Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis dan traveller.
Warga yang tinggal di seputaran Halim-Lubang Buaya-Pondok Gede sudah sangat hapal. Di tanggal-tanggal ini akan mendengar suara pesawat tempur yang menderu-deru seharian. Berlatih untuk persiapan HUT TNI. Juga jalan yang dibuka-tutup untuk keperluan upacara Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya.
Masih ingat peristiwa apa?
Kalau generasi saya pasti ingat. Karena setiap 30 September ada acara wajib tonton film G30S/PKI yang tayang di TVRI.
Tapi bagi anak-anak generasi Z, alias mereka yang lahir di atas tahun 1995, banyak yang tak paham. Apalagi generasi alfa yang lahir setelahnya.
Beberapa tahun lalu, salah satu media nasional pernah melakukan survei tentang ini, dan hasilnya sungguh mengejutkan.
Anak-anak SMA yang diwawancara kebingungan membedakan pemberontakan komunis dan reformasi. Mereka hanya tahu: sama-sama ada kerusuhan yang melatari kedua peristiwa itu.
Alangkah mirisnya.
Sejarah mencatat, umat Islam selalu menjadi lawan utama komunisme. Di buku “Dari Kata Menjadi Sejata” dituliskan wawancara dengan saksi mata yang melihat langsung penculikan dan penganiayaan para Kyai. Bahkan para Kyai dilabel sebagai “Tujuh Setan Desa” yang harus dihabisi.
Dalam risetnya, seorang antropolog dari Amerika bernama Robert Jay menuliskan rinci hasil wawancaranya. Salah satunya:
“Kami mulai mendengar kabar itu dari Madiun. Ulama-ulama dan santri-santri dikunci di dalam madrasah lalu dibakar. Hanya karena mereka Muslim. Ada yang dibawa ke alun-alun, di depan masjid kepala mereka dipancung. Parit-parit di depannya digenangi darah.”
Tak puas membunuh para Kyai, mereka juga merusak simbol-simbol Islam. Membakar masjid dan pesantren. Menginjak-injak Alqur’an.
Peristiwa mengenaskan itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negeri-negeri bekas pecahannya Uni Soviet pun mengalami nasib yang sama.
Kalau sekarang kita mengenal beberapa negara Stan di Asia Tengah, seperti Uzbekistan, Kirghiztan, Turkmenistan, Kazahstan, Tajikistan, dan seterusnya, dulunya adalah negeri Muslim, pusat Daulah Timurid.
Saat dijajah Uni Soviet, semua praktik keagamaan dihapuskan. Penduduknya dipaksa menganut paham komunis. Dijauhkan dari Tuhannya. Diburu dan dibunuh bila kedapatan menjalankan ritual agama. Tak terhitung berapa banyak yang syahid mempertahakan kalimat Tauhid.
Di kota Bukhara, Uzbekistan, saya sempat bertemu dengan salah satu imam muda. Melihat usianya yang masih di bawah saya dan Lambang, saya membayangkan imam ini harus menyembunyikan agamanya di era Uni Soviet (Uzbekistan merdeka dari Uni Soviet tahun 1991).
Hafalan surat-surat yang dikuasainya, pastilah tidak terjadi dalam semalam. Saya membayangkan, sepanjang pendudukan Soviet, secara diam-diam ia dan keluarganya tetap mempertahankan Tauhid. Mendaras bacaan Al-Qur’an dalam kesunyian.
Setelah rezim komunis berlalu, ia melanjutkan pendidikan ke negeri yang menjadi sumber-sumber cahaya Hidayah, menyerap ilmu dan kini membagikannya pada umat di sekitarnya.
“Barakallahu ya, Akhi. Semoga Allah melimpahkan keberkahan untukmu,”saya selipkan doa dalam hati saat berbincang dengannya.
Sanjar, local guide yang menemani kita, menjelaskan kalau saya dan Lambang datang dari Indonesia. Imam itu tersenyum senang dan meminta Lambang duduk di sebelahnya.
Lambang mengucapkan salam dan menyapanya dalam bahasa Arab yang dijawab dengan bahasa Arab. Tak lama, dibacakannya beberapa potongan ayat Alqur’an yang diaminkan Lambang. Melalui Sanjar, Imam itu mengucapkan selamat datang di Bukhara pada kami berdua.
Kepedihan yang sama juga saya rasakan saat berada di Uighur, Turkistan Timur (yang kini disebut Xinjiang) Januari lalu.
Di masjid utama yang berada di Grand Bazaar Urumqi, saya melihat pintu masjid digembok. Tak boleh lagi dimasuki. Terpasang bendera negara dan lambang partai komunis Cina di depannya.
Jangankan menjalankan praktik ritual ibadah. Sekadar menjawab salam pun bisa mengantarkan orang Uighur ke penjara. Tak ada angka pasti berapa banyak yang telah syahid di tangan penguasa.
Perempuan-perempuan dipaksa melepas hijab. Saya yang orang asing pun merasakannya. Berkali-kali diintimidasi untuk melepas hijab. Jenggot, doppa (peci khas Uighur) dan semua simbol agama dilarang dikenakan.
Seorang mahasiswa Uighur yang tengah studi di Timur Tengah yang berhasil saya wawancara mengungkapkan kepiluannya, "Saya punya mimpi bisa kembali ke Uighur. Ingin mengamalkan ilmu yang saya dapatkan. Berdakwah untuk saudara-saudara saya di sana."
Bagi generasi milenial, komunisme bisa jadi paham usang. Tak laku lagi dijajakan. Namun, banyak yang abai. Nama boleh saja berganti, bahkan tak perlu mengusung nama apapun, tapi esensinya tak berubah. Menjauhkan mereka dari Rabb-Nya.
Hari ini, kita diingatkan lagi.