REPUBLIKA.CO.ID, oleh M. Nasir Djamil, anggota DPR periode 2019-2024
Gelombang rakyat yang ditunjukkan melalui aksi mahasiswa dan pelajar serta tokoh masyarakat, ibarat pasukan lebah yang diganggu sarangnya. Salah satu tuntutannya ialah mendesak pembatalan revisi UU KPK dan meminta agar Presiden menerbitkan Perppu. Kondisi ini membuat Presiden Joko Widodo mengalami dilema. Seperti memakan buah simalakama, dimakan mati ayah, tidak dimakan mati ibu.
Berbeda dengan beberapa rancangan undang-undang (RUU) lain yang belum disetujui bersama pada paripurna tingkat II, revisi UU KPK telah disepakati bersama pada paripurna 17 September 2019. Artinya Presiden Jokowi secara konstitusional telah menggunakan hak-nya untuk memberikan persertujuan dalam pembahasan sebuah RUU. Memang ada ruang untuk tidak menandatanganinya, namun Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 telah mengunci bahwa RUU yang telah disetujui bersama, namun Presiden tidak mengesahkannya, RUU tersebut tetap sah dan wajib diundangkan. Karena itu, wacana mengeluarkan Perppu KPK seolah menjadi jurus akhir untuk menyelesaikan problem tersebut. Namun demikian, benarkah Perppu KPK adalah sebuah obat mujarab?
Dilema Jokowi
Setidaknya ada 3 dilema yang akan dihadapi oleh Presiden Jokowi saat akan mengeluarkan Perppu KPK. Pertama, sebagian kalangan menilai Presiden Jokowi sedang diuji dalam hal ketegasan dan konsistensi. Keluarnya Perppu, menunjukkan Presiden Jokowi tidak konsisten dalam penyelenggaraan ketatanegaraan. Bukankah Presiden Jokowi telah mengeluarkan Surat Presiden Nomor R-42/Pres/09/2019 (Surpres) kepada DPR RI yang isinya memerintahkan Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk membahas revisi UU KPK. Melalui Surpres, Presiden secara sah dan konstitusional telah menjalankan proses pembahasan sebuah RUU. Karenanya, tidak ada alasan Presiden Jokowi tidak ikut bertanggungjawab terhadap hasil revisi UU KPK tersebut. Apalagi ber-alibi tidak mengetahui isi substansi revisi UU KPK. Karena itu, jika Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu KPK sama saja ia tidak tegas dengan keputusan yang telah ia ambil, sekaligus menunjukkan inkonsistensi penyelenggaraan ketatanegaraan. Tentu Presiden Jokowi tidak ingin disamakan dengan Presiden SBY yang dianggap inkonsisten karena mengeluarkan Perppu Pilkada guna menganulir UU Pilkada yang ia setujui dan ia tandatangani pada 2014 lalu.
Kedua, kalangan lainnya menilai akan terjadi dilema hubungan antarlembaga negara. Dengan mengeluarkan Perppu KPK, Presiden Jokowi dinilai mengabaikan hasil pembahasan dan persetujuan bersama dengan DPR. Karena mekanisme Perppu KPK ini seolah mem-by pass DPR, sehingga seolah-olah para wakil rakyat tersebut paling bertanggungjawab terhadap revisi UU KPK. Padahal aturan konstitusional menunjukkan, tidak mungkin sebuah RUU dapat keluar tanpa persetujuan dua institusi DPR dan Presiden. Perppu KPK dapat dinilai telah “menampar ” wajah DPR secara kelembagaan, sehingga ini dapat saja memunculkan ketegangan dan memanasnya suhu politik antara DPR dan Presiden. Hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh Presiden Jokowi yang masa jabatannya masih panjang, mengingat baru terpilih diperiode kedua.
Ketiga, dilema hubungan dengan partai koalisi Presiden Jokowi. Sebagaimana telah tercatat, usulan revisi UU KPK berasal dari partai-partai penyokong Presiden Jokowi saat Pemilu 2019 lalu, sehingga dalam proses pembahasan-pun relatif dapat dilakukan dengan amat cepat, karena baik DPR maupun Presiden sebagai pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang memiliki cara pandang yang kurang lebih sama. Karenanya, apabila ada Perppu KPK yang menganulir hasil revisi UU KPK tersebut, dapat dikatakan tidak sesuai dengan aspirasi dan keinginan DPR, lebih khusus partai-partai penyokong Presiden Jokowi. Tidaklah mengherankan jika partai-partai pengusung Presiden Jokowi mengingatkan agar Perppu tidak diterbit. Seperti ungkapan Bambang Wuryanto (Sekretaris Fraksi PDIP) “Jokowi Tak Menghormati DPR Jika Terbitkan Perppu KPK” (28/09).
Dengan demikian, keluarnya Perppu KPK dapat dikatakan tidak hanya membuat relasi DPR dan Presiden menjadi buruk, lebih khusus relasi antara Presiden dengan partai-partai pengusungnya juga memburuk. Hal yang apabila berkelindan dengan dilema nomor dua, akan dapat membuat posisi Presiden Jokowi pada periode kedua menjadi lemah, karena ia tidak hanya akan menghadapi partai di luar pemerintahan, namun juga partai koalisi sebagai akibat hubungan buruk tersebut.
Kegentingan Memaksa
Selain dilema yang dihadapi, Presiden Jokowi juga dituntut untuk dapat membuktikan bahwa Perppu KPK yang hendak diterbitkan telah memenuhi syarat “kegentingan yang memaksa” sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Merujuk Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, ada 3 syarat keluarnya sebuah Perppu: (1) adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang yang berlaku; (2) Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum. Kalaupun undang-undang tersebut telah tersedia, itu dianggap tidak memadai untuk mengatasi keadaan. (3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu yang cukup lama. Padahal, keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan sesegera mungkin.
Berdasarkan ketiga syarat di atas, keluarnya Perppu tersebut, mungkin relatif sulit, meskipun kegentingan yang memaksa itu adalah hak subjektifnya Presiden. pertanyaannya, apakah jika Perppu tidak diterbitkan, KPK akan mengalami “mati suri”? Padahal realitanya, meskipun UU KPK hasil revisi telah disahkan, KPK justru semakin tidak berhenti untuk menangkap orang. Sejumlah operasi tangkap tangan (OTT) terhadap sejumlah kepala daerah, swasta dan pejabat BUMN yang dilakukan oleh KPK, adalah bukti bahwa mereka masih “eksis”. Karenanya tidak heran jika kemudian mantan Pelaksana Tugas Pimpinan KPK, Indriyato Seno Adji mengingatkan Presiden Jokowi untuk tidak mengeluarkan Perppu KPK karena tidak terpenuhi syarat kegentingan memaksa sebagaimana Putusan MK tersebut.
Alternatif Selain Perppu
Selain Perppu KPK, mekanisme konstitusional yang dapat dilakukan untuk membatalkan revisi UU KPK (apabila ia dianggap tidak tepat atau tidak benar) adalah melalui mekanisme Judial Review alias pengujian UU ke MK. Mekanisme ini dapat dikatakan lebih soft dan fair dibandingkan mekanisme Perppu, karena mekanisme dan substansi dalam revisi UU KPK akan dapat diuji secara lebih obyektif oleh lembaga penjaga konstitusi. Dengan demikian, baik DPR maupun Presiden dapat memberikan keterangan mengenai alasan melakukan revisi UU KPK tersebut, sehingga apabila salah dan inkonstitusional, maka MK dapat membatalkannya, sekaligus menjawab persoalan model revisi UU KPK, apakah dapat dibenarkan secara konstitusional atau tidak. Karenanya, majunya beberapa mahasiswa untuk menguji revisi UU KPK ke MK layak untuk dipertimbangkan dan bahkan didukung, karena ini dapat menjadi alternatif solusi selain Perppu KPK bagi Presiden Jokowi.
Jadi, legislative review, judicial review, dan political review adalah tiga hal yang konstitusional. Namun legislative review bisa dilakukan jika telah ada keputusan melalui judicial review, atau political review. Apapun pilihan Presiden Jokowi, maka yang perlu dicermati bahwa lima tahun ke depan dia akan selalu bersama “koleganya” di DPR. Meskipun berkuasa penuh dalam sistem presidensial, Presiden Jokowi tidak boleh lupa bahwa sistem politik saat ini juga bercita rasa parlementer.
Saya menyarankan agar Presiden Jokowi menggunakan akal sehat agar manfaatnya lebih besar daripada mudharatnya. Daya rusak dan daya bangun harus ditimbang secara menyeluruh, bukan karena ingin “menyenangkan” sejumlah pihak. Apalagi karena “ditekan” dan “blame” bahwa jika tidak menerbitkan Perppu berarti mendukung koruptor, dan jika menerbitkan Perppu bukti melawan koruptor. Arah baru pencegahan dan penindakan korupsi lima tahun ke depan perlu dicari solusi agar tidak lagi terjadi festivalisasi. Saya mendukung apapun pilihan Presiden Jokowi karena itu adalah konstitusional. Karena segeralah memberikan jawaban agar tidak berlama-lama dalam dilema.