyak orang Belanda mengaku hidup di Jakarta sebagai siksaan.
Alhasil, Batavia sebagai sebah kota dalam tembok benteng dibongkar. Wilayah Jakarta tak lagi hanya sebatas area itu yang sebatas berada di sekitar Kota (Jakarta Utara), tapi melebar ke arah selatan (Menteng). Dan seuasai kemerdekaan kota ini malah makin meluas ke arah selatan (Kebayoran).
Tak hanya soal kesumpekan, berbagai bencana alam memang sudah menjadi langganan Jakarta dari dahulu yang sebenarnya tanahnya banyak merupakan area rawa. Banjir bandang pun sudah langganan.
Bahkan pada tahun 1876 terjadi banjir gede-gedean. Bencana ini diakibatkan hujan turun terus menerus selama 40 hari 40 malam. Terulang 1918. Hanya 24 hari 24 malam tapi volume air yang jatuh lebih tinggi.
Dan kalau soal macet dan buruknya kualitas udara akibat polusi kendaraan bermotor juga bukan barang baru. Macetnya jalan akibat menumpuknya mobil dan kendaraan di jalanan Jakarta sudah muncul sejak tahun 1960-an. (lihat foto di atas)
“Tahun 1960-an Jakarta sudah macet. Bayangkan dengan Seoul, ibu kota Korsel, saat itu hanya 500 mobil saja,’’ kata Jurnalis senior yang ‘emaknya’ berasal dari kawasan Kwitang, Jakarta Pusat menceritakan kesumpekan suasana Jakarta.
Lucunya, bila kini antara Jakarta dan Seoul dibandingkan, kedua kota ini berbeda seperti bumi langit. Korea Selatan yang saat itu miskin dan terlibat perang melawan Korea Utara, kini menjadi tempat yang tertata yang makmur. Sungai berwarna hitam tak ada lagi. Gubuk-gubuk warga miskin di Seoul pun musnah.
‘’Ketika pada waktu Olimpiade Seoul saya ke sana memang ada kemacetan, meski tak parah. Bedanya di sana jalanan macet akibat akibat produk mobil dalam negeri. Sedangkan, Jakarta macet karena mobil dengan merek negara lain yang dirakit di sini. Ini akiat kita impormeski nggak pernah bikin mobil. Katanya akan bikin mobil sendiri, tapi kenyataannya omong doang ha ha ha,’’ kata Teguh.
Oh nasibmu Jakarta. Dan marilah nyanyi lagu klasik saja soal ini: Siapa rusuh datang Jakarta, siapa suruh datang Jakarta, Sendiri saja sendiri saja ole le sayaaaang?