REPUBLIKA.CO.ID, Desa Siluman benar ada. Bukan lagi desa fiktif seperti yang dipaparkan Menteri Keuangan Sri Mulyani awal bulan ini dalam rapat kerja DPR. Desa Siluman berlokasi di Pabuaran, Kabupaten Subang. Jumlah penduduknya ribuan orang, tepatnya lebih dari 7.000 jiwa. Tapi memang nama desa ini adalah 'Desa Siluman'.
Polemik dana desa yang mengalir ke desa siluman alias fiktif, tentu saja bukan yang di Subang seperti di atas, terus berlanjut sampai kemarin. Kementerian Keuangan, Selasa (19/11), menegaskan mereka membekukan sementara rekening dana desa di beberapa desa yang diduga bermasalah. Yang dimaksud bermasalah di sini adalah persoalan 'desa' sebagai wilayah administratif yang tercatat di pemerintah daerah, ataupun 'desa' sebagai satu wilayah tempat warga bermukim.
Ada empat desa di daerah Konawe, Sulawesi Tenggara, yang menurut temuan Kemenkeu rutin menerima dana desa ratusan juta sampai miliaran rupiah, tapi status desanya bermasalah. Baik Kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal harus turun tangan membenahi desa-desa demikian.
Di atas itu semua ada prosedur ketat keuangan negara yang memang harus dipenuhi desa saat menerima dana desa. Di sinilah penekanan utama Menkeu Sri Mulyani.
Dana desa adalah proyek ambisius Jokowi-JK saat itu. Selain fokus pada pembangunan infrastruktur, pembangunan luar Jawa, membangun kembali dari desa adalah program unggulan Jokowi. Publik mengamini program tersebut karena memang tujuannya baik. Dana desa adalah kesempatan warga desa untuk berdaya dan bergotong royong, sekaligus menggerakkan ekonomi perdesaan.
Di atas kertas terdengar mudah: Jumlah desa di seluruh Indonesia mungkin sekitar 75 ribu desa. Pemerintah pusat kemudian menggelontorkan uang dari pusat ke kabupaten lalu ke desa.
Ada syaratnya penggunaan dana ini, yakni jelas proyek peruntukannya. Apakah itu membangun jalan, jembatan, sarana kesehatan, balai warga, dan lainnya. Kemudian harus ada pencatatan yang standar, yakni dalam bentuk rencana pembangunan desa, rencana belanja, dan laporan pembangunan.
Namun, di lapangan, proses dana desa ini terbukti lumayan repot. Begini repotnya: Karena warga desa yang sederhana, apalagi desa perbatasan atau desa terpencil yang tak kenal sistem perencanaan anggaran dan lainnya. Mereka harus belajar dari awal tertib pencatatan dan tertib anggaran.
Jadi selain membangun desa, pengucuran dana desa ini juga jadi ajang pembelajaran institusi aparat desa di seluruh Indonesia. Di sini bisa muncul kebolongan administratif dana desa tersebut.
Berbagai kasus penyelewengan dana desa oleh aparat desa, terutama kepala desa mulai muncul. Dari catatan Kementerian Desa ataupun pegiat antikorupsi macam Indonesia Corruption Watch (ICW) jumlah penyimpangannya tidak besar. Baik dari sisi nominal penyimpangan maupun jumlah kasus yang terjadi ataupun kepala desa yang terlibat. Masih di bawah satu persen dari total nominal dana desa yang dikucurkan atau di bawah lima persen desa yang terlibat.
Statistik ini bisa jadi memang menggampangkan. Namun, gambaran besarnya adalah mulai terjadi penyimpangan dana desa. Dan ini harus cepat ditanggulangi agar tidak menjadi wabah baru korupsi dana desa. Ini sebetulnya yang lebih mengerikan.
Bilamana virus korupsi menyerang desa kemudian puluhan ribu desa. Kita tentu berharap ini tidak terjadi. Karena itu, pemerintah harus secepatnya melakukan pencegahan dengan menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi, Polri, dan Kejaksaan.
Ini sebuah sinyal menuju lampu kuning, mungkin. Simptomnya sudah mulai terlihat di berbagai daerah. Pemilihan kepala desa kian marak dan heboh. Politik uang diduga kuat mewarnai pemilihan kades, tentu saja mudah-mudahan dugaan ini salah. Tapi, bagaimana kita bisa menilai ada calon kepala desa yang menyediakan undian kejutan bagi warganya berupa tiket umrah dan sepeda motor gratis?
Kita tidak bisa membayangkan, bagaimana efek berantainya bilamana angka penyelewengan dana desa itu makin lama makin besar, makin banyak. Korupsi kemudian dimulai dari desa. Bukan lagi pembangunan dari desa. Semoga ini tidak terjadi.