Kamis 10 Oct 2019 04:27 WIB

Ada Buzzer Istana di ILC TV One?

Buzer memantik dan melanggengkan persertuan masyarakat.

Ilham Bintang
Foto: Ilham Bintang
Ilham Bintang

Oleh: Ilham Bintang, Jurnalis Senior, Pendiri Cek@ Ricek, dan Ketua Dewan Kehormatan PWI

Program Talkshow Indonesia Lawyers Club yang tayang di TVOne Selasa (8/10) malam menyajikan :” Buzzer, Siapa Yang Bermain”. Seperti lazimnya tema yang disorot ILC adalah topik yang menarik perhatian publik selama sepekan. Produser ILC, Andriy Bima mengundang saya untuk ikut urun rembuk dalam diskusi itu.

Buzzer hari-hari ini memang merupakan topik hangat di tengah masyarakat, sampai sekarang. Menimbulkan kembali silang pendapat dua kubu yang dulu berseberangan : Kampret vs Cebong. Rupanya konflik itu  masih berkelanjutan sampai sekarang. Padahal, mestinya sudah reda sejak dua ponggawa mereka sudah bertemu. Berkali- kali.

Mestinya tidak ada lagi kubu 01 maupun kubu 02. Seperti yang dideklarasikan para  ponggawa kedua belah pihak, kini menjadi 03,  mengusung sila 3 Pancasila: Persatuan Indonesia.

Memang ada banyak hal yang memantik perseteruan baru ini. Revisi UU KPK, UUKUHP, demonstrasi mahasiswa yang merenggut nyawa dua mahasiswa. Belum lagi tindakan represif aparat pengamanan saat aksi unjuk rasa mahasiswa pelajar, dan sebagainya. Yang menambah gaduh adalah klaim-klaim dua kubu di media sosial. Seperti melanjutkan kisah lama mereka : saling mengaku difitnah. Saling menuduh aktifitas di media sosial adalah buzzer piaraan mereka. Saling tuduh itu buzzer bayaran. Ada pembina diidentifikasi orang yang berasal dari Istana. Maka sebentar saja, populer dengan istilah Buzzer Istana.

Sikap beberapa media pers yang belakangan ( kalau tak mau disebut berbalik) menunjukkan sikap kritis kepada Presiden Jokowi ikut menambah tajam perseteruan. Pembela Jokowi pun terang-terangan menunjukkan kemarahan kepada pihak Majalah Tempo yang dalam tiga edisi terakhir menyajikan coverstory tentang Presiden. Gambar sampulnya dari “Pinokio “ hingga yang terbaru pose Jokowi tanpa kedudukan.

Di sinilah kejelian Karni Ilyas, Pemimpin Redaksi TVOne merangkap host ILC, yang mengangkat topik hangat itu. Pembicara diundang dari pihak yang berseteru, sama jumlahnya kedua pihak, dan sama pula kesempatan dan durasinya bicara. Ada Ustaz Haikal Hasan, dari  Istana ada Ali Mochtar Ngabalin, pegiat medsos Eko Khuntadi. Ada pula beberapa wakil partai Dahniel Azhar, Tsamara Amani. Dari Partai Berkarya, Vasco, Teddy Gusnadi dari PKPI, dan Arya Sinulingga. Pakar media sosial dari Drone Emprit, Ismail Helmy jadi pembicara awal malam itu. Dia mengurai pengertian influencer, buzzer, nitizen dan istilah-istilah tehnis khas dan spesifik media sosial.

Beruntung saya mendapat giliran terakhir berbicara, sebelum Menkominfo Rudiantara yang menjadi penutup ILC yang malam itu tayang hingga lewat malam. Dengan begitu saya bisa menyimak silang pendapat antar pembicara dari dua kubu. Tidak ada kejelasan hingga akhir, debat sarat dengan saling lontar tuduhan. Cukup berimbang.

Yang sengsara malam itu Budi Setyarso, pemred Koran Tempo. Ia diperlakukan seperti pesakitan dari para pegiat media sosial. Sikap redaksional Tempo yang menyoal Buzzer yang dinilai mengganggu demokrasi direspons dengan sikap frontal penggiat medsos.  Budi dicecar untuk membuka sumber berita yang membuat Tempo mengambil kesimpulan ada Buzzer Istana.

Budi makin terjepit oleh keberatan Ali Mochtar Ngabalin. Staf Deputi IV Kepala Sekretariat Presiden menyoal cover-cover Majalah Tempo yang menampilkan Jokowi. Terutama, cover gambar Pinokio.

Tibalah giliran saya bicara. Jam sudah menunjukkan pukul 23.30. Karni Ilyas membagi durasi 30 menit  untuk tiga pembicara yang tersisa: saya, Daniel dan Rudi Antara. Sehingga saya harus mengatur bicara poinnya saja.

Saya mengatakan tanpa diminta, saya  telah memeriksa beberapa edisi majalah Tempo. Sejauh penilaian, saya tidak menemukan pelanggaran kode etik jurnalistik. Produknya mematuhi prinsip kerja jurnalistik yang benar.

Saya juga tidak  menemukan ada pelecehan simbol negara, karena sesungguhnya presiden memang bukanlah simbol negara seperti yang diatur dalam UU. Presiden adalah pejabat publik, dipilih oleh publik, oleh karena itu posisnya terbuka dikritik publik.

Sebagai media pers redaksi Tempo tentu tidak alergi pada kritik terhadapnya. Sebagaimana umumnya karakter pers pejuang, Tempo pasti mewarisi juga  sikap rendah hati pendahulu wartawan, para pejuang printis pers. Yang  selalu  memikirkan mendahulukan rubrik suara pembaca setiap kali menerbitkan surat kabar. Itu menjelaskan mereka sangat terbuka untuk koreksi bahkan sampai penuntutan hukum.

Saya menanggapi  pandangan pembicara seakan pers kebal hukum. “Kami tidak mungkin berbohong, soalnya ancaman yang kami hadapi 4 tahun penjara kalau membuat fitnah. Sedangkan Tempo cukup datang kepada Dewan Pers untuk minta maaf, selesai persoalan,” kata Eko Khuntadi.

Tentu saja itu keliru. Pers bukan tidak bisa dihukum. Ada UU yang mengatur mekanisme pengajuan keberatan kepada pers. Pertama, layangkan hak jawab kepada media, seperti yang dilakukan oleh Presiden SBY dulu.Tak cukup?  Bisa lanjut  ke Dewan Pers. Tak puas di sini, bisa diteruskan kepada proses hukum

“Saya kalau menyatakan mendukung kepada pemerintah, dimana salahnya? ,” tanya Eko. Memang tidak salah menyatakan  dukungan kepada pemerintah melalui media manapun. Pers juga tidak lantas melanggar apapun kalau terus mengkritisi pemerintah. Itulah bagian dari warisan tokoh pers pendahulu kita. Kata PK Oyong, pendiri Kompas, wartawan bukanlah para pengabdi dan penjilat kekuasaan.

Ada pun  Teddy Gusnadi sempat nyecar Budi untuk membuka sumber informasi Tempo sehingga mengambil kesimpulan ada “Buzzer Istana” . Ini jelas mustahil. Perkara sumber berita itu diatur dalam kode etik jurnalistik. Sampai mati pun tidak akan mungkin dibuka. Selain diatur oleh kode etik, UU pun memberi jaminan terhadap hak tolak itu. Artinya di pengadilan saja pun, wartawan dapat menggunakan hak tolak.

Bukan hanya Teddy, bahkan Ngabalin pun tampaknya tidak tahu, wartawan bekerja dengan berpegang pada kode etik jurnalistik. Itulah konsep operasional  moral wartawan. Menyalahi itu tamatlah riwayat wartawan. Sebab itu menjadi martabatnya. Melanggar kode etik jurnalistik bagi media sperti Tempo itu sama dengan bunuh diri. Lebih berat dibandingkan melanggar hukum.

 

Memang tidak  ada pembicara segarang Ali Mochtar Ngabalin mempersoalkan Tempo malam itu. Secara terbuka dia menyerang Tempo dengan kata-kata amat kasar untuk dilakukan pejabat negara seperti dia. Pakai cara intimidasi dan  kata terkutuk segala untuk Tempo. Karni Ilyas berkali- kali menegurnya. Tapi tak mempan. Berulangkali  dia menyatakan dirinya sebagai “ abdi dalem” Presiden Jokowi dan  oleh karena sangat terluka jika “junjungannya” ditampilkan dalam cover Pinokio.

Saya sebenarnya tak cuma kenal tetapi cukuo  bersahabat dengan Ngabalin. Saya menyayangkan  cara dia kayak banteng terluka menyampaikan keberatan. Seperti  menutup mata terhadap aturan berurusan dengan media. Mestinya text lawan text, bukan text dilawan intimidasi dan kutukan.

Budi menginformasi  pernyataan saya. Sampai malam itu,  belum ada surat pernyataan keberatan dari pihak Istana soal cover Tempo tersebut. Tapi ini juga tak dihiraukan Ngabalin. “ Buat apa lagi, orang sudah babal belur, kok, “ sahut dia.

“Tidak mengadu, bukan berarti tidak keberatan, “ sambung dia lagi menanggapi saya.

Rabu (9/10), pagi saya coba putar ulang  rekaman video acara ILC. Para pembaca pun boleh lihat juga di saluran youtube secara lengkap.  Anda bisa lihat  aksi Ngabalin yang begitu agresif mengagitasi publik. Seringkali menyerobot kesempatan berbicara pembicara lain.

Dia mendemonstrasikan politik “belah bambu”. Yang satu ( pihak Presiden Jokowi) diangkat setinggi langit, sedangkan Budi Setyarso yang mewakili Tempo, “diinjak” habis sampai rata dengan tanah. Dari adegan itu kita bisa simpulkan itulah Buzzer Istana sesungguhnya. Kenapa kita repot - repot mencarinya selama empat jam diskusi ILC?

Sebagai  pejabat negara (yang masih aktif sampai nanti 19 Oktober menurut dia) rasanya sangat tidak etis Ngabalin  mempertontonkan gaya otoriter di saat mencoba meyakinkan publik mengenai gaya egaliter Presiden Jokowi. Paradoksal.

Paradoks Ngabalin ini bukan hanya tidak etis, tetapi cukup memenuhi unsur pidana yang diatur dalam UU ITE. Mengintimidasi dan memperkusi lawan debat, ditambah pula dengan sumpah terkutuk. Tetapi sampai  tulisan ini diturunkan tidak ada informasi apakah pihak Tempo akan menyoal secara hukum.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement